MADRASAHDIGITAL.CO- OLEH: Muhammad Novianto Putro (Peserta Sekolah Antikorupsi)
Korupsi menjadi salah satu masalah utama di negara ini dari awal kepresidenan hingga sekarang bahkan sejak Zaman kerajaan. Bukan hal yang asing apabila kita sering menjumpai praktik–praktik korupsi dinegeri ini, mulai dari kalangan elit hingga kalangan yang sering disebut miskin.
Bukan tanpa sebab para pelaku korupsi atau koruptor melakukan tindakan busuk seperti ini, melainkan ada hal–hal yang mendorong mereka.
Kita semua juga tahu bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilakukan dengan berbagai cara, namun bisa kita lihat sampai saat ini masih saja terjadi tindak korupsi dengan berbagai cara, baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, bahkan sebuah lembaga.
Tentu saja dari hal tersebut ada beberapa bahaya sebagai akibat tindak korupsi, yaitu bahaya terhadap: masyarakat dan individu, generasi muda, ekonomi bangsa.
Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berpikir tentang dirinya sendiri semata-mata (Muzaffar :1998).
Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang.
Penulis berpendapat bahwa praktik korupsi yang terjadi di negara kita tercinta ini juga turut berkembang dibarengi dengan upaya peningkatan pemberantasan anti korupsi.
Setiap satu langkah upaya pemberantasan dibarengi juga dengan 2 langkah pencarian celah korupsi. Di sisi lain ada orang yang berupaya keras untuk memberantas korupsi di negeri ini, namun disisi lain ada para pelaku yang dengan upaya keras untuk mencari celah dimana dia bisa melakukan tindak korupsi kembali.
penulis berpendapat jika semua upaya yang dibuat untuk memberantas korupsi dengan mencari celah–celah korupsi adalah media untuk mendidik para pelaku korupsi untuk melakukan korupsi dengan belajar mencari celah yang sudah dipelajari.
Mungkin prasangka itu akan benar adanya, apabila kita mampu mencermati pola–pola yang sering digunakan bahkan celah–celah yang biasa dipakai untuk menutupi tindak korupsi yang sedang dilakukan.
Semua sering terbungkus dengan indah dan rapi oleh hal – hal yang terlihat baik meski terkadang hal tersebut masih harus dipertanyakan keterlaksanaannya.
Pola yang sering dilakukan oleh para pelaku tindak korupsi adalah dengan menjadi malware. Apa itu malware? Malware merupakan perangkat lunak yang dibuat dengan tujuan memasuki dan terkadang merusak sistem komputer, jaringan, atau server tanpa diketahui oleh pemiliknya. Istilah malware diambil dari gabungan potongan dua kata yaitu malicious “berniat jahat” dan software “perangkat lunak”. Tujuannya tentu untuk merusak atau mencuri data dari perangkat yang dimasuki.
Malware merupakan perangkat lunak yang melakukan sebuah tindakan tanpa diketahui oleh perangkat yang disusupinya. Kok mirip dengan para pelaku tindak korupsi ya? Yang mana mereka melakukan tindakan korupsi dengan sembunyi – sembunyi agar tidak ketahuan.
Pada umumnya malware diciptakan atau diprogram untuk mencari tahu kelemahan dari sebuah sistem keamanan agar mampu diketahui dan diperbaiki.
Namun bagaimana jadinya apabila penerapan malware ini terjadi dikehidupan kita? Benar, yang terjadi adalah kekacauan yang terus merajalela karena penerapan model malware dinegara kita disalahgunakan.
Banyak contoh kegiatan yang bertujuan baik, tapi disusupi oleh orang–orang yang berniat kurang baik. Apakah sudah benar upaya–upaya penerapan anti korupsi di negeri ini dilaksanakan? Ataukah hanya sebuah program – progam yang hanya semata–semata dilakukan tanpa dilakukan sebuah aksi lanjutan dan pemantauan.
Bukankah hal tersebut hanya menjadi sebuah kesia – siaan? Karena banyak hamburan anggaran yang bermaksud menanggulangi tindak korupsi tapi malah dikorupsi? Setelah saya pikir lagi, korupsi tidak hanya melulu tentang uang namun juga banyak hal.
Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik.
Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness. Bahkan Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial.
Lickona (2013: 81) mengatakan bahwa karakter terdiri atas nilai operatif, nilai dalam tindakan. Nilai dalam tindakan tersebut dibangun atas tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral.
Oleh karena itu, Lickona (2013: 82) menegaskan bahwa karakter yang baik terdiri atas mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik. Kita pun perlu menilisik lebih dalam mengenai sebab–sebab tindakan korupsi di negeri ini seakan tak kunjung menemukan titik temu. Siapakah yang harus disalahkan? Dan siapa yang paling pantas disalahkan atas ini semua? Dan jawabannya adalah tidak ada.
Ini semua menjadi Pekerjaan Rumah semua warga negara, yang mana karakter anti korupsi harus dimulai bukan dari pemerintah, bukan dari sekolah, bukan pula teman kita, tapi dimulai dari lingkungan keluarga dan dilakukan sedini mungkin.
Dari sini sebenarnya kita sudah harus memahami bahwa akar dari semua ini adalah pembentukan karakter sejak dini. Karakter anti korupsi harus ditanamkan, bukan hal yang tidak mungkin jika pendidikan anti korupsi sudah diberikan sejak dini.
Karakter-karakter antikorupsi yang diutamakan untuk dikenal dan dihayati sejak usia dini di antaranya adalah kejujuran, disiplin, kerja keras, tanggung jawab, dan rendah hati. Seperti apa yang saya sampaikan diatas bahwa korupsi tidak hanya mengenai materi tapi juga waktu, tenaga, dan lain–lain.
Saya juga tidak menutup telinga dan mata bahwa sebab–sebab orang melakukan tindak korupsi bermacam–macam. Tidak semua tindak korupsi juga berawal dari niat, tapi juga berasal kesempatan/peluang, tekanan atau dorongan. Namun jika karakter anti korupsi sudah tertanam dalam diri, bukan hal yang tidak mungkin jika sebuah sistem anti korupsi bahkan lembaga anti korupsi masih diperlukan di negeri ini.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.