Oleh : Faiz Al Ghiffary*
Dalam periode pertama Jokowi melalui program nawacita, salah satu isinya adalah mendorong reforma agraria dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar. Hal itu seakan memberi angin segar bagi kita semua, mengingat banyaknya kasus agraria yang tak terselesaikan ataupun lamban dalam penanganannya. Tetapi pada perjalanannya, perosalaan agraria yang terus terjadi seakan tak pernah absen dalam panggung kehidupan masyarakat Indonesia, carut marutnya persoalan tersebut sudah berjalan sejak zaman kolonialisme.
Pada zaman kolonial, kasus agraria terjadi antara petani dan penguasa. Secara paksa tanah-tanah petani kala itu dikuasai oleh penguasa demi kepentingan pribadi. Bagi petani, sejatinya tanah merupakan modal utama demi menjamin keberlangsungan hidup mereka, tetapi yang menjadi kegelisahan kita semua adalah, dari waktu ke waktu pemerintah belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan agraria yang terus terjadi sejak zaman kolonial itu. Bahkan program nawacita yang dicanangkan Presiden Jokowi belum mampu menjawab persoalan tersebut.
Dalam persoalan agraria di Indonesia, akar permasalahannya selalu bermula dari perebutan tanah antara rakyat, petani yang berhadapan dengan pemodal, penguasa ataupun pemerintah. Umumnya persoalan tersebut akibat dari ketidakjelasan status tanah dalam kacamata hukum agraria nasional.
Pada dasarnya segala kekayaan alam yang ada harus dipergunakan sepenuhnya demi kesejahteraan rakyat, hal ini selaras dengan isi yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa, “Bumi dan air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Maka sudah jelas, rakyatlah yang pertama kali harus diperhatikan dalam pemanfaatan kekayaan alam.
Tetapi sekali lagi, kenyataan di lapangan masih jauh dari apa yang diamanatkan oleh undang-undang, Urut Sewu adalah contoh kecil dari persoalan agraria yang sama sekali tidak melihat rakyat sebagai bagian utama yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan kekayaan alam.
Dampak Domino
Kasus-kasus perampasan lahan yang dilakukan oleh pemodal ataupun penguasa, yang dibarengi dengan motif kepentingan infrastruktur, pertambangan atau perkebunan, baik yang dilakukan secara paksa atau yang dilakukan dengan campur tangan pemerintah melalui kebijakan Hak Guna Lahan (HGU), selalu berada dalam papan atas persoalan bangsa ini.
Dampak mendasar dari perampasan lahan tersebut adalah, menyempitnya ruang hidup rakyat, yang artinya secara otomatis kemandirian rakyat dalam mencukupi kebutuhan hidup dari sektor pertanian juga akan menurun. Lambat laun, keadaan seperti ini akan menggiring paradigma masyarakat kedalam budaya konsumtif, jauh dari itu rakyat atau petani akan bertransformasi menjadi buruh upahan, atau juga bahkan menjadi pengangguran.
Dampak lain lagi yang akan terjadi adalah, adanya migrasi rakyat dari desa ke kota, yang pada akhirnya mereka akan menjadi problem sosial baru di perkotaan, paling tidak sebagian dari mereka akan tergabung ke-dalam kaum miskin kota. Tak dapat di pungkiri migrasi juga akan terjadi bukan hanya dari desa ke kota, tetapi juga dari desa ke desa untuk mencari lahan baru pertanian.
Dalam keadaan seperti itu, situasi akan bertambah sulit lagi. Ingatan Memori sejarah kita masih kuat tentang riset dari Institut Titian Perdamaian (2012) sebelum dan semasa transisi demokrasi 1998-1999 yang menunjukkan bahwa, konflik antar etnik dan agama sebagian besar dilatarbelakangi perebutan tanah, SDA, dan ruang hidup.
Melihat keadaan yang sedemikian rupa, dimana sebagian besar tanah masih dikuasai oleh pihak-pihak korporasi, kita serasa hidup di dalam masa feodalisme. Maka sangat mungkin terjadi konflik agraria yang akan merambah kepada persoalan-persoalan yang lebih luas lagi, mulai dari hilangnya ruang hidup rakyat, menurunnya kemandirian dalam sektor pertanian, mengubah kultur sosio budaya hingga bahkan merambah pada terjadinya konflik horizontal antar masyarakat.
Reforma Agraria Sebagai Jawaban
Rumitnya persoalan tersebut, merupakan akibat dari struktur agraria yang timpang melalui pola penguasaan lahan tanpa adanya aturan-aturan yang membatasinya. Jawaban atas persoalan ini salah satunya dapat dilalui dengan menjalankan reforma agraria asli. Sebab dalam reforma agraria akan menata kembali pemanfaatan, kepemilikan lahan, serta penggunaan kekayaan alam sehingga akan tercipta keadilan agraria.
Gagasan tentang reforma agraria, pernah di munculkan pada masa muda republik ini berdiri melalui UU No 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria atau yang lebih di kenal dengan UUPA. Di bawah payung besar UUPA tersebut, reforma agraria di maksudkan untuk segera mengakhiri sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme, namun sayang setelah berganti rezim dari orde lama ke orde baru berdampak terhadap berubahnya haluan politik agraria, yang ternyata belum juga mampu menuntaskan ketidakadilan agraria yang merugikan rakyat.
Semangat reforma agraria yang terkandung dalam UUPA setidaknya memiliki lima tujuan umum, yang pada akhirnya semangat ini dapat dijadikan sebagi landasan dalam pembangunan kemandirian bangsa.
Kelima tujuan tersebut adalah, pertama pembaruan hukum agraria kolonial (Agrarische wet 1870) menuju hukum agraria nasional, kedua menjamin kepastian hukum, ketiga mengakhiri kemegahan modal asing dengan cara menghapus hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia, keempat mengakhiri penghisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah timpang, dan terakhir mewujudkan implementasi Pasal 33 UUD 1945. (Suhada, 2012)
Selama persoalan-persoalan agraria masih menuai jalan hitam dalam penyelesaiannya, maka pembaruan agraria akan terus menjadi agenda penting yang harus di garap bersama. Tanpa menegasikan peran pemerintah yang hingga saat ini masih gagal dalam melaksanakan reforma agraria, memperkuat barisan rakyat dalam tataran akar rumput bisa menjadi pilihan alternatif dalam pembaruan agraria sebagai tumpuan harapan.
*Ketua Bidang Hikmah PC IMM AR Fakhrudin Kota Yogyakarta