Oleh : Muh. Akmal Ahsan (Kabid Ristek DPP IMM)
MADRASAHDIGITAL.CO- Seumpama karat yang menggerogoti sebuah besi, budaya feodalisme yang tumbuh subur telah mengikis nalar kritis manusia Indonesia. Ia bukan hanya sekadar warisan yang turun temurun, melainkan juga penyakit sosial yang terus dipelihara, merasuk dalam pola pikir, lalu merambat dalam interaksi sosial. Pelan dan pasti, pola interaksi semacam ini menutup dialog dan menghambat kemajuan. Tragisnya, alih-alih dimusnahkan, budaya feodalisme justru sering dipupuk dan dilanggengkan, dinormalisasi.
Asal Bapak Senang
Penyakit feodal yang menubuh dalam interaksi manusia Indonesia dahulu dikenal dengan istilah “Asal Bapak Senang” (ABS). Budaya ini tercermin dalam mental munafik yang mengobrankan kebenaran objektif demi ilusi harmoni dan kesenangan. Dalam tradisi semacam ini, interaksi yang serba palsu dan semu kerap lebih dihargai ketimbang suara kejujuran. Inilah warisan budaya palsu bernama ABS. Bagi almarhum Buya Syafii Maarif, laku culas demikian telah menutup realitas hitam (Maarif, 2021).
Dalam psikologi, budaya ABS dikenal dengan istilah Psycophancy, yaitu kecenderungan para anggota/birokrat yang senang untuk ‘menjilat’ pimpinannya. Penyakit mental yang kronis itu didorong hasrat seorang anggota untuk melayani individu pemimpin, bukan untuk melayani publik dengan hati nuraninya (Hendra, 2013). Dalam konteks sosial dan politik, psychopancy tercermin dalam budaya kepatuhan palsu (taqlid buta) dimana kritik dikaburkan dengan pujian yang berlebihan.
Sebagai akibat dari feodalisme yang sudah sistemik, sebagian besar masyarakat terkena penyakit “mentalitas inlander”, rendah diri, mereka pasrah terhadap keadaan. Masyarakat juga didera penyakit “mentalitas amtenar” yang ditunjukkan dalam perilaku obsesif terhadap hierarki, gila hormat (Aldino, 2014). Menurut Mochtar Lubis (1977), budaya feodal ini telah mengakar sejak dahulu di negeri ini, utamanya ketika tuan-tuan feodal di Indonesia merajalela, memperkosa nilai-nilai manusia Indonesia.
Asal Ketum Senang
Ibarat wabah menular, kini muncul varian baru, penyakit “Asal Ketum Senang” (AKS). Penyakit mental ini tengah menggejala dalam komunitas organisasi, baik partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial dan keagamaan hingga organisasi mahasiswa dan kepemudaan. Warisan negatif itu dengan mudah bisa dilihat dari manipulasi laporan, pengekangan ide dan kreativitas, pengambilan keputusan sepihak, penghargaaan berdasar kedekatan serta pencitraan yang berlebihan untuk memamerkan kehebatan sang tuan (Ketum).
Belakangan budaya dan kultur feodal semacam ini mendapatkan legitimasi moral dimana ketundukan dan kepatuhan dianggap sebagai norma sosial dan akhlak yang baik. Sementara kritik disangka sebagai tindakan amoral dan tidak beradab. Suasana ini terus dirawat dari pendidikan di ruang keluarga, relasi kuasa di lembaga pendidikan hingga menemukan bentuk paling ekstremnya di ruang publik yang tidak menghargai kritisme. Reproduksi budaya feodalisme itu secara paradoks justru diwariskan oleh orang tua, para guru, agamawan, pejabat dan sesiapa saja yang menikmati posisi teratas.
Pola AKS melahirkan budaya organisasi yang buruk dimana interaksi di dalamnya berjalan dengan kepatuhan buta, mengabaikan evaluasi kritis terhadap kebijakan dan keputusan. Organisasi kehilangan nalar kritis dan inovasi sebab para anggota lebih fokus untuk menyenangkan pimpinan daripada memperjuangkan visi organisasi. Inilah yang kemudian melahirkan iklim organisasi yang penuh dengan kepura-puraan, kebijakan yang keliru lantas berjalan tanpa keberanian bersama untuk melakukan koreksi.
******
Lebih lanjut, budaya AKS secara sistematis telah melahirkan iklim organisasi yang penuh opportunisme. Hierarki dilanggengkan seiring dengan tumbuhnya sikap loyalitas semu lalu bermuara pada pengambilan keputusan yang lebih mengutamakan kepentingan/kesenangan Ketum daripada kepentingan bersama. Tubuh organisasi yang seperti ini rawan dibajak mereka yang bermental hipokrit dan opportunis.
Di tengah impian untuk memajukan organisisasi dan komunitas sosial, diperlukan ketulusan untuk mengoreksi kesalahan secara kolektif. Seiring dengan upaya nyata untuk merombak tata sosial yang buruk di dalam organisasi. Di titik inilah, dibutuhkan usaha memodernisasi sistem sosial kita.
Modernisasi Sistem Sosial
Sebangun dengan imajinasi menata arah langkah organisasi, saat yang sama sekarang ini juga diperlukan modernisasi sistem sosial yang menyeluruh. Agenda transformatif tersebut bermula dari kehendak tulus para pemimpin untuk membuka lebar istana kekuasaan sembari membiarkan suara kejujuran merasuk, biarpun terasa sakit dan pahit. Para pemimpin harus terbiasa mendengarkan bisik mereka yang terlihat polos, sebab barangkali dari sanalah justru suara kebenaran bersemayam. Para pemimpin jangan hanya mendengarkan suara para pembisik yang bermental hipokrit. Para pemimpin jangan membangun tembok tinggi di istana kekuasaan, sebaliknya, bangunlah jembatan sosial yang dapat mengubungkan antara kekuasaan dengan mereka yang terlupakan sebab barangkali merekalah yang selama ini menopang kekuasaan organisasi (Latif, 2024).
Seorang pemimpin (Pejabat, Ketum, Presiden) seturut jawatan lain haruslah pribadi yang kuat secara organisatoris, ia adalah seorang pembaharu yang harus dikelilingi para anggota yang jujur—yang lurus menyampaikan informasi akurat guna mengambil keputusan yang tepat, bukan melahap informasi yang menyesatkan (Abidin, 2024). Ia dalah pemimpin yang punya daya kritis untuk menerima informasi, sekaligus tak mudah takluk oleh sanjungan.
Seiring dengan perubahan pada tingkat paradigma kepemimpinan, ijtihad mengikis budaya feodalisme dan AKS juga dapat dilakukan dengan penataan sistem kaderisasi. Sistem kaderisasi haruslah dibangun dengan mengedepankan egalitarianisme dan demokrasi. Upaya ini harus terus dilakukan kendati tak mudah, sebab selama ini kaderisasi/pendidikan kita tampak kerap masih membentuk siswa yang pasif dan tunduk, bukan siswa/kader yang berani untuk berpikir kritis
Pada akhirnya, patut disadari bahwa keberhasilan sebuah organisasi hakikatnya tidak ditentukan oleh seberapa kuat hierarki yang berlaku, melainkan seberapa besar kebebasan dan kepercayaan yang diberikan kepada tiap-tiap individu untuk turut berpatisipasi. Feodalisme bukanlah takdir, ia adalah pilihan bersama. Dan demi kemajuan, pilihan kita adalalah melawan budaya AKS, budaya feodalisme!
Red, M. Rendi Nanda Saputra