MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Rizki Abiyoga (Pegiat Rumah Muda Integritas)
Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi telah rampung melaksanakan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode masa jabatan 2023-2028. Pemilahan diikuti oleh 9 Hakim Mahkamah Konstitusi. Hasilnya menetapkan Anwar Usman sebagai ketua dan Saldi Isra sebagai Wakilnya. Pelaksanaan pemilihan Ketua berlangsung secara ketat sebab dilaksanakan hingga 3 kali putaran setelah tidak tercapainya kata mufakat dalam musyawarah.
Terpilihnya kembali Anwar Usman sekalipun melalui mekanisme yang sah secara hukum. Akan tetapi, telah menghebohkan dan menjadi sorotan dari pelbagai kalangan serta khalayak umum. Hal tersebut dikarenakan Anwar Usman adalah Ipar dari Presiden RI yakni, Joko Widodo (Jokowi). Sehingga memiliki pertalian saudara dengan orang nomor 1 di Indonesia saat ini. Tentu identitas sebagai saudara dari Jokowi tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Identitas, Relasi dan Ancaman Demokrasi
Amartya Sen (2016) memandang bahwa suatu identitas bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan sebuah pilihan. Identitas juga tidak bisa dipahami hanya sebagai ketunggalan, sebab pada dasarnya manusia senantiasa menentukan pilihan terhadap pelbagai kelompok untuk menjadi bagian dari kelompok dari seluruh kelompok tertentu. Misalnya kewarganegaraan seseorang, tempat tinggalnya, asal daerahnya, jenis kelaminya, kelas sosial, pilihan politik, profesinya, pekerjaannya, kebiasaan, selera music dan semacamnya. Namun, tak satupun diantaranya dapat disebut sebagai satu-satunya identitas atau kategori keanggotaan tunggal bagi orang yang dimaksud.
Menilik pandangan Amartya tersebut, tentu identitas individu Anwar Usman tidak dapat dipisahkan dari Ketua Mahkamah Konstitusi dan ipar Joko Widodo. Pakar hukum Feri Amsari (Tempo, 2023) bahwa masalahnya tentu ada pada Pak Anwar Usman yang merupakan adik ipar presiden. Sementara sebagian besar kewenangan MK berkaitan dengan Presiden sehingga menjadi catatan penting untuk Mahkamah Konstitusi wajib waspada bagaimana jika kemudian hari relasi konflik kepentingan (conflict of interest) muncul.
Tidak hanya berhenti pada Conflict of Interest, relasi kedekatan dengan keluarga penguasa dapat menjadi celah masuknya court packing. Court Packing adalah upaya untuk mengatur komposisi hakim pada lembaga yudikatif, bertujuan untuk memenuhi misi-misi partisan. Sejalan dengan itu, Michael Nelson (1988) mengatakan Court Packing dilakukan oleh elite politik, utamanya otokrat. Tujuannya untuk mendukung legitimasi tujuan partisan dengan mengisi jabatan hakim dengan orang-orang yang memiliki kedekatan politik dengan elite tersebut. Dengan memanfaatkan relasi tersebut, kebijakan yang kental akan agenda politik, tetapi tidak mencerminkan wajah demokrasi akan tetap dilegitimasi oleh pengadilan dan tidak dibatalkan.
Hal tersebut tentu mempengaruhi Independensi hakim. Apalagi hakim konstitusi dimana ia berurusan dengan undang-undang yang merupakan produk proses politik sehingga harus menangani yudisialisasi politik. Bilamana penguasa mempunyai agenda yang hendak dituju, tetapi menghilangkan kepatuhan terhadap konstitusi, maka hal yang dilakukan oleh pemerintah otokrat ialah memastikan lembaga peradilan dipegang guna tetap berada pada sisi mereka dan melegalkan kepentingannya.
Disisi lain, dugaan ancaman conflict of interest dan court packing telah membawa pandangan publik untuk membangun distrust (Ketidakpercayaan) terhadap Mahkamah Konstitusi yang notabenenya berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, dimana putusannya bersifat final. Sekalipun Anwar Usman telah membantah dengan mengatakan bahwa integritasnya tidak akan menghalanginya berlaku adil, karena putusan yang adil tidak bergantung kepada keluarga seseorang. (Kompas, 2022) Namun ancaman dan kekhawatiran tidak berintegritasnya Mahkamah Konstitusi telah menghantui khalayak umum.
Menguji Integritas Mahkamah Konstitusi
Berangkat dari ancaman akan adanya conflict of interest dan praktik court packing, maka wajar bilamana Integritas MK (Mahkamah Konstitusi) dipertanyakan dan menjadi kekhawatiran. Oleh karena itu penulis mencoba menguji sebagai upaya agar Integritas MK kembali dipercaya oleh public. Berikut beberapa pengujiannya:
Pertama, dimensi moralitas. Pelbagai pengertian mengenai moralitas tentu tidak awam bagi khalayak umum. Namun dalam menganalisis studi kasus Mahkamah Konstitusi ini penulis meletakan Utilitarisme a la John Stuart Mill sebagai dasarnya. Utilitarisme menuntut agar kita selalu mengusahakan akibat baik atau nikmat sebanyak-banyak. Lantas timbul pertanyaan yang baik bagi siapa? bila egoisme etis berpandangan hendaknya bertindak hingga mencapai kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi kita sendiri.
Utilitarisme berpandangan lain, Franz Magnis Suseno (1997) mengatakan bahwa, yang menentukan kualitas moral suatu tindakan bukan kebahagian si pelaku sendiri atau kebahagian kelompok, kelas, atau golongan sosial tertentu. Melainkan kebahagian semua orang yang terkena dampak tindak itu, jadi utilitarisme tidak bersifat egois, melainkan menganut universalisme etis. Prinsip Utilitarisme adalah tindakan atau peraturan tindakan secara moral betul adalah yang paling menunjang kebahagian semua yang bersangkutan atau bertindak sehingga akibat tindakanmu paling menguntungkan bagi semua yang bersangkutan.
Berangkat dari pandangan utilitarianisme tentang moralitas, maka Anwar Usman harus mundur sebagai ketua MK atau bahkan lebih radikal mundur dari Hakim Mahkamah Konstitusi. Tujuannya untuk menghindari konflik kepentingan terjadi dikemudian hari dan putusan-putusan dari hakim MK dipandang bebas dari kelompok tertentu. Bilamana mengandaikan apa jadinya apabila pada saat 2024 Gibran (anak kandung Jokowi) mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan terjadi sengketa pemilu di MK serta Anwar Usman adalah yang memimpin sengketa tersebut. Barangkali Mahkamah Konstitusi dapat dipandang sebagai Lembaga yang paling tidak berintegritas.
Kedua, dimensi independensi kelembagaan. Independensi dapat dimaknai bebas dari terpengaruh, tidak dikendalikan pihak lain, dan tidak tergantung pada orang lain yang bermuara pada kejujuran serta objektivitas. Identitas Ketua Mahkamah Konstitusi dan saudara dari penguasa tidak dapat dipisahkan dari diri seorang Anwar Usman. Hal tersebut tentu dapat mempengaruhi para hakim lainya, sehingga MK juga dapat dipandang dibawah kontrol dari penguasa dalam memutuskan suatu perkara.
Pernyataan diatas bukanlah tanpa dasar. Sebab CSIS Indonesia telah meneliti dengan studi kasus dengan tajuk “Analisis Kontekstual terhadap Dua Putusan Mahkamah Konstitusi.” (2022) CSIS memetakan hakim konstitusi menggunakan judicial behavior. Dimana menghasilkan terdapat tiga hakim konstitusi berkarakter strategic-soldier, yang memilih untuk sejalan dengan pemerintah dan berperan sebagai prajurit penjaga kebijakan pembentuk undang-undang, utamanya pada pengujian Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Maka secara kelembagaan, kondisi Mahkamah Konstitusi semakin parah bilamana Anwar Usman tetap menjabat sebagai ketua MK di tengah Independensi kelembagaan yang sedang bermasalah.
Uraian mengenai dimensi moral dan dimensi independensi kelembagaan tersebut telah membuktikan bahwa Mahkamah Konstitusi tengah berada pada jurang ancaman akan hilangnya Integritas dalam tubuhnya yang pada faktanya timbul dari dalam diri Mahkamah Konstitusi sendiri.
Red. SH