MADRASAHDIGITAL.CO,-Miftahul Hidayat (Anggota Forum Lingkar Pena Ranting UINAM)
“Tidak Memuliakan perempuan kecuali orang mulia dan tidak menghinakan perempuan kecuali orang yang hina” (Rasulullah saw.)
Kalimat ini mungkin sangat tepat untuk menjawab kebingungan kita belakangan ini. Dalam catatan sejarah, Indonesia memiliki banyak tokoh pejuang kemerdekaan, pejuang Pendidikan, dan pejuang bagi keluarga.
Namun ironisnya data menunjukkan bahwa perempuan rentan mengalami kekerasan, termasuk perguruan tinggi.
Perguruan tinggi di Indonesia tidak henti-hentinya dirundung malang, belum selesai urusan semakin merosotnya kebebasan akademik dan demokrasi di kampus dengan segala dampaknya, sekarang mencuat lagi masalah baru yaitu isu kekerasan seksual yang korban umumnya adalah mahasiswi dan pelakunya adalah mereka yang memiliki relasi dan legalitas kekuasaan dalam kampus.
Lembaga paling terhormat, yang melahirkan para insan yang berahklak mulia, kritis dan demokratis bahkan dinamai academia yang dalam Bahasa Yunani berarti tempat yang suci dan agung malah menjadi tempat untuk menyembunyikan predatoris kelamin.
Kita harus kembali mengingat bahwa sebagai bangsa beradab dan berkemanusiaan, negara dan kita semua wajib menjaga dan melindungi serta memastikan setiap orang bebas dari ancaman dan tindakan kekerasan seksual.
Sangat tidak etis ketika dosen yang notabene mengajari mahasiswa untuk berperilaku yang baik, mengajarinya tentang menghargai harkat dan martabat setiap manusia malah melakukan hal yang diluar akal sehat kita sebagai akademisi.
Salah satu kasus dugaan terjadinya pelecehan seksual terbaru yang kini menjadi pemberitaan media massa terjadi di Universitas Riau (Unri).
Seorang mahasiswa angkatan 2018 diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosennya yang juga seorang dekan. Sebelumnya kasus pelecehan seksual juga terjadi di Intitut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur. Kasus pelecehan seksual di IAIN Kediri diduga dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswinya.
Beberapa kasus lain tindak pelecehan seksual di lingkungan PT dilaporkan terjadi di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), bahkkan Universitas besar dan terkenal seperti Universitas Gdjah Mada (UGM) Yogyakarta sempat pula dilaporkan terjadinya kasus kekerasan seksual.
Di lingkungan kampus bukan menjadi aib lagi bahwa dosen umumnya menempatkan mahasiswa sebagai relasi yang subordinat. Mereka (Dosen) seakan memiliki kuasa untuk menundukkan korban, sehingga kemungkinan terjadinya Abuse of Power di dalam kampus dapat terjadi untuk memanfaatkan posisinya dan melakukan tindakan jahatnya.
Melihat kondisi Perguruan Tinggi hari ini akan meninggalkan sejarah dan ingatan kepada bangsa bahwa tak ada tempat yang aman kecuali dalam kesadaran dan akal sehat.
Sebab seringkali dalih pelaku adalah pakaian korban yang dianggap memancing perbuatan dan tindakan pelecehan tersebut.
Kita tentu dapat mengambil ibrah dan pelajaran dari kasus yang baru-baru ini terjadi di salah satu Yayasan Pondok Tahfiz Al-Ihklas di Kota Bandung, yang melakukan kekerasan seksual kepada santiwati sebanyak 12 orang.
Jika kita menilai tindakan pelaku berdasar pada pakaian korban, bagaimana dengan kasus di pondok ini?
Bahwa kesadaran dan akal sehat menjadi tolak ukur seorang menjadi manusia yang menghargai kemanusiaan tanpa mencederai sedikitpun hak asasi manusia.
Merujuk pada survey yang dilakukan Kemendikbud pada 2020, sebanyak 77% Dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.
Namun 63% di antaranya tidak melaporkan kejadian itu karena khawatir terhadap laporan balik dari pelaku yang masih dapat bersembunyi pada pasal karet UU ITE. Hal ini terjadi karena kurangnya bukti yang diperoleh oleh mahasiswi.
Dalam rangka menangani makin maraknya kasus pelecehan seksual di Lembaga perguruan tinggi, belum lama ini telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan, Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Ini bukanlah akhir dari segalanya, walaupun ada payung yang menutupi hujan, bukan tidak mungkin badai yang lebih besar menghancurkan dan menutupi payung itu.
Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kejahatan universal. Tidak hanya endemis tetapi juga pervasive. Dan berulang-ulang terjadi dimana-mana dalam kurung waktu yang sangat Panjang.
Dibalik suburnya kekerasan seksual terhadap perempuan adalah disebabkan budaya patriarki yang menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Contoh, perlakuan istimewa laki-laki dari kecil yang disebut sebagai laki-laki pemberani, kuat dan lain sebagainya yang kemudian menjadikannya memiliki kuasa dalam konsep psikisnya.
Sifat kebanggaan dan merasa memiliki kuasanya-lah yang di ekspresikan dalam bentuk tindakannya kepada perempuan. Seolah-olah perempuan memang adalah mahluk yang lemah.
Kekerasan seksual dalam lingkungan kampus atau bahkan di lingkungan masyarakat akan sulit dihentikan ketika nilai keadilan belum ditegakkan.
Apabila budaya patriariki ini senantiasa di produksi di dalam individu, keluarga, perguruan tinggi dan bahkan negara sekalipun. Maka diskriminasi akan tetap berlaku dan menimbulkan ketidakadilan, baik tindakan kekerasan maupun tindakan keji lainnya.
Kuncinya, kekerasan seksual bias saja dihentikan ketika kita mampu menghargai, menghormati dan melindungi harkat dan martabat mereka sebagai manusia.
Terakhir, mahasiswa perlu mengingat satu hal bahwa dalam lingkungan kampus kita memiliki posisi bargaining yang setara dengan mereka.
Maka jangan tunduk, mari melawan sehormat-hormatnya dan seadil-adilnya. Sebab keadilan dapat tegak ketika tidak pernah menyerah.
Redaktur: Amin Azis