MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh : Ramdani Ningkiula (Kader IMM Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta)
Anomali sering digunakan untuk menggambarkan kejanggalan dari suatu peristiwa, atau berjalannya suatu sistem yang tidak sesuai dengan porosnya. Menurut laman Merriam Webster kata anomali berasal dari bahasa yunani yaitu “anomalos” yang berarti tidak rata atau tidak teratur. Anomali sendiri di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti ketidaknormalan atau penyimpangan.
Anomali juga kerapkali muncul dalam berbagai aspek seperti dalam sosiologi. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dalam bukunya yang berjudul “Ideologi Anomali” mengatakan bahwa anomali merupakan salah satu subyek dalam kajian sosiologi. Sebagai entitas yang dinamis, sebuah masyarakat seringkali menampilkan penyimpangan-penyimpangan dan pergeseran-pergeseran di antara para anggotanya dari pakem umum. Fenomena anggota masyarakat seperti inilah yang disebut anomali.
Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., mengartikan anomali sebagai penyimpangan atau keganjilan karena adanya penyimpangan dari aturan dan norma hukum yang biasa berlaku. Simpelnya, munculnya suatu peristiwa yang tidak seperti biasanya atau berjalannya suatu sistem yang tidak pada porosnya.
Jika kita menerjemahkan pengertian anomali yang ada di atas secara lebih luas. Maka muncul relevansi ketika kita memandang pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi oleh civitas akademika saat ini. Pengejawantahan yang lebih luas terhadap pengertian anomali di atas, dapat dilihat dari peristiwa penyimpangan civitas akademika.
Problemtika Kampus Negeri di Makassar
Idealnya kampus atau perguruan tinggi adalah wadah untuk pendidikan. Tempat yang sentral dalam memajukan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Sebagaimana plato dalam ajarannya yang mengatakan bahwa, pendidikan merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa saja. Mampu membedakan yang benar dan tidak benar, yang baik dan yang jahat, yang patut dan yang tidak patut.
Pendidikan sejatinya tidak hanya untuk memajukan ilmu pengetahuan saja tetapi tujuan dari pendidikan juga untuk membentuk karakter, moral, dan adab dari sebuah bangsa. Pernyataan saya tersebut juga sejalan yang termaktub dalam Undang Undang No 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional pada Bab (II) Pasal (3) yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Namun faktanya dalam beberapa tahun kebelakang, kita dihadapkan pada realitas pahit yang bukan pada poros idealnya. Kita dipertontonkan kelakuan tidak beradab oleh para oknum civitas akademika pada universitas negeri di Makassar. Civitas akademika di sini berarti terdiri dari dosen dan mahasiswa sebagai masyarakat akademik seperti yang tertuang dalam Undang Undang No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dalam Bab I Pasal (1) Poin (1).
Universitas negeri di kota Makassar seolah tidak lagi berada pada hakikatnya sebagai perguruan tinggi. Universitas negeri di kota Makassar seolah bukan lagi menjadi tempat suci bagi para kaum intelektual yang ada didalamnya untuk mengeyam pendidikan. Kampus-kampusnya seolah menjadi tempat yang suram dan menjijikan karena telah ternodai oleh dosa-dosa para pelacur intelektual (oknum civitas akademika) dengan berbagai macam problematika yang mereka perbuat.
Identitas UNHAS: Merah dan Pelecehan
Universitas Hasanudin atau yang kerap kita kenal secara kolektif dengan nama Unhas, kampus beralmamater merah ini telah menyandang status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) sejak tahun 2015. Beberapa waktu ke belakang kita dipertontonkan dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkungan kampus ini pada akhir tahun 2024 lalu. Parahnya lagi pelaku dari pelecehan seksual ini berasal dari oknum civitas akademika, dalam hal ini adalah dosen.
Dosen dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) tersebut melakukan pelecehan seksual setelah mahasiswinya selesai melakukan bimbingan skripsi kepadanya. Hingga per-tahun 2024 dosen tersebut hanya di sanksi skorsing selama tiga semester per-tahun 2024 kemarin. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mampunya kampus tersebut dalam berlaku adil atas mahasiswanya, bersamaan dengan hal ini kampus tersebut juga terlihat tidak mampu dalam menciptakan ruang yang demoktratis dan berkeadilan dan juga tidak diskriminatif sebagaimana atas segala yang dialami oleh korban yang telah di coreng hak nya oleh pelaku.
Hal ini membuktikan bahwa tidak mampunya kampus Unhas dalam menegakkan Undang Undang No 12 Tahun 2012 Bab (II) Pasal (6) Poin (b) yang berbunyi, demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
UIN ALAUDIN: Pencetak Akademisi dan Mencetak Uang Sendiri
Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar atau kerap dikenal dengan singkatan UINAM, kampus ini kerap di juluki dan melabeli dirinya sebagai kampus peradaban. Kampus peradaban dengan almamater hijau ini sering kita dengar muncul dengan berita bentrok antar sesama fakultas. Entah kenapa mungkin itu memang sebagai proses dalam melewati peradaban ke peradaban.
Itu mungkin salah satu permasalahan yang dimiliki kampus ini dari sekian banyak permasalahan hingga pada akhirnya di penghujung tahun 2024 kemarin. Mungkin kampus ini telah sampai ke peradaban yang lebih modern di tandai dengan kasus yang diciptakan dalam lingkungan kampus ini yakni, di temukannya mesin pencetak uang palsu dalam lingkungan kampus. Ini artinya, kampus bisa menghasilkan, membuat, dan menciptakan uang sendiri.
Mengapa saya menggunakan kata kampus ini bisa menciptakan uang sendiri, sebab alatnya di temukan di lingkungan kampus dan mesin uang palsu ini telah beroprasi sejak tahun 2010 dengan 17 tersangka dari berbagai macam profesi. Ironisnya, pemroduksian uang palsu di lingkungan kampus ini di pimpin langsung oleh kepala perpustakaan UINAM sendiri. Lagi-lagi oknum dari civitas akademika terlibat dalam kerja-kerja yang sepatutnya tidak di lakukan oleh para akademisi ataupun para intelektual.
Sebab, hal ini bertentangan dengan etik dan moral, hal semacam ini juga tentu menganggu fungsi perguruan tinggi sebagai episentrum pembentukan adab terhadap bangsa dan juga melemahkan kekuatan moral terhadap perguruan tinggi. Pendapat saya tersebut di dasari oleh Undang Undang No 12 Tahun 2012 pada Bab (IV) Pasal (58) Poin d dan e yang berbunyi, (d.) pusat kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran; dan (e.) pusat pengembangan peradaban bangsa.
UNM: Kampus Pendidikan atau Masih Perlu Dididik?
Universitas Negeri Makassar atau biasa di singkat menjadi UNM berorientasi sebagai Kampus Pendidikan (katanya). Warna almamater yang cukup mencolok yaitu oranye, kurang lebih sama dengan mencoloknya dengan kasus-kasus yang terjadi di lingkungan kampusnya. Bagaimana tidak, kampus ini juga pernah tersandung kasus narkoba pada tahun 2023 lalu. Namun tersangka tidak ditemukan keterlibatan dari pihak civitas akademika, dikatakan bahwa tersangka pernah menjadi mahasiswa di kampus ini, tapi telah Drop Out (D.O).
Saya menganggap hal ini masih terasa janggal, sebab tidak mungkin tidak ada keterlibatan civitas akademika dalam kasus ini sebab hal ini terjadi di lingkungan kampus. Pada tahun 2024, terjadi bentrok sesama mahasiswa antara fakultas teknik dengan fakultas sastra yang di picu dari kesalahpahaman yang tidak dikeahui penyebabnya. Hal ini menjadi lucu bagi saya mengapa demikian? Apakah dengan cara seperti ini sebagai seorang yang katanya mahasiswa menyikapi sesuatu?
Saya rasa sebagai seorang mahasiswa seharusnya bisa untuk berpikir kritis dan objektif dalam bersikap, ditambah lagi pemicu yang tidak ada, tetapi sudah bentrok, ini menandakan sebagian besar yang katanya mahasiswa ini secara kolektif tidak mengetahui permasalahan yang terjadi secara fundamental yang berakibat terjadinya kesesatan dalam bertindak.
***
Pada tahun yang sama sejumlah mahasiswa di kampus ini melancarkan protes terhadap pihak rektorat karena kampus mewajibkan mahasiswa baru untuk membeli almamater dari kampus seharga 250 ribu. Artinya pembayaran UKT bagi mahasiswa baru belum termasuk harga almamater, buntut dari hal tersebut banyak mahasiswa baru yang merasa keberatan dikarenakan nominalnya yang cukup besar. Pada saat yang sama, ketika pada saat protes ada pihak mahasiswa yang mendapatkan tindakan represif dari pihak rektorat maupun dosen.
Kajian dari mahasiswa tersebut di tolak hingga di usir dari ruangan dan diperintahkan pulang secara sepihak oleh pihak dosen dan rektorat. Dalam pandangan saya kampus UNM dalam hal ini tidak memiliki keberpihakan sama sekali terhadap mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Padahal ini telah tertuang dalam Undang Undang No 12 Tahun 2012 pada Bab II Pasal (6) Poin(i) yang mengatakan bahwa, keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi.
Tindakan represesif yang di dapatkan oleh mahasiswa memperlihatkan bahwa UNM tidak mampu menghadirkan ruang yang demoktratis dan tidak diskriminatif terhadap mahasiswanya. Seperti yang telah tertuang pada Undang Undang No 12 Tahun 2012 Bab II Pasal (6) Poin (b) yang berbunyi, “demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.”
Red: Rama