*Muh. Akmal Ahsan
“Selamat milad ke 151 Ahmad Dahlan”, saya yakin kita sangat ‘gatal’ untuk mengucapkan ucapan selamat atas usia yang semakin menua andai beliau Ahmad Dahlan masih hidup dan hadir di depan tatapan mata kita. Semenjak 23 Februari 1923 bangsa ini kehilangan tubuh kurus tinggi dan wajah bulat Ahmad Dahlan. Djarnawi Hadi Kusumo menggambarkan sosok KH Ahmad Dahlan :
Orangnya agak kurus tinggi, mukanya bulat telur, dan kulitnya hitam manis, hidungnya mancung dengan bibir elok bentukya. Kumis dan jenggotnya rapih, tetapi menembus hati siapa saja yang memandangnya. Cahaya matanya memancarkan kasih sayang dan keikhlasan yang tiada taranya. Sinar yang terang menandakan kedalam ilmunya terutama dalam bidang tasawuf, seolah-olah setiap gerakannya dapat ditandai bahwa dia kurang tidur asyik membaca atau berdzikir kepada Allah, serba teliti dan hati-hati dalam setiap perbuatan dan langkahnya.
Ahmad Dahlan, tidak hanya sebagai simbol manusia sebagai individu, Dahlan menegaskan peran manusia sebagai makhluk sosial yang saling memedulikan, tidak sibuk dalam kepentingan pribadi : makan, minum dan bersenggama, beliau bukan apa yang disebut Plato sebagai epithumia, unsur jiwa yang secara umum mewakili nafsu makan, minum dan seks. Dahlan memberikan satu pesan hidup yang paling mendasar bagi sekalian ummat manusia : Hidupilah Kehidupan. Dalam sebuah masa, beliau berwasiat (Munir, 2007) :
“Aku ini sudah tua, berusia lanjut, kekuatanku pun sudah sangat terbatas. Tapi, aku tetap memaksakan diri memenuhi kewajibanku beramal, bekerja, dan berjuang untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perintah Tuhan. Aku sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa memperbaiki urusan yang terlanjur salah dan disalahgunakan atau diselewengkan adalah merupakan kewajiban setiap manusia, terutama kewajiban umat Islam.”
Dalam masyarakat yang individualis-materialistik ini, pesan Dahlan sangat menghunjam tajam, bahwa memperbaiki kehidupan bukan hanya soal keinginan, tetapi soal kewajiban manusia atas manusia dan manusia sebagai manusia. Begitulah Dahlan mengingatkan, sekaligus memberikan teladan dalam praktik kehidupuannya hingga menghadap Tuhan. Integritas, pengorbanan, kepedulian, jujur dan semangat yang selalu mengapi telah berkumpul dalam jiwa yang bernama asli Muhammad Darwis itu. Dalam sebuah kisah, Muhammadiyah membutuhkan dana sekitar 500 gulden untuk menggaji guru, karyawan dan membiayai sekolah Muhammadiyah.
Dalam kondisi demikian, beliau menyatakan diri untuk melelang seluruh barang yang ada dalam rumahnya. Dahlan melakukannya untuk membiayai sekolah Muhammadiyah, khususnya menggaji guru dan karyawan. Warga kauman terheran-hera dengan niat Dahlan, para murid yang sedang pengajianpun terharu melihat jiwa pengorbanan sang guru. Maka penduduk Kauman khusunya juragan yang menjadi anggota pengajian Tharatul Qulun berebut memberli barang beliau. Dalam masa yang singkat, terkumpullah uang lebih dari 4.000 gulden. Namun yang membuat KHA heran ialah selepas pelelangan itu, tidak seorangpun yang membawa barang-barang beliau. Selepas membeli, mereka pamit dan pulang. Dalam situasi demikian KHA Dahlan berseru : “Saudara-saudara sekalian, barang-barang yang telah sampeyan lelang silahkan bawa pulang. Ataukah saya antarkan?”
“Tidak usah Kiai. Barang-barang itu biar disini saja, semua kami kembalikan kepada Kiai”, Jawab mereka kepada Dahlan.
Dahlan sontak bertanya “Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana”
Salah seorang dari mereka menjawab, “Ya untuk Muhammadiyah. Kan Kiai tadi mengatakan Muhammadiyah perlu dana untuk menggaji Guru, Karyawan dan membiayai Sekolahnya?”.
“Ya, tapi kebutuhan Muhammadiyah hanya sekitar 500 gulden, ini dana yang terkumpul lebih dari 4.000 gulden. Lalu sisanya bagaimana?”
Orang itu lalu menjawab, “biar dimasukkan saja ke kas Muhammadiyah”.
Lagi, KHA Ahmad Dahlan memberi anutan, tentang bagaimana memulai sesuatu lalu bertanggung jawab atasnya. Dalam keadaan tertatih-tatih membangun Muhammadiyah, tanggung jawab Dahlan tentu bertambah, menghidupi Muhammadiyah dan orang-orang yang bekerja didalamnya secara formal. Begitulah ia berani mengorbankan harta dalam rumahnya untuk membiayai kehidupan orang lain.
Dahlan, dalam 151 usianya (seandainya masih hidup) tidak hanya memberi Muhammadiyah untuk bangsa, tetapi memberi kehidupan, menghidupi kehidupan. Ahmad Dahlan memang tidak mengiri Muhammadiyah hingga memiliki 174 Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiah, 104 lebih Rumah Sakit Muhammadiyah, 7 Ortom yang aktif untuk masyarakat, tetapi Dahlan telah memberikan kita teladan kehidupan, untuk mendidik, berperan, dan membangun lingkungan. Dalam keadaan lusuh inilah, Dahlan seolah-olah datang kembali kehadapan mata kita, menyadarkan, bahwa kerja-kerja kolektif belum usai, masih banyak yang perlu kita lakukan untuk hidup dan kehidupan.
Semoga Tuhan yang Maha kuasa memberi rahmat untuk beliau, KHA Ahmad Dahlan.
*Kepala Madrasah Digital Yogyakarta
Referensi Bacaan
Djarnawi, H. K. (n.d.). Matahari-matahari Muhammadiyah. Yogyakarta.
Munir, M. (2007). Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.