Apa Hukum Berfilsafat dalam Al-Quran?

-
Selasa, 03 Mar 2020 14:58 WIB
2 Comments

Ilustrasi Filsafat, Sumber: Olympic30

MADRASAHDIGITAL.CO – Adalah kesalahan apabila melihat kehadiran Al-Quran hanya sebatas kitab untuk umat Islam yang berbahasa Arab dan untuk memahaminya cukup dengan melihat terjemahannya saja. Akan tetapi, Al-Quran ini ada sebagai mukjizat yang di turunkan kepada Nabi dan merupakan petunjuk bagi umat manusia yang mengandung banyak arti, semakin Al-Quran di perdalam, maka semakin luas pula arti yang ditemukan dari ayat-ayatnya. Tidak heran apabila banyak mufasir yang selalu menemukan hal baru dalam menafsirkan Al-Quran, bahkan tidak sedikit pula beragam perbedaan dalam hal penafsiran.

Tetapi perihal filsafat, yang beberapa orang apabila mendengar kata tersebut membuat sentiment “ilmu yang buang-buang waktu untuk mempelajari”, “ ilmu berbahaya”, “ilmu yang perlu di hindari”, dan masih beberapa lainnya, jika tidak percaya, buka aja Youtube lalu search “perlukah filsafat dalam Islam” nanti muncul video beberapa ustaz berpendapat yang kurang lebih isinya seperti sentimen di atas. Oleh karena itu, sentimen tersebut perlu di kaji kembali dengan argumen, apa benar filsafat tiada guna? Dan apakah Islam melarang hal tersebut?

Apa Itu Filsafat?

Dalam sejarah, istilah filsafat sudah ada sejak abad 5 SM di Yunani dengan nama philosophia, merupakan gabungan dari kata, philos yang berarti cinta dan Sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, secara etimologis dapat diartikan ‘mencintai kebijaksanaan’ dan dalam perkembangannya, orang islam mengambil istilah ini dengan memberi bentuk Arab menjadi falsafah atau hikmah. Orangnya disebut failasuf  atau ringkasnya filsuf (Purwanto:2015).

Adapun secara terminologis, terdapat banyak definisi tentang pengertian filsafat. Bahkan, setiap filsuf memiliki definisi sendiri-sendiri, sehingga dapat dikatakan jumlah definisi filsafat itu sebanyak jumlah filsuf. Namun, dari seluruh definisi tersebut, merujuk pada buku Masykur Arif Rahman secara sederhana berfilsafat dapat dipahami sebagai proses berfikir untuk mengetahui sesuatu secara mendalam dengan ciri berfikir yang radikal, universal dan rasional (Rahman:2013).

Berfikir secara radikal bukan berarti hendak mengubah atau menjungkirbalikkan segala sesuatu, tetapi dalam arti yang sebenarnya dari kata radix (akar), yaitu berpikir secara mendalam untuk mencapai akar persoalan yang di permasalahkan. Universal berarti menyeluruh, maksudnya dalam berfilsafat senantiasa berupaya mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas, dan berfikir rasional merupakan berfikir secara logis (dapat di terima akal sehat), sistematis (berhubungan satu dengan yang lain) dan kritis (tidak mudah menggenggam suatu kebenaran sebelum kebenaran itu dipersoalkan dan benar-benar diuji terlebih dahulu).

Filsafat dan Agama

Pertentangan filsafat dan agama sebenarnya telah usai dikaji oleh Ibnu Rusyd dengan menulis buku Tahafut at Tahafut ( kerancuan dari kerancuan) sebagai kritik atas Al Ghazali yang menulis buku Tahafut al Falasifah (kerancuan filsafat), di dalamnya Ibnu Rusyd berupaya mempertemukan agama dan filsafat. Menurutnya, pengetahuan bersumber atas dua hal: realitas dan wahyu.

Realitas sendiri, sebagaimana dalam pandangannya, terdiri atas dua hal, yaitu realitas metafisik (ma’qulat) melahirkan filsafat dan material (mahsusat) melahirkan sains. Sementara itu, wahyu melahirkan ilmu-ilmu keagamaan (ulum al-syar’iyah). Meski demikian, dua sumber pengetahuan ini tidak bertentangan, tapi selaras dan saling berkaitan karena keduanya berasal dari sumber yang sama, Tuhan Yang Maha Esa, sesuatu yang berasal dari sumber yang sama tidak mungkin bertentangan.

Filsafat dalam Al-Quran

Di dalam Al-Quran sendiri memang tidak di ketemukan kata filsafat, karena Al Quran diturunkan dalam bahasa arab, sedang filsafat berasal dari Yunani. Al-Quran hanya banyak menyebut kata hikmah, yang ber akar sama dengan sifat Allah al Hakim (Maha Bijaksana).

Jika Al Quran adalah wahyu yang diberikan khusus kepada Nabi dan Rasul, maka hikmah yang terdapat dalam Al Quran tersebut diberikan kepada siapa saja yang di kehendaki-Nya (lihat QS Al-Baqarah: 269), dengan syarat apabila manusia tersebut mau dan mampu mengoptimalkan penggunaan akalnya dengan cara membaca dan memahaminya.

Salah satu contoh seseorang harus memahami menggunakan akalnya adalah tentang bagaimana memahami ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya) dan ayat-ayat mutashabihat (ayat-ayat yang sulit dipahami) (lihat QS Ali Imran : 7).  Ayat-ayat muhkamat mungkin mudah di pahami, tetapi ayat-ayat mutashabihat menuntut pembacanya melakukan interpretasi , penafsiran atau takwil yang mana sangat dibutuhkan pemahaman yang mendalam atau berfikir filosofis.

Pada sejarah perkembangan Islam awal, berfikir filosofis mungkin belum ada atau lebih tepatnya belum di butuhkan, sebab pada masa Islam awal Rasulullah masih hidup dan setiap muncul permasalahan seputar pemaknaan Al Quran akan di tanyakan langsung kepadanya. Pun pemeluk islam pada saat itu masih terbatas di jazirah arab yang secara geografis dan sosio kultural relatif masih sama, sehingga interpretasi terhadap suatu masalah juga sama.

Seiring berjalannya waktu Islam mengalami perkembangan, Islam menjadi agama yang terus menyebar dan banyak pemeluknya yang berasal dari latar belakang bangsa, budaya, sosial, tingkat ekonomi, sisi psikologis pemeluknya yang berbeda-beda. Maka ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang memiliki potensi ragam makna) menjadi salah satu pendorong bagi penggunaan akal untuk berfikir lebih jauh mendalam.

Hal tersebut senada dengan Al-Quran yang banyak mengajak manusia untuk berpikir, untuk menggunakan akal, terbukti dalam Al-Quran kata “akal” disebut beberapa kali dengan penampilan yang berbeda seperti pada perkataan ya’qilun (50 kali), yatafakkarun (26 kali), yash’urun (25 kali) ulil albab (16 kali) dan ulin nuha (2 kali). Semua itu adalah ayat-ayat yang secara langsung mengajak manusia menggunakan akalnya.

Sebagai penegasan, bunyi ayat Al Quran “dan mengapa mereka tidak memikirkan kejadian mereka?” (Ar-rum : 8) “sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, merupakan tanda kebesaran Allah bagi orang yang mengerti” (al-Baqarah : 164)  “maka ambillah pelajaran, hai orang-orang yang berakal” ( al-Hasyr : 2) dan masih banyak lainnya. yang mana intinya bunyi ayat tersebut sangat menganjurkan manusia untuk mendayagunakan akal dengan sebaik-baiknya sebagaimana esensi berfilsafat itu sendiri.

Pentingnya Berfilsafat

Khudori Soleh, dalam bukunya filsafat islam menyatakan bahwa salah satu faktor utama kelesuan berfikir dan berijtihad di kalangan umat islam saat ini, disebabkan umat Islam tidak mau melihat dan memperhatikan filsafat sebagai kajian tentang proses berfikir atau proses penalaran.

Tambahnya, dalam upaya pengembangan dan kajian keilmuan Islam saat ini kita tidak bisa berpaling dan meninggalkan filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual islam akan sulit menjelaskan jati dirinya dalam era global. Karena itulah, Fazlur Rahman menyatakan bahwa filsafat adalah ruh atau ibu pengetahuan dan metode utama dalam berpikir, bukan produk pemikiran. Tanpa filsafat seseorang tidak akan mampu mengembangkan ilmunya, bahkan tanpa filsafat ia berarti telah melakukan bunuh diri intelektual.

Share :

Posted in ,

Berita Terkait

Rekomendasi untuk Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *