Akal dan Ilmu, Syarat Menghadapi Sekularisme

-
Selasa, 03 Mar 2020 12:37 WIB
No Comments

Ilustrasi Sekularisme

Oleh: Faiz Amanatullah*

MADRASAHDIGITAL.CO – “Kita harus menduniawikan yang duniawi , tidak usah mengukhrawikan yang seharusnya duniawi. Karena berpotensi akan memunculkan tahayul.” Nurcholish Madjid

Belakangan ini banyak sekali gagasan-gagasan dari para pemuka bangsa nasional maupun internasional yang kemungkinan bisa kita maknai mengandung nilai sekularitas dalam menjalani catur perpolitikan dunia sebagai alasan untuk kemajuan peradaban manusia yang menurutnya seringkali terhambat oleh hukum-hukum ataupun aturan yang terdapat dalam kitab suci agama. Tentunya dalam lembaran sejarah tidak jarang pula kita jumpai sekelompok pemuka agama yang menentang secara terang-terangan terkait gagasan tersebut yang mengasikan nilai agama dalam kehidupan, terkhusus pada ranah pemerintahan.

Dalam pendahuluan buku Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam yang ditulis oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas, beliau mengakui sejak 1973 dirinya sudah menuliskan perihal kerusakan yang meluas dan mendalam terkait akhlak dan ilmu masyarakat Islam sezaman dan masalah ini pun masih kita rasakan dalam keadaan genting yang masih luput dari tinjauan kepahaman yang benar menurut wahyu Islam. Namun, hal yang menarik dari tulisan al-Attas yaitu beliau justru mengkitik umat Islam itu sendiri, sehingga menjadi salah satu spectrum penyebab ideologi sekularisme meluas ke berbagai negara. Menurut dia, umat Islam masih belum mempunyai pembacaan dan prediksi tentang realitas masa depan yang kuat terkait kejahilan dari rencana falsafah modern dan pascamodern.

Namun, di sisi lain falsafah modern juga mempunyai fungsi untuk merasionalkan eksistensi Tuhan kepada orang-orang ateis maupun sekular sekaligus. Dalam diskusi dengan BENTALA yang dipantik oleh Mas Alam, ia menjelaskan tentang turunan dari falafah modern itu ada empat bagian, yaitu rasionalisme falsafi, rasionalisme secular, empirisme dan empirisme logis. Tentunya gagasan tersebut berangkat dari hal-hal realitas yang tampak oleh inderawi. Sehingga menurut Prof Kuntowijoyo dengan hal tersebut kita mampu untuk memberikan nilai-nilai Islam kepada orang sekural maupun non-Muslim tanpa harus menggunakan istilah Islam yang terdengar asing dimata mereka, dengan harapan mereka bisa menerima hal tersebut.

Wacana sekular memang terdengar sangat humanis dan menjadikan manusia sebagai sentral ideologinya. Dan apabila manusia menjadi peran sentralnya, agama akan menjadi bagian yang terpisah dari proyek ideologi ini. Bahkan dalam pengertian filsafat praktis sekularsime, yaitu manusia menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bantuan supranatural. Menurut beberapa pemuka ideologi sekular, agama kecenderungan memiliki aturan yang tidak pro kemanusiaan, maka lahirlah Renaissance.

Perang Enam Hari yang terjadi kisaran tahun 1967, tragedi tersebut yang melibatkan antara koalisi arab dan mesir yang berusaha membendung serangan Israel untuk mencaplok sisa wilayah yang berada di Palestina. Namun dalam peperangan singkat tersebut dimenangkan oleh Israel yang berhasil mengambil wailayah di kota suci Palestina dengan menghimpun kekuatan dari Amerika Serikat. Lantas dampak dari kelahan koalisi Arab dan Mesir tersebut menjadi pukulan moral bagi bangsa mereka, karena bisa diredam rencana mereka oleh Israel hanyal dalam waktu enam hari. Tanpa berpikir panjang, para pemikir dan cendikiawan dari Arab Saudi mencoba untuk berpikir modernis yang melampaui ajaran agama, sehingga kecendrungan dari pola pikirnya menegasikan agama dengan dalih untuk menyaingi negara maju seperti AS yang membantu Israel dalam perang 6 hari tersebut.

Hal yang sangat disayangkan dari keputusan para pemikir dan cendikiawan Arab tersebut adalah mereka terlalu dini untuk menerapkan suatu ajaran tanpa melihat lebih jauh dampak ilmu-ilmu pascamodern yang ada. Lebih parahnya lagi, keputusan itu dapat berdampak pada Ilmu Pengetahuan yang nantinya akan diteruskan oleh generasi muslim yang akan datang.

Islam tidak Menafikan Eksistensi Duniawi

Al-Attas pernah menyebutkan bahwa agama yang dimaksudkan oleh beliau adalah tidak menentang pengosongan alam tabi’i ruhaniah, namun yang dimaksud pengosongan adalah upaya penyingkiran dari kefahaman segala pandangan alam yang dipenuhi oleh berbagai mitos dan kesaktiannya yang diciptakan oleh khalayak etnik yang menjelma menjadi takhayul. Penulis pernah menonton film Percy Jackson yang menjelaskan tentang perseteruan antara semua dewa pengendali alam raya. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Al-Attas.

Karena memang pada dasarnya dunia ini tidak usah ditambahkan dengan hal-hal mitos yang justru akan menambah ketakutan dan ketundukan yang tidak jelas kepada ummat manusia. Segala kehidupan di alam raya tetap mengandung ma’na ruhani tanpa harus ditambahkan, hal itu sudah tertera dalam pedoman hidup seorang muslim yaitu Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menyembah Allah, menjalankan syari’at dan menjauhi larangan-Nya.

Tuhan yang Mahaesa bukanlah mitos buatan budaya di suatu daerah, bukan juga sebagai suatu gambaran yang dicitakan atau suatu simbol yang senantiasa memiliki perubahan makna menurut akal fikri yang mengikuti perubahan masa. Hakikat Iman mengandung unsur ilmu yang memahamkan tentang kebenaran kepada akal insan. Dan salah satu titik perbedaan antara agama dan falsafah sains sekular adalah cara dan kaidah kita memahami tentang sumber ilmu.

Nurcholis Majid berpendapat bahwa kita harus menduniawikan yang duniawi, tidak usah diukhrawikan karena akan mengakibatkan munculnya tahayul. Seringkali terjadi di zaman sekarang adalah banyak sekali manusia yang melakukan pembenaran atas semua feomena yang terjadi bahwa itu semua adalah skenario Allah. Memang betul semua kejadian di dunia ini adalah kehendak Allah, namun disisi lain ada juga peristiwa alam yang disebabkan oleh ulah mansuia itu sendiri.

Padahal, Allah memerintahkan manusia untuk menelaah sebab apa yang menjadikan alam dunia seperti sekarang ini, agar mereka tidak mengulanginya lagi, padahal sudah banyak ayat yang menerangkan hal demikian. Bahkan lebih parahnya ada yang membenarkan takdir tuhan atas ketidakmampuan mereka melakukan hal itu, karena sebagian kalangan kurang memahami makna ikhtiar.

Pengalaman penulis selama aktif dalam beberapa kegiatan yang berorientasi pada literasi. Sebagian besar kakak tingkat atau pemateri pasti akan mengajarkan suatu kebenaran, namun diawali dengan sebuah keraguan. Dengan timbulnya keraguan dalam diri kita, otomatis diri kita akan terpaksa berpikir keras sehingga melatih untuk berpikir secara metodis dan radikal (mendalam). Sama halnya kita memeluk Islam jangan hanya atas garis keturunan saja tanpa mengalami perenungan yang lebih mendalam, karena disitu akan menimbulkan bertambahnya keimanan dengan adanya akal berpikir yang sehat. Namun, yang penulis bingungkan sampai sekarang, yaitu “Adakah rukun berpikir yang benar dalam Islam?

*Mahasiswa FAI UMY

Share :

Posted in ,

Berita Terkait

Rekomendasi untuk Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *