- Pemikiran Tokoh
Minggu, 01 Mar 2020 15:10 WIB
1 Comment
Oleh: Ahmad Soleh*
Siapa yang tak kenal seorang humanis masyhur asal India bernama Mahatma Gandhi. Pria bernama asli Mohandas Karamchand Gandhi ini merupakan sosok yang populer dalam menegakkan perdamaian di India karena sikapnya yang tegas menentang kekerasan. Bahkan, PBB menetapkan tanggal kelahiran Gandhi (2 Oktober 1869) sebagai Hari Tanpa Kekerasan Internasional yang diperingati di seluruh penjuru dunia.
Begitu kentalnya sosok Gandhi dengan nilai-nilai agung agama/ajaran Hindu, misalnya, tidak membunuh dan memakan daging binatang, empati kepada semua makhluk hidup, dan menjauhi alkohol dan seks bebas. Hal itu karena dia lahir dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang begitu kuat dengan ajaran agama Hindu.
Meski begitu, Gandhi juga dikenal sebagai sosok yang kritis. Dia mengkritik paham konservatif penganut Hindu yang masih menerapkan sistem kasta dan membatasi pergaulannya dengan penganut agama lain. Gandhi merekonstruksi nilai moral dalam dirinya. Dia mengacu pada nilai dharma, sehingga Gandhi mampu menjunjung toleransi antarumat beragama. Gandhi juga memiliki pergaulan yang luas dengan penganut agama lain di India.
Baca Juga: Omnibuw Law, Demokrasi Rasa Fasis?
Mahatma Gandhi juga berperan dalam perjuangan kemerdekaan India. Salah satunya ketika dia membuat ashram, semacam pesantren bagi umat Hindu. Di tempat itulah dia menyemai konsep satyagraha dan ahimsa atau gerakan perlawanan tanpa dengan cara damai. Konsep ini pulalah yang membawa Gandhi pada perjuangan dengan gelombang yang lebih besar. Salah satu kisah yang paling terkenal dari Gandhi adalah ketika dia melakukan sumpah puasa untuk menghentikan kekerasan dan bentrokan yang terjadi antara kubu Hindu dan Muslim.
Mahatma Gandhi selama ini kita kenal sebagai tokoh besar dan pejuang persatuan yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan perdamaian. Namun, ketika membaca pemaparan Buya Hamka tentang sosok Gandhi, saya mendapat perspektif yang berbeda. Bagaimana sosok Gandhi dalam perpektif Buya Hamka?
Gandhi di Mata Buya Hamka
Begitu besarnya peran dan kentalnya sosok Gandhi membuatnya dikenal luas, tidak hanya oleh para penganut Hindu dan pendukungnya di India. Namanya bahkan pandangan-pandangannya juga menggema ke seantero dunia. Buya Hamka dalam buku Ghirah (Gema Insani Press, 2015), secara khusus membahas Gandhi pada salah satu babnya. Tulisan yang ia beri judul “Ghirah pada Gandhi” itu menggambarkan bagaimana sosok Gandhi yang memiliki ghirah besar terhadap agamanya, Hindu.
Menurut Hamka, Gandhi adalah sosok yang tinggi perikemanusiaannya, luas pemahamannya, dan juga toleran, hal ini dibuktikan dengan dia memercayai Isa Almasih dan Nabi Muhammad. Dalam beberapa catatan lain yang saya baca, Gandhi juga disebut pernah mempelajari tafsir Al-Quran. Meski demikian toleran, dalam catatan Hamka, Gandhi merupakan seorang Hindu yang besar pula ghirah keagamaannya. Apalagi, bila agamanya (Hindu) disinggung. “Ia bersedia pula mati. Ia bersedia berpuasa hingga mati,” tulis Hamka.
Hamka menceritakan, pada masa perjuangan kemerdekaan ketika pemimpin Hindu dan Muslim masih bersatu, semua mendukung Gandhi. “Di sekeliling Gandhi berdiri berpuluh pemimpin. Hindu dan Muslim, pria dan wanita, Mother India menyatukan mereka semuanya,” catat Hamka. Persatuan Hindu Muslim membela Ibu Pertiwi, menjadi semboyan pada masa itu. “Vande mataram!” yang artinya “aku memujinya ibu!”.
Baca Juga: Harapan Hamka kepada Pemuda Muslim
Penceritaan Hamka tentang Gandhi dalam tulisannya ini lebih mengesankan pada ghirah Gandhi sebagai penganut ajaran Hindu. Sehingga sosok Gandhi dalam penuturan Hamka ini terkesan pula tidak menyukai Islam. Apalagi, ketika anak sulung Gandhi masuk Islam.
“Tahun 1936 terdengar oleh Gandhi putra sulungnya, Motial Gandhi, masuk Islam di America Selatan. Ribut besar! Gandhi sudi puasa sampai mati karena sedih hatinya anaknya masuk Islam!” tulis Hamka mengisahkan. Bahkan, kata Hamka, Gandhi mencoba menghambat anaknya tersebut masuk Islam. Meski demikian, Gandhi tidak melakukan kekerasan. “Sebab Gandhi tidak mengenal kekerasan! Namun, dengan lemah lembutnya ia berkeras sehingga anak itu murtad kembali!” kata Hamka.
Dalam kisah lain, misalnya, Gandhi disebut Hamka sebagai lambing dari perasaan Hindu yang tidak menyukai Islam. “Terutama pada saat Islam bangkit. Ia tidak setuju jika Islam memperoleh kebebasan. Ia tidak setuju Negara Pakistan berdiri,” ungkap Hamka.
Hamka juga menceritakan ketika Gandhi membela kaum Hina Dina dari sistem kasta Hindu. “Terdengar olehnya berita bahwa kaum Hina Dina di bawah pimpinan Ambredkar sudi memilih agama Islam menjadi agama mereka.” Saat mendengar hal itu Gandhi pun melakukan puasa karena sistem kasta dalam ajaran Hindu itu membuat mereka yang disebut oleh Hamka dengan istilah Hina Dina.
Baca Juga: Merawat Akal Sehat Menurut Buya Hamka
***
Catatan Hamka tentang Gandhi tersebut memang tidak utuh menjelaskan bagaimana sebenarnya sosok Gandhi. Buya Hamka hanya fokus pada ghirah keagamaannya saja. Bagi Hamka, Gandhi merupakan seorang penganut Hindu yang begitu besar ghirah keagamaannya. Sehingga dia rela mengorbankan dirinya sendiri demi agamanya itu. Misalnya dalam kasus pembelaan Gandhi terhadap penganut Hindu dari kasta yang dianggap rendah. Hamka melihat dari perspektif bahwa Gandhi melakukan puasa oleh karena para penganut Hindu tersebut pada akhirnya masuk Islam.
Padahal dalam beberapa catatan lain yang saya baca, Gandhi memang mencoba mereformasi sistem kasta dalam ajaran Hindu. Gandhi menginginkan adanya kesetaraan antarsesama penganut Hindu. Maka dari itu, dari catatan Hamka tentang Gandhi ini kita bisa mengambil garis besar bahwa sebagai seorang penganut agama, kita mesti punya ghirah (cemburu). Ghirah itu manifestasi dari iman dan keyakinan kita.
Gandhi memang sosok kritis yang menentang kekerasan dan ekstremisme beragama, bahkan yang datang dari dalam agamanya sendiri. Dengan pandangannya itu, dia sendiri pun akhirnya mati dibunuh oleh penganut Hindu garis keras. Wallahualam.
*Pengasuh Madrasahdigital.co
Posted in Pemikiran Tokoh, Umum
Comments 1