- Tadarus Tokoh
Selasa, 29 Jun 2021 09:33 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Fokker
Siapa yang tidak kenal dengan Cournelis De Houtman, seorang penjelajah Belanda yang membuka ekspedisi kolonialisme ke wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Sebuah ekspedisi yang berkaitan dengan upaya eksplorasi dan monopoli perdagangan di Asia untuk kepentingan Belanda.
Cornelis De Houtman berhasil bersandar di Banten pada 27 Juni 1596, di mana sebelumnya telah hadir pedagang-pedagang Portugis disana, yang lebih bersikap kooperatif dengan penguasa-penguasa setempat.
Rencana negatif De Houtman tiba-tiba terbuka ketika rombongan ekspedisi mencoba bernegosiasi mengenai perdagangan dengan penduduk Banten. Sikap ingin memonopoli yang ia paksakan kemudian berujung pengusiran terhadap ekspedisi De Houtman dari Banten.
Portugis yang awalnya bersikap kooperatif, usai kepergian Belanda justru menerapkan juga sistem monopolinya. Alhasil, Kesultanan Banten pun mengikrarkan perang terhadap Portugis, dan berhasil mendesak Portugis untuk keluar dari Banten.
Selain Portugis, Inggris pun berupaya menguasai perdagangan di Selat Malaka, dimana Belanda melihat peluang ini untuk menerapkan siasat adu dombanya. Ya, upaya adu domba antara Inggris dengan Portugis ini dibuktikan dengan terjadinya pertempuran laut di sekitar Tumasik atau Singapura.
Selat Malaka dan Eksotisme Perdagangan Dunia
Kesultanan Aceh pertama kali didirikan oleh Ali Alaidin Mughayat Syah pada tahun 1496. Akses jalur ke Asia Timur dari Eropa tentu saja harus melewati Selat Malaka. Dilain pihak, banyak negara-negara Eropa yang berkeinginan menguasai Selat Malaka, seperti Inggris, Portugis, dan Belanda.
Sesampainya di Aceh Sultan Ali Alaidin, memberikan De Houtman akses berdagang, selain memberikan ruang pedagang Inggris dibawah James Lancester. Seperti yang sudah diketahui, bahwa itikad kedua pedagang asing tersebut hanyalah untuk memonopoli perdagangan di Selat Malaka.
Siasat adu domba Belanda justru berbalik merugikannya. Tak banyak negosiasi, kapal-kapal Portugis dan Belanda yang sedang bertempur, segera diserang oleh pasukan Aceh. Begitupula dengan kapal-kapal Inggris yang mencoba menghegemoni Selat Malaka, tak mampu menghadapi gempuran dari kapal-kapal Aceh.
Pasukan Inong Balee
Tatkala armada Kesultanan Aceh menggempur Portugis di Teluk Haru, Laksamana Zainal Abidin, suami dari Malahayati, gugur dalam pertempuran. Sepeninggal suaminya, Malahayati mengajukan usul kepada Sultan Al Makammil, untuk menghimpun pasukan perempuan dari para pejuang Aceh yang gugur di pertempuran.
Usul ini dikabulkan, dan Malahayati segera dilantik menjadi Laksamana laut yang dikenal dengan pasukan Inong Baleenya. Inong dalam bahasa Aceh memiliki arti wanita, sedangkan Balee artinya adalah janda.
Pasukan ini memiliki sebuah benteng di Teluk Krueng, Pulau Sabang. Benteng yang dibangun pada 1599 oleh Malahayati ini bertujuan untuk menampung para janda yang mau bertempur untuk membela Aceh. Tak perlu waktu lama, 2000 pasukan Inong Balee siap untuk berjuang melawan armada asing di Selat Malaka.
Laksamana Malahayati vs Cornelis De Houtman
Pertempuran berhadapan dengan armada kapal Belanda itu terjadi pada bulan September 1599. Suatu pertempuran hebat terjadi antara pasukan Belanda dengan para pejuang janda yang sudah berikrar menentang segala bentuk penjajahan oleh bangsa asing di tanah Aceh.
Dalam suatu skenario pengepungan, Laksamana Malahayati mampu mendesak pasukan Belanda diatas geladak kapalnya sendiri. Pertarungan satu lawan satu antara Malahayati dengan Cornelis De Houtman tak dapat dielakkan, dalam suatu serangan mendadak, rencong Malahayati mampu melukai De Houtman.
Balasan De Houtman tidak mampu melukai Malahayati yang dengan sigap mengelak dan kemudian kembali menikamnya dengan rencong. Seketika itu De Houtman tewas ditangan Laksamana Malahayati.
Pasukan Belanda yang ketika itu mengetahui De Houtman telah tewas, serta merta langsung menyerah kalah, Frederick De Houtman yang menjadi wakil komandan pun ditangkap pasukan Inong Balee.
Suatu prestasi yang dikenang dunia, tak lain adalah catatan mengenai Malahayati didaulat sebagai laksamana perempuan pertama yang tercatat oleh sejarah. Selain dari keberhasilannya menaklukkan armada Belanda di lautan Malaka.
Malahayati dan Emansipasi Perempuan
Pada Juni 1615, Malahayati gugur pada suatu pertempuran melawan Portugis di Selat Malaka. Malahayati diakui tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia, melalui catatan-catatan perlawanan yang dimuat di sejarah Inggris, Belanda, dan Portugis. Beliau ditetapkan sebagai pahlawan pada 9 November 2017.
Tidak seperti R.A. Kartini, yang memperjuangkan emansipasi melalui tulisan-tulisannya, Malahayati memperjuangkan emansipasinya melalui rencong. Simbol perjuangan perempuan Aceh sebelum masa Cut Nyak Dien inilah yang kelak menginspirasi keterlibatan perempuan di garis depan suatu pertempuran.
Seperti pada peristiwa Bandung Lautan Api, keterlibatan perempuan di barisan depan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dibuktikan dengan aksi sabotase di kota Bandung. Dengan maksud, fasilitas umum tidak dapat dimanfaatkan oleh Belanda yang berkeinginan menguasai kembali Indonesia.
Terlepas daripada perjuangannya dahulu, tentu semangat emansipasi harus terus diperjuangkan hingga kini, walau tidak lagi melalui jalan pertempuran, banyak aspek kekinian sebaiknya perlu dibukakan ruang yang sepadan di segala bidang, untuk hadirnya perempuan-perempuan tangguh pejuang kehidupan.
Referensi
Endang Moerdopo. 2018. Laksamana Malahayati: Sang Perempuan Keumala. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Posted in Tadarus Tokoh