- Cerpen
Jumat, 04 Mar 2022 07:01 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh S. Prasetyo Utomo
Rambut panjang Kinar disisir Mak Yah, neneknya, setelah mandi sore. Cara menyisir Mak Yah selalu halus, lembut, dan penuh kasih. Tapi kali ini Kinar melakukan protes pada Mak Yah, “Kenapa rambutku tak boleh dipotong pendek?”
Kinar membandingkan rambutnya yang panjang tergerai dengan rambut teman-temannya, yang semuanya pendek. Rambut teman-teman sepermainannya tak melebihi tengkuk, dan mereka senantiasa lincah berlarian.
“Coba, lihat, Bunda juga berambut panjang!” kata Mak Yah agar Kinar meneladan ibunya, Dewi Uma. Meski sudah berumur, rambut Mak Yah panjang, terawat, harum, dan hanya sedikit beruban. Mak Yah menyisir rambutnya setiap habis mandi dengan ketekunan dan kebanggaan.
“Kenapa mesti mengikuti Bunda? Semua temanku berambut pendek. Cuma aku yang berambut panjang!”
Mak Yah tak melayani protes cucunya, yang membandingkan rambutnya yang panjang tergerai dengan rambut teman-temannya yang dipotong setengkuk. Mak Yah meminta Kinar untuk melihat Dewi Uma, ibunya, yang senantiasa berambut panjang tergerai melewati pinggang. Mak Yah meminta Kinar untuk melihat foto nenek buyutnya di ruang tamu: perempuan zaman dulu kala, dengan wajah yang sangat lugu, tanpa rias, cantik, dan rambutnya panjang. Foto itu dipasang di atas foto kakek yang sudah meninggal. Kinar tak pernah tahu, kenapa foto perempuan berambut panjang itu dipasang di dinding ruang tamu.
Kinar tak pernah bertemu perempuan dalam foto itu. Tapi kecantikan nenek buyutnya tergurat sangat jelas pada wajah kandung Kinar. Gadis kecil 5 tahun itu selalu mendengar dari Mak Yah bila foto perempuan cantik yang terpasang di dinding di atas foto kakek itu dipanggil nenek buyut, yang tidak ia kenal sama sekali. Ia hanya mengenal Bunda dan Mak Yah yang selama ini merawatnya. Semenjak bayi Mak Yah menjaganya. Mak Yah selalu menyisir rambut Kinar, kadang dibiarkan tergerai, kadang dikuncir, kadang dikepang dua.
“Apa boleh aku potong rambut yang pendek, dan tidak usah mengikuti rambut Bunda?”
Kinar memaksa Mak Yah untuk mengantarkannya ke salon. Ia meminta potong rambut hingga sebahu. Ia merasa terbebas, tampil seperti teman-teman sepermainan. Tak ada lagi teman yang bertanya, kenapa ia berambut panjang. Tapi di kamarnya, ia lama memandangi dirinya sendiri di cermin, dan berlari mencari ibunya. “Bunda, aku minta maaf. Telah potong rambut. Kinar jelek ya, Bunda?”
Dewi Uma memandangi putri kesayangannya. Tak ingin melukai perasaan Kinar, ia tersenyum. Tipis. Samar. Menahan gugup.
***
Selepas pulang dari sekolah taman kanak-kanak, menjelang siang itu Kinar mencari-cari Bunda, yang masih tertidur lelap. Bunda selalu pulang menjelang dini hari, sebagai seorang penyanyi kelab malam, dan baru bangun menjelang siang.
“Boleh aku membangunkan Bunda?” Kinar mulai tak sabar, melancarkan protes pada Mak Yah, dan memasuki kamar ibunya. Kinar mengguncang-guncang tubuh Dewi Uma yang masih lelap tidur. Betapa gemetar tubuh Kinar, terberangus kemarahan kanak-kanak yang merasa diusik teman-temannya. Ia marah dengan dirinya sendiri, dan ingin dilampiaskan pada ibunya.
Dewi Uma terbangun dengan kepala yang memberat, masih mengantuk, memejamkan mata, ketika ia berusaha duduk. Kesadarannya belum pulih benar.
“Bunda, kata teman-teman, aku ini anak Ayah dari istri kedua,” kata Kinar. “Bunda istri simpanan. Apa ini benar?”
Membuka mata, masih terhuyung-huyung lantaran kantuk, Dewi Uma merasakan kegetiran hati putrinya. Ia mengangkat putrinya dan mendekap, masih dengan mata terpejam lantaran kantuk, “Maafkan, Bunda. Tak pernah Bunda berpikir, kau menderita serupa ini. Kau harus kuat. Jangan hiraukan kata teman-temanmu.”
Kinar tidak menangis. Ia hanya merasakan kepedihan dalam hatinya. Ia ingin melenyapkan kepedihan hati itu dengan memeluk ibunya. Ia sudah tahu kini bahwa ia lahir dari istri kedua Ayah, yang wajahnya tak pernah dilihat secara langsung. Ketika ia lahir, ayahnya sakit lumpuh, dan tentu saja dirawat istri pertama. Saat Ayah meninggal dunia, Kinar berumur tiga tahun. Kinar selalu mendengar kisah bahwa Ayah seorang saudagar yang memiliki banyak perusahaan dan perumahan. Patung Ayah didirikan di pintu gerbang perumahan mewah di tepi jalan raya, tak jauh dari rumah Kinar. Ia senantiasa memandangi patung Ayah, seorang diri, sepulang sekolah. Ia ingin sekali bisa menyentuh patung itu, yang terbuat dari perunggu, gagah, dan memancarkan karisma.
***
Ketika sore itu Dewi Uma berkemas-kemas berangkat ke kelab malam, Kinar menghampirinya. Merapat ke jendela mobil yang terbuka. Wajahnya menuntut sesuatu yang masih dipendam dalam hati. Dewi Uma menanti protes yang akan dilakukan anak gadisnya.
“Bunda mau kerja ke kelab malam?” tanya Kinar, dengan nada suara yang menggugat.
“Ya, kenapa?”
“Di sana Bunda bertemu banyak lelaki iseng, merokok, dan mabuk?”
“Siapa yang cerita begitu?”
“Teman-temanku. Orangtua mereka yang memberi tahu kehidupan Bunda di kelab malam.”
“Bunda hanya menyanyi, menghibur para tamu.”
“Boleh ikut Bunda?”
“Lain kali ya, Kinar. Kalau kau libur, boleh ikut.”
“Tidak boleh ikut sekarang?”
“Kau akan mengantuk nanti.”
Termangu di pelataran, di antara bunga-bunga anggrek, Kinar terus memandangi mobil Dewi Uma yang menjauh. Ia tak bisa melihat, dari sudut mata Dewi Uma mengalir lelehan bening setipis cairan lilin terbakar, yang dibiarkan mengalir dan menetes dari ujung dagu.
Kinar bergegas memasuki rumah, mencari Mak Yah, mengganti pakaian untuk mengaji, berhijab, dan berlari menghambur ke arah teman-temannya yang bergegas ke pesantren Kiai Maksum. Tiap sore ia mengaji ke pesantren Kiai Maksum, mengikuti teman-teman sepermainannya. Ia sangat menikmati kebiasaan ini.
***
Subuh dini hari, Kinar sudah bangun, mengetuk pintu kamar ibunya. Ia memasuki kamar, mengguncang-guncang tubuh Dewi Uma, dan membisik ke telinga, “Ayo, Bunda, salat dan ngaji di masjid Kiai Maksum.”
Sungguh sangat berat kepala Dewi Uma. Ia baru memejamkan mata selama dua jam. Ia juga tak pernah mengikuti pengajian di pesantren Kiai Maksum. Tapi kali ini ia ingin mengikuti permintaan putri kesayangannya. Gang masih senyap. Segera Dewi Uma dan Kinar bertemu Dewanti, seorang dosen muda, dan Suryo, suaminya, seorang wartawan, yang bergegas ke arah pesantren Kiai Maksum.
Canggung, mengantuk, Dewi Uma mengikuti pengajian di masjid Kiai Maksum. Ia cuma ingin mendampingi Kinar, menenteramkan hati gadis kecil itu yang berkali-kali terguncang, menerima olok-olok teman-temannya. Di sisinya duduk Dewanti, yang bermata bening, berwajah teduh, menyimak pengajian Kiai Maksum.
“Mbak Dewi, mau jadi dosen?” tanya Dewanti, saat mereka meninggalkan pelataran pesantren Kiai Maksum.
“Saya tak pernah membayangkan profesi sebagai dosen. Sementara saya terbiasa hidup dalam hingar-bingar kelab malam.”
“Bukankah kau magister seni musik?” tanya Dewanti. “Kalau berkenan, ajukan lamaran. Biar kusampaikan pada rektor.”
Dewi Uma ingin menolak tawaran Dewanti. Tapi ia ingat akan penderitaan Kinar yang senantiasa diolok-olok teman-temannya. Bagaimana meninggalkan dunia kelab malam, yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun semenjak gadis, setelah menikah, dan kini menjadi seorang janda dengan satu anak? Bahkan dulu sebelum menikah dengan sang saudagar, Dewi Uma meminta satu syarat: biarkan aku tetap menjadi penyanyi kelab malam.
Sepanjang perjalanan dari pesantren Kiai Maksum sampai rumah, Dewi Uma terus mempertimbangan permintaan Dewanti. Ia memperhatikan Kinar yang tampak bahagia pagi ini, bermain-main air di pelataran rumah, menyirami bunga-bunga anggrek yang bermekaran. Ia ingin terus menyanyi di kelab malam. Ia tak bisa menghindari orang-orang yang selalu memuja, takjub, pura-pura terpesona pada kecantikan rambut yang panjang tergerai, bibir sensual, dan lesung pipit di pipi kanan. Ia telah terbiasa dengan dunia gemerlap lampu kelab malam, aroma coktail, minuman keras, dan sanjungan lelaki. Ia terbiasa dirayu para pejabat kesepian dan para saudagar mabuk cumbu. Tapi ia tak ingin gadis kecilnya terus-menerus dalam olok-olok teman-teman sepermainannya.
Dewi Uma belum memutuskan berhenti menyanyi di kelab malam. Yang dilakukannya kini serupa dengan perilaku Kinar: memotong pendek rambutnya yang selalu disanjung lelaki. Almarhum ayah dulu senantiasa menyisir rmbutnya, sambil membisik, “Jagalah mahkotamu ini.” Rambut panjang tergerai itu juga yang dikagumi suaminya yang meninggal dua tahun silam, sang saudagar. Setiap saat sang saudagar suka menciumi rambut panjang yang tergerai itu, dan senantiasa berpesan, “Kalau anak kita lahir perempuan, biarkan rambutnya panjang sepertimu.”
Kinar memandangi Dewi Uma yang berambut pendek. Gadis kecil itu mulai mengerti: hati ibunya tegah terguncang, sama seperti yang pernah dirasakannya. Ia ingin menghibur ibunya. Mengajak ibunya mengikuti pengajian ke pesantren Kiai Maksum.
***
Pandana Merdeka, Februari 2022
Biodata Penulis
Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.
Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. Novel terbarunya Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022).