- Cerpen
Jumat, 18 Feb 2022 11:33 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Eri Setiawan
Seorang wanita tampak panik ke sana kemari mengecek ruang-ruang di saban sudut rumah. Sampai-sampai ia bersikeras menuju gudang meskipun tubuh terasa amat lelah usai bekerja seharian, hampir sampai larut malam. Namun, ia sama sekali tak mendapat tanda-tanda apa pun. Seorang pembantu dan seorang laki-laki penjaga rumah pun tak lagi berucap apa-apa. Mereka hanya mengulang-ulang lagi melihat sudut-sudut rumah sambil mendengarkan kemarahan sang majikan yang membeludak. Suasana rumah yang biasa hening, kini lebih ramai dan kacau. Namun, tak lama kemudian, nada yang menyala-nyala itu meredup. Berganti sepasang suami istri yang saling bercakap di telepon dengan nada cemas.
***
Rumah gedong dua lantai berhalaman luas itu tampak sepi. Hanya kentara dua orang kakak beradik sedang sibuk sendiri-sendiri di ruang keluarga. Alma, sang kakak, seperti tersulap menatap foto berbingkai di dekat televisi. Dua potret manusia dewasa yang kelihatan sangat bahagia dengan pakaian khas perayaan pernikahan membius gadis belasan tahun itu. Tak ada senyum elok, hanya mulut sedikit sekali terbuka, mata sedikit berkaca-kaca. Seumpama dalam film-film, ia seperti sedang berkata sepatah dua patah kata pada foto cantik itu. Entahlah apa. Yang cukup memilukan, kedalaman kedua matanya tiada memancarkan sirat kebahagiaan. Ia pun makin tertegun. Ia merasa, kemewahan yang mengalir seperti air, yang menumbuhkannya hingga usia belasan, tak sebanding dengan kehangatan batinnya. Kasih sayang terasa cacat. Tumbuh dalam pelukan yang tak benar-benar lekat.
Sementara, Alfa, sang adik laki-lakinya, sedang asyik berburu di tablet 7 incinya. Sekelas anak sekolah dasar sudah andal bermain tembak-tembakan. Mulutnya tak mau diam, “Ciu…ciu…breem.. breeeem!” Satu dua hingga puluhan lawan tertembak, tubuh bersimbah darah. Kepuasannya melonjak, meloncat-loncat. Imajinasinya seperti telah menjelma realitas yang sukar dibedakan. Ia seperti tak memahami hidup yang sebenarnya. Sejak kecil, sang Ibu memberikannya ponsel, alih-alih kasih sayang yang begitu kecut dan sempit.
***
Dua orang anak keluar dari sebuah rumah mewah. Kedua punggung menggendong tas. Kaki bersepatu, kepala bertopi, tubuh berjaket, terlihat layaknya sang petualang yang hendak bertualang. Tak ada siapa-siapa di halaman selain mereka. Tak ada seorang bibi ataupun laki-laki yang suka merawat taman depan rumah. Si Bibi suka keluyuran ke rumah tetangga. Ketemu sesama pembantu. Si laki-laki perawat taman suka tidur kalau tubuh habis bercucur.
“Mau ke mana kita, Kak?”
“Kita bertualang hari ini! Kita naik angkot! Kita naik bus!”
“Kakak tidak takut?”
“Tidak!”
Mereka berjalan, sedikit tidak pelan. Alma menggandeng tangan Alfa supaya ponsel benar-benar diletakkan di tas. Keduanya tak lagi pernah menoleh. Tak khawatir pula jika dicegah penjaga rumah. Rupa-rupanya Alma memang paham bahwa sebelum zuhurlah waktu yang tepat. Sampailah kini di tepian jalan. Kaki berjalan naik menuju halte. Sesampainya, sang kakak duduk, lalu sedikit melamun sambil mengulum permen menunggu kedatangan bus. Sementara, Alfa terlihat merogoh-rogoh tasnya. Alma yang seketika menoleh, mendapati adiknya hendak mengambil gawai, menghentikan. Jangan! Sang adik menekuk lidah, sedikit heran. Tak biasanya perempuan yang selama ini sering menemaninya itu melarangnya bermain ponsel. Kedua manusia itu kembali menatap jalan. Suasana cukup ingar. Saat kepala Alma mulai pusing memandangi lalu lalang kendaraan, bus pun datang. Mereka lantas berdiri menggendong tasnya kembali. Pelan-pelan, kaki memasuki pintu bus, segera mencari tempat untuk duduk.
Halte demi halte berlalu. Kedua mata Alma cukup setia memandang ke luar jendela bus. Hanya di sela-sela, ia menoleh ke samping tak lupa mengawasi gerak-gerik adiknya yang acap kali ingin mengambil ponsel di tasnya. Entah, apa yang ada dalam benaknya. Meskipun beberapa kali melihat kecutnya wajah sang adik, tapi ia tak juga mengizinkan. Ia hanya sekali mendeklarasikan aturan-aturan petualangannya. Salah satunya, selama perjalanan tak boleh ada yang bermain ponsel. Salah duanya, tak ada pertarungan di ponsel hari ini. Ada juga pesan akhir yang muncul usai aturan-aturan itu dideklarasikan dengan tegas. Kita nikmati petualangan hari ini, Fa!
Alma selalu kembali bercakap dalam diam dengan jendela. Pun, mencoba menerjemahkan apa yang kedua matanya saksikan. Terkadang tatapannya amat serius, terkadang hampa. Kadang-kadang bibir begitu simetris, kadang-kadang mengatup cukup lama. Begitu juga kondisi hapasnya yang sering berubah secara bergantian. Kadang berdegup agak cepat, kadang biasa-biasa saja. Sementara, sang adik terpaksa membaca buku Kisah-Kisah Anak Kecil pemberian sang kakak sebagai pengganti tembak-tembakan. Gadis di tepi jendela itu seperti tidak peduli raut wajah Alfa yang makin lama makin ditekuk.
Di sisi lain, tampak seorang wanita, kisaran usia tak lebih dari lima puluhan, cukup lama memandangi kedua anak itu dari bangku samping. Wajahnya bisa disebut keibu-ibuan. Rambutnya rapi. Warna sedikit pirang di bagian atas. Perawakannya cukup besar. Pakaiannya kentara mewah. Beberapa gelang emas menghiasi pergelangan tangan, tetapi sedikit tertutup baju lengan panjangnya. Lama-lama Alma mulai curiga. Ada yang sejak tadi memperhatikannya amat serius. Bahkan, perempuan paruh baya itu sering kepergok sedang mengamati raut wajahnya, juga adiknya. Kalau tak sengaja ketahuan, si ibu spontan memalingkan wajah. Nanti, kembali lagi. Sekali dua kali tersenyum. Kadang-kadang pula seperti menatap dengan tatapan kasihan.
Perutku tak tahan lagi! Sang kakak menoleh, lalu mengacungkan tangannya ke arah kamar mandi bus sambil mengucapkan satu kalimat singkat. Kamu laki-laki! Alfa pun mulai mengerti ketegasan sang kakak. Ia berdiri dan berjalan sendiri menuju kamar kecil tanpa perintah lagi. Sementara, Alma kembali menatap ke luar jendela. Kali ini, di lubang telinganya terpasang earphone. Mungkin karena kebisingan suara mesin bus dan beberapa orang yang asyik ngobrol sedikit menganggu konsentrasinya memahami dunia luar selama bus melaju.
Tak lama kemudian, tiba-tiba ibu-ibu berambut sebahu, yang sejak tadi mengamatinya, duduk di sampingnya. Sontak Alma Kaget. Kemudian, spontan ia menoleh ke belakang seperti melihat-lihat ke arah kamar kecil. Rupanya, belum ada tanda-tanda sang adik keluar. Dari raut wajahnya, Alma terlihat kebingungan. Ingin menyapa, tapi tak tahu bagaimana menyapanya. Ingin mengatakan bahwa adiknya akan segera kembali, ia tak cukup berani. Rasa takut dan malu gadis belasan tahun masih kentara sekali di diri Alma.
Alma mencoba tarik napas dalam-dalam, lalu dikeluarkan pelan-pelan. Begitu secara berulang. Sementara, wanita cukup tua itu meraih tasnya di bangku samping. Membuka tasnya, lalu tangan merogoh ke dalam seperti mencari sesuatu yang nylempit. Gadis itu tampak mencuri-curi pandang ke arah tangan ibu-ibu itu. Selang beberapa detik, ia mendapati wanita itu mengambil sebuah foto. Ya, foto seorang anak perempuan berambut kepang yang usianya hampir sama dengan Alma.
Alma sedikit memalingkan wajahnya ke depan. Tangannya perlahan-perlahan melepaskan kedua earphone-nya dari telinga.
“Ini anak saya. Rentang seusia kamu. Tapi, dia tak ada lagi. Dia hanya meninggalkan senyum secantik ini,” ucap wanita itu dengan kata-kata yang cukup memengaruhi siapa saja yang mendengar.
Alma hendak berbicara, tapi kata-kata tak juga keluar dari mulutnya. Ia hanya sedikit melemparkan senyum bermakna entah ke arah wajah Ibu itu.
“Tidak usah takut. Saya bukan orang jahat, Nak. Saya hanya seorang ibu yang tak juga terima kenyataan. Sebab, saya tak pernah lengah menjaganya. Tapi, tak diduga-duga Tuhan berkehendak lain.”
Alma hanya menurunkan wajah. Lalu, spontan kembali melihat-lihat pintu kamar kecil.
“Kamu hanya bertualang berdua dengan adikmu?” tanyanya selang beberapa detik.
Sejak pertanyaan itu dilontarkan, Alma mulai bisa berbicara. Ia mulai kehilangan rasa malu dan takutnya. Pertanyaan per pertanyaan ia jawab seadanya. Kadang-kadang melebihi keinginan si Ibu. Karena kepribadian si Ibu dirasa amat baik dan simpatik, Alma pun tak sungkan-sungkan menyempatkan bertanya-tanya kepada wanita yang sedang duduk di sampingnya itu. Mereka tampak sangat akrab. Senyum dan tawa seperti menjadi teman perjalanan. Kemungkinan, orang-orang di sekitarnya akan beranggapan bahwa mereka adalah dua manusia senjang usia yang saling mengenal satu sama lain dengan rentang waktu cukup lama. Atau mungkin ada juga yang beranggapan bahwa wanita paruh baya itu adalah ibu biologisnya.
***
Seorang gadis dan adik laki-lakinya terlihat turun dari bus di sebuah kota. Di belakangnya, menyusul seorang ibu berkacamata hitam dengan tangan kanan memegang tas jinjing ala-ala istri pengusaha. Lantas, ketiganya masuk ke sebuah mobil hitam dengan wajah berseri-seri.
Biodata Penulis
Eri Setiawan, lahir di Banjarnegara pada 23 Januari 1993. Sekarang bermukim di Desa Ledug, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas dan mengajar di SMP Negeri 2 Pengadegan, Purbalingga. Gabung di komunitas menulis (Komunitas Penyair Institut) Purwokerto. Novel pertamanya yang ditulis berjudul Bujuk Dicinta Kenangan Pun Tiba. Selain itu, ada beberapa tulisan seperti puisi dan cerpen yang dibukukan bersama penulis-penulis lain. Ada pula beberapa karya sastra yang termuat di media koran maupun media digital. Instagram @erisetiawant_