Cerpen: Balada Cinta Sebuah Kaleng

-
Jumat, 26 Nov 2021 06:07 WIB
No Comments

WhatsApp Image 2021-11-26 at 05.57.22

MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Muhammad Rifki

 

Kami berjumpa di tempat sampah. Ia bilang tubuhnya penuh luka-luka—meskipun sebenarnya saya tidak cukup mengetahui rupa luka pada tubuh sebuah kaleng—saya iya-iya saja. Namun, tidaklah salah jika ia mengira seperti itu, ditilik dari lubang-lubang pada tubuhnya, dan terkhusus lubang besar di kepalanya. Saya pikir, ia sangat kritis seperti yang ia sangka.

 

Satu hal yang saya ketahui—bahkan sejak pertama kali berjumpa—ialah ia banyak bicara. Saya tidak mengerti dari mana suara itu bermunculan, ia hanya tiba-tiba saja bersuara, tetiba saja ada yang tersampaikan ke telinga saya. Ia adalah kaleng, kaleng yang tidak biasa, ia kaleng yang berbicara. Tetapi, saya agak limbung, kenyataannya ketika saya mendengar suaranya, tidak ada yang bergerak se-khas mulut pada tubuh kaleng itu. Saya pikir saya sedang kena tipu. Teknologi memang berkembang pesat akhir-akhir ini, bukan?

 

Namun, kiranya saya harus menyampaikan cerita ini,  ia bertitip pesan. Tetapi, siapa yang akan mendengarkan cerita sebuah kaleng? Saya? Oh, tidak. Tindakan ini sepenuhnya hanya karena kebetulan. Kebetulan saja hari itu saya berjumpa dengannya, kebetulan saja ada suara-suara yang masuk ke telinga saya.

 

“Aku ini pengkhianat,” ujarnya.

 

Nah, siapa yang bakal tidak terkejut mendengar hal itu? Apalagi jika berasal dari kaleng? Ha, bukan hanya aku orang bodoh di sini, bukan?

 

Kala itu saya tidak mengerti, hanya diam, lalu perlahan mendekat.

 

“Bukan itu! Kau mendekati barang yang salah, Bung!” sentaknya ketika saya mendekati bangkai kucing yang telah mati tiga hari. Bukan salah saya mengira bahwa kaleng tidak dapat berbicara. Siapa tahu kucing itu bakal hidup kembali dan seakan-akan mendapat mukzijat, ia berbicara dan menjadi nabi, siapa tahu? Tetapi, bukan bangkai kucing yang sedang berbicara dengan saya sekarang, ia kaleng. Ya, kaleng.

 

Saya menatapnya lekat dan cukup lama. Seperti orang bodoh, sepatah kata terucap dari bibir saya, “Anda baik-baik saja?”

 

Dan, ya, bodohnya saya! Tentu saja ia tidak baik-baik saja. Tubuhnya yang bundar dipenuhi kotoran, kulit merahnya agak terkelupas. Huruf-huruf yang melekat dalam tubuhnya—tampak sekali merk dalam tubuhnya tak terbaca lagi, juga tulisan tentang komposisi, dan aku tidak tahu apakah ia minuman bersoda, ataukah minuman yang lain—hilang dari tubuhnya dan itu seperti ia telah kehilangan dirinya sendiri. Ia tak lagi punya nama. Saya agak penasaran mengapa ia menjadi seperti ini. Dan apa katanya tadi? Pengkhianat? Apa pula artinya itu?

 

“Bisa anda maksudkan apa yang tadi anda ucapkan?”

 

“Oh, Tuhan! Begini susahnya bicara pada manusia.”

 

Aduh, ini kaleng sedang bawa-bawa Tuhan, sedang saya adalah makhluk bodoh dan kadang lupa tata cara beragama. Namun, kayaknya ia maklum. Sebagaimana ia diciptakan oleh Tuhan tidak berkaki dan tidak bertangan, ia maklumi saya yang dipenuhi kebodohan.

 

“Kau penasaran?”

 

Tentu saja, bukankah itu yang saya tunggu sejak tadi? Bagaimana sebuah kaleng menyatakan diri sebagai pengkhianat? Apakah dia mata-mata negara atau tumbal sebuah organisasi, siapa tahu?

 

“Sembilan belas sembilan tujuh.”

 

“Sembilan belas sembilan tujuh?”

 

“Aku diculik!”

 

“Hah?”

 

“Kau bodoh atau tuli?”

 

Tunggu sebentar, saya agak kurang mengerti. Sembilan belas sembilan tujuh, sebuah kaleng diculik? Dari mana dan untuk apa? Dan, apakah saya bodoh atau tuli?

 

“Jangan dipikirkan, ada lebih baik saya ceritakan, kan?”

 

Aha, kaleng yang berbicara mulai mengungkap sebuah rahasia. Tetapi, sembilan belas sembilan tujuh bukankah terasa familier dengan catatan sejarah kita?

 

“Kami disekap dan dikurung dalam sebuah kotak yang cukup besar untuk menampung kami semua. Aku lupa dari mana diriku berasal, mungkin saja kami dilahirkan tanpa ingatan. Namun aku mengenali mereka, semua yang berada di sana sejenis denganku. Mereka semua pemikir, kritis, revolusioner, sebagaimana tokoh-tokoh pemikir dunia. Tetapi mengapa aku ada di antara mereka? Aku bingung saat itu. Aku hanya penyair, penulis puisi dan kadang kala nyantol di pentas teater anak-anak mahasiswa. Aku mengutuk nasib dan diriku sendiri. Anggota keluarga kaleng kecil kami—setelah sekian lama bersama, kami terasa seperti sebuah keluarga kecil yang mengalami pengasingan—berkurang sedikit demi sedikit. Lalu, karena sebuah kesalahan, kesialan atau bisa disebut keberuntungan. Aku tergulir jatuh dari kotak yang ditaruh miring—yang tadinya cukup besar untuk menampung kami semua. Dan, sebelum sempat digunakan, tubuhku tertusuk. Soda mengucur dari tubuhku dengan sia-sia. Aku ditinggalkan. Saat itu perasaanku berkecamuk, antara senang dan tak senang. Senang karena terbebas dari penjara yang mengekang, namun agak sedih pula karena harus berpisah dengan keluarga. Nah, entah berapa lama waktu telah berlalu, sekarang aku berjumpa denganmu. Aku agak kesusahan untuk mengingat, sebab kami dilahirkan tanpa memori. Namun, kau mengerti apa yang kuucapkan, bukan?”

 

Saya diam dan hanya mengangguk pelan. Bukankah hal itu terlalu tragis untuk sebuah kaleng? Ah, tentu saja tidak lebih tragis dari kisah-kisah yang berasal dari negara saya.

 

“Apakah anda juga dilarang untuk berbicara, Tuan Kaleng?”

 

“Ah, tidak. Kami bebas untuk berpendapat. Saat aku terpenjara dalam kotak busuk itu, aku bebas untuk mengoceh apa saja. Namun, kau tahu? Setelah masa berlalu seperti ini, dan ternyata kau memahamiku dan mengerti caraku berbahasa, bukankah kita ternyata tak ada bedanya?”

 

“Apa yang Anda maksudkan?”

 

“Ya, kau mengerti, kawan. Aku benar-benar yakin mereka mendengar pendapat kami saat itu. Sebab saat ini pun aku tahu kau mendengarku. Bukankah lebih nyaman dipaksa untuk tidak berbicara daripada mengetahui kenyataannya bahwa ternyata kita tidak pernah didengarkan ketika berbicara?”

 

“Saya rasa tidak ada yang nyaman dari hal-hal yang menyakitkan.”

 

“Ya, kau benar anak muda. Kau cukup pintar untuk anak seumuranmu!”

 

“Saya harap itu pujian, Tuan Kaleng.”

 

“Itu sungguh sebuah pujian. Ah, mari kuceritakan satu hal la….”

 

Omongannya tersendat, ia tetiba batuk, lalu berdehem di antara sela batuk-batuknya. Dilihat dari tubuhnya yang bergetar kian dahsyat, kukira waktunya takkan lama.

 

“Ah, kukira waktuku tak lama lagi. Akan kuceritakan satu hal lagi untukmu.” Ia berdehem lagi sebentar, menarik napas sedalam mungkin hingga udara memenuhi rongga kalengnya, lalu berdesakan menguar melalui luka-luka pada tubuhnya. Ia melanjutkan, “Kala itu, tangan seorang gadis kecil hampir menggapaiku. Namun, temanku, salah seorang penyair dan pecinta sejati. Ia merelakan diri untuk digapai oleh tangan manusia. Tetapi, aku menyesalkan hari-hari itu, sebab kau pasti mengerti bagaimana rasanya cinta pandangan pertama. Kulit halus gadis kecil itu terus terngiang dalam kepala kalengku. Kian hari tubuhku terus dipenuhi peluh-peluh soda, anggota keluarga kecilku mengira bahwa diriku sangat kehilangan saudara penyairku itu. Namun, hanya kau yang tahu. Ya, entah berapa tahun telah berlalu. Aku selalu mengharap datangnya tangan seorang gadis kecil dengan kulit mulus berwarna sawo matang masuk ke dalam kotak busuk ini dan mengambil beberapa buah kaleng lagi, termasuk aku. Tetapi, hingga kini tiada yang terjadi.

 

“Namun, aku bersyukur telah mengetahui namanya, entah itu benar namanya atau bukan karena aku membacanya di balik cincin yang ia pakai kala menggapai teman penyairku yang sialan itu. Ya, kau bisa membacanya. Namanya terpatri pada bagian komposisi. Dan, terima kasih karena telah menemaniku pada waktu yang cukup singkat ini. Kau teman yang menakjubkan.”

 

Tuan kaleng tak berbicara lagi. Aku mencoba untuk meraihnya, mengguncangnya berkali-kali tetapi kaleng itu benar-benar mati. Ia tidak menjawab teriakan-teriakanku. Kaleng itu mengerut tiba-tiba dan mulai mengempiskan udara dari balik tubuhnya. Saya baru tersadar di dalamnya dipenuhi dengan tanah dan embun air hujan yang menjijikan. Apakah perbincangan kami terlalu mengasyikkan hingga saya melupakan rupa kaleng yang menjijikkan ini. Ah, sungguh perjumpaan yang berkesan.

 

Lalu, aku teringat akan ucapan terakhirnya, mengenai sebuah nama yang telah ia patri di bagian komposisi. Perlukah aku membacanya? Apakah aku diizinkan? Mungkin, ia mengizinkan. Dan, sesegera aku ingin hari berakhir, kuangkat seonggok kaleng yang mulai berbau busuk itu, membaca perlahan bagian komposisi pada tubuhnya.

 

Dan, perjumpaan yang berkesan di sebuah tempat sampah kini berakhir membingungkan, dari cerita, pembawaan, karakter hingga pesan terakhirnya mengenai nama yang ia patri pada bagian komposisi. Sebab, ketika membaca itu, saya harus mengeja berulang kali agar tidak mengira itu nama ibu saya. Namun, setelah saya tatap begitu lama, benar-benar tiada perubahan pada tulisannya.

 

Banjarmasin, 14 Agustus 2021

 

Biodata Penulis

Muhammad Rifki, sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Lambung Mangkurat.

 

 

 

 

 

Share :

Posted in ,

Berita Terkait

Rekomendasi untuk Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *