-
Jumat, 12 Nov 2021 06:38 WIB
No Comments

WhatsApp Image 2021-11-12 at 06.21.32

MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Heru Sang Amurwabhumi 

 

Dua anak Dewa itu terjerembab ke kubangan ratap dan tangis. Setelah adu kedigdayaan, apa yang mereka dapatkan? Masih adakah takhta yang harus diperebutkan dengan mengabdi kepada kebencian, demi sebuah pengakuan sebagai penguasa? Ataukah mereka memang ditakdirkan hanya untuk bertikai dengan sesama cucu Sanghyang Wenang?

 

Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya terkurung dalam badai kecamuk batin masing-masing. Wajah mereka menjadi buruk rupa, jauh lebih renta dari paras sebelumnya sebagai kesatria-kesatria Kahyangan Tengguru. Kini, tubuh keduanya tak ubah seperti badut politik yang rakus akan kursi kekuasaan. Namun, meskipun begitu, keduanya masih saja saling unjuk kedigdayaan, berusaha saling mengalahkan dan menjatuhkan.

 

Di sudut lain, Sanghyang Manikmaya hanya bisa memandang dua saudaranya itu dari kejauhan, sambil sesekali berteriak, “Cukup … cukup. Sudahi saja pertikaian kalian!”

 

Sebelumnya, terjadi perdebatan sengit antara Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya. Mereka sama-sama menganggap diri sebagai anak Sanghyang Tunggal yang paling digdaya.

 

“Lihatlah, aku akan mengunyah gunung itu sampai akar-akarnya. Akulah yang paling kuat di antara anak-anak Pukulun Sanghyang Tunggal!” sesumbar Sangyang Antaga sambil menunjuk ke puncak sebuah gunung di antara gugusan Pegunungan Himalaya.

 

“Jangan merasa paling digdaya. Dengan sekali isapan, gunung itu akan kutelan tak tersisa!” balas Sanghyang Ismaya, tak kalah lantang, menunjuk puncak gunung lainnya.

 

Sejak berembus desas-desus bahwa Sanghyang Tunggal akan turun dari takhta Kahyangan Tengguru, dua anak Dewa itu mendadak berambisi untuk menggantikan. Entah apa alasannya, mereka sangat menginginkan menjadi Raja dari para Dewa. Sebuah kedudukan yang akan menjadikan mereka dihormati segala makhluk di seluruh penjuru semesta.

 

Napas dua anak Dewa itu naik turun tak beraturan, sesekali tampak keduanya mengatur hirupan dan embusan sedemikian rupa. Sudah tiga hari tiga malam mereka saling baku hantam. Dari pagi hingga pagi kembali, tak ada usai. Dari malam sampai bertemu malam, mereka terus mengobarkan api dendam yang tak kunjung padam. Jika pertarungan itu terjadi siang hari, keringat yang bercucuran menjadikan tubuh keduanya berkilauan. Bongkahan salju lebur, pohon tumbang, batu-batu di lereng pegunungan itu longsong, terempas ke bawah, binatang-binatang lari tunggang-langgang, sebab ngeri melihat dua sosok anak Dewa saling terjang, tumbang, bangkit, dan hantam kembali. Saat gelap, gerakan mereka serupa lesatan-lesatan meteor yang jatuh dari langit. Membawa pijar yang berkeliaran di langit Himalaya. Tetesan-tetesan salju hanya berjatuhan pelan, tak berani mengusik adu pukulan yang entah kapan menemui pemberhentian.

 

Anak-anak Dewa itu sebenarnya terlahir dalam waktu yang bersamaan. Bertahun-tahun lalu, Sanghyang Tunggal ingin memiliki anak yang memiliki wujud jasad maupun sukma. Lazimnya, bangsa Dewa hanya berwujud sukma. Sanghyang Tunggal berkeinginan seperti itu agar kelak keturunannya bisa menjadi pemimpin Triloka—tiga alam, yaitu alam atas, alam tengah, dan alam bawah. Keturunan seperti itulah yang kelak juga dia harapkan bisa memimpin bangsa manusia seperti Nabi Sulaiman—sosok yang pernah mengalahkan ayahnya, Sanghyang Wenang.

 

Syahdan, Sanghyang Tunggal berpamitan kepada istrinya—Dewi Darmani—untuk mengembara, mewujudkan keinginannya. Dewi Darmani mengizinkan serta merelakan niat itu. Sebab permintaan seorang pemimpin Dewa adalah sabda, tak elok untuk dibantah.

 

Dalam pengembaraan, Sanghyang Tunggal bertemu dengan Dewi Rekatawati, anak perempuan dari penguasa bangsa kepiting di Negeri Telengsamudera. Sanghyang Tunggal mendapat firasat bahwa sosok inilah yang dapat memberinya anak yang berwujud jasad maupun sukma. Dia menikahi Dewi Rekatawati.

 

Satu bulan setelah menyenggamai Dewi Rekatawati, Sanghyang Tunggal mendapati istri keduanya itu mengandung. Ketika tiba waktunya melahirkan, ternyata yang keluar dari rahim Dewi Rekatawati hanya sebutir telur. Barangkali kodrat sebagai bangsa kepiting yang menjadi penyebabnya. Sanghyang Tunggal kecewa, tanpa sadar dia melempar telur itu. Alih-alih telur itu pecah, justru ia melesat terbang ke cakrawala, meninggalkan Telengsamudera. Sontak Sanghyang Tunggal ikut terbang mengejarnya.

 

Ternyata telur itu menunjukkan jalan pulang bagi Sanghyang Tunggal. Ia mendarat di Kahyangan Tengguru, tepat di hadapan Sanghyang Wenang yang seketika terjaga dari semadi.

 

Pukulun, sebenarnya telur ini adalah anakku dari Dewi Rekatawati,” jelas Sanghyang Tunggal yang datang menyusul.

 

Sanghyang Wenang mengangguk-angguk. Dia mengambil Tirtamarta Kamandanu—air suci kehidupan yang dulu diperoleh leluhur bangsa Dewa, Sanghyang Nurcahya, ketika mengembara ke tanah Lulmat di Kutub Utara—lalu menyiramkan ke permukaan telur.

 

Seketika, cangkang telur terbuka dan berubah menjadi seorang bayi laki-laki. Sanghyang Tunggal memberinya nama Antaga. Tak lama berselang, putih telur juga berubah menjadi bayi laki-laki lain yang diberi nama Ismaya. Terakhir, kuning telur berubah menjadi bayi laki-laki pula. Ia diberi nama Manikmaya. Terkabullah keinginan Sanghyang Tunggal memiliki anak berwujud jasad dan sukma.

 

Akan tetapi, Sanghyang Tunggal lupa, ketiga anak laki-lakinya itu sesungguhnya lahir dari persilangan Dewa dan kepiting. Naluri hewan yang memiliki watak rakus, kadang masih melekat pada diri anak-anaknya. Kini, ketika mereka tumbuh dan saling bertarung, Sanghyang Tunggal baru menyadari itu. Jika saja dia tahu semua akan menjadi sebuah pertikaian, tentu telur itu dulu akan dihancurkannya, bahkan ketika mereka belum dihidupkan Sanghyang Wenang dengan Tirtamarta Kamandanu. Namun, masa lalu siapa yang bisa diulang?

 

Kini, setelah mereka tumbuh dewasa, watak rakus itu muncul. Terjadi perselisihan antara Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya. Mereka berdua menganggap diri paling pantas mewarisi takhta Kahyangan Tengguru. Sanghyang Antaga sebagai anak tertua merasa yang paling berhak naik takhta. Namun, itu dibantah oleh Sanghyang Ismaya. Putih telur itu mengungkap rahasia kisah buyutnya—Sanghyang Nurrasa—yang pernah menunjuk Sanghyang Wenang sebagai penerus takhta. Padahal, di antara anak-anak Sanghyang Nurrasa, Sanghyang Darmajaka yang lebih tua dari Sanghyang Tunggal.

 

***

 

Hari ketika Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya bertarung, sebongkah salju abadi, yang entah sudah berumur berapa puluh tahun membeku di puncak Himalaya, tak sedikit pun berkedip—sepertinya ia bengong, sedang apa mereka berdua? Sementara dua anak Dewa yang bertikai tak acuh dengan bongkah-bongkah salju. Satu hal yang tidak mereka sadari, sebenarnya ada sebongkah salju sedang tertawa terbahak-bahak melihat dua sosok saling membenturkan tubuh lawan ke tebing-tebing bebatuan.

 

Benturan-benturan itu membuat dua tubuh terjengkang. Sanghyang Antaga tersangkut pada sebuah bongkahan salju abadi. Tak bergerak lagi. Sanghyang Ismaya jatuh terperosok ke jurang yang curam dan tak sadarkan diri. Hewan-hewan musim dingin datang mengerubuti. Barangkali mengira bahwa keduanya adalah santapan bagi mereka.

 

Akan tetapi, kejadian itu hanya berlangsung sebentar. Tubuh Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya pelan-pelan menggeliat. Kelopak mata mereka terbuka. Serupa terjaga dari mimpi dan menemukan kesadaran dengan alam yang dipijaknya, mereka bangkit, lalu saling terjang kembali.

 

Saat keduanya sudah mengeluarkan seluruh kekuatan yang dimiliki itulah, Sanghyang Manikmaya menghampiri mereka untuk menengahi. Dia menyarankan agar Sanghyang Antaga dan Sanghyang Ismaya menelan gunung ke dalam perut dan mengeluarkannya lagi melalui dubur. Dengan cara itulah akan terlihat siapa yang lebih digdaya. Mereka bertiga sepakat.

 

Sanghyang Antaga yang lebih dulu memilih sebuah gunung di gugusan Pegunungan Himalaya, kemudian berusaha mengunyahnya dengan lahap. Setelah mengeluarkan seluruh tenaga, gunung tersebut pun masuk ke dalam perutnya, tetapi tidak bisa keluar dari dubur.

 

Sanghyang Ismaya ganti memilih sebuah gunung lain yang ukurannya lebih besar. Dengan sabar dan pelan-pelan dia mengunyah gunung itu hingga masuk ke dalam perutnya. Namun, dia juga tidak mampu mengeluarkannya melalui dubur.

 

Berhari-hari kemudian, dua anak Sanghyang Tunggal itu tak juga usai mewujudkan ambisi. Sebuah pengakuan akan siapa yang pantas disebut paling digdaya dan berhak atas takhta, terus menutup akal sehat mereka. Padahal, keduanya sudah sama-sama tumbang.

 

Wujud mereka sudah tak bisa lagi dikenali. Gunung-gunung yang mereka telan telah menjadikan mulut Sanghyang Antaga melebar sepanjang dua depa, juga membuat perut Sanghyang Ismaya membuncit tiga depa.

 

Para Dewa meneteskan air mata menyaksikan pemandangan adu kedigdayaan sesama saudara, hanya demi memburu sebuah kursi kekuasaan. Mereka sadar, peristiwa itu akan menerobos dimensi waktu. Melesat jauh ke masa depan, menjadi simbol peradaban manusia kelak. Menjadi contoh bagi anak cucu manusia yang rakus, tamak, dan melakukan cara apa saja demi memuaskan hasrat duniawi.

 

Kahyangan Tengguru seolah sudah tak layak dipijak para Dewa. Sanghyang Tunggal meratapi ulah anak-anaknya. Karena merekalah kahyangan tak pantas lagi menjadi titik kiblat, arah untuk menyembah.

 

Ngger, anak-anakku, Antaga dan Ismaya. Apa yang sedang kalian lakukan? Apa yang sedang kalian rebutkan?” Air mata membelah sepasang pipi Sanghyang Tunggal yang tirus-legam dan mulai keriput. “Tidakkah kalian sadar, pertikaian sesama putra-putra Kahyangan, sesama pemilik kodrat sebagai pemelihara kahyangan beserta semesta, hanya akan menjadikan kehancuran bangsa kita? Pertikaian yang kalian kibarkan ini justru menegaskan bahwa takhta Tengguru tak pantas aku wariskan kepada kalian berdua!”

 

Dua anak Dewa itu telah dikutuk oleh kerakusan mereka sendiri dalam adu kedigdayaan tiada ujung. Mulut Sanghyang Antaga robek dan membengkak selebar dua depa. Perut Sanghyang Ismaya menggelembung, kulit wajahnya mengeriput. Dari dua lubang hidungnya keluar ingus tiada henti.

 

Barangkali mereka menyesal, tetapi hanya sekadar sesal dan ratap yang tak akan bisa mengubah kutukan. Dalam isak tangis, mereka kembali mendengar samar-samar suara Sanghyang Tunggal: Togog adalah nama yang pantas untuk Antaga, dan Semar untuk Ismaya, selama menjalani kehidupan baru sebagai pengasuh manusia di muka bumi.

 

Mereka makin terjerembab ke ratap dan tangis. Setelah adu kedigdayaan, apa yang mereka dapatkan? Masih adakah takhta yang harus diperebutkan dengan mengabdi kepada kebencian, demi sebuah pengakuan sebagai penguasa? Ataukah mereka memang ditakdirkan hanya untuk bertikai dengan sesama cucu Sanghyang Wenang?

 

Namun, sekali lagi, adu kedigdayaan—dua anak Dewa yang merasa adigang—itu terlanjur terjadi. Kahyangan Tengguru kini sunyi kembali. Anak-anak Sanghyang Tunggal itu terkapar tanpa daya. Di sudut lain, Sanghyang Manikmaya tersenyum penuh kemenangan. (*)

 

Heru Sang Amurwabumi,

Pendiri Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk. Tulisan-tulisannya telah dimuat di sejumlah media massa. Pernah duduk sebagai anggota redaksi Harian BERNAS. Cerpennya, “Ode di Tengah Samudera” menjadi Juara I Lomba Cerpen BPJS Kesehatan tahun 2021, dan “Mahapralaya Bubat”, mengantarnya terpilih sebagai emerging writer di festival sastra internasional Ubud Writers & Readers Festival 2019.

 

Catatan:

Pukulun (bahasa Jawa)           = Yang Mulia, panggilan untuk Raja dan Dewa.

Ngger (bahasa Jawa)              = Kependekan dari angger (anak, nak).

 

 

 

 

 

 

Share :

Posted in ,

Berita Terkait

Rekomendasi untuk Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *