- Opini
Rabu, 22 Mar 2023 19:18 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO– Oleh: Syifa Rachmania Lathifah, Pimpinan Cabang IMM Jakarta Timur
Memulai perjalanan menjadi kader IMM itu bukan hal yang sulit. Cukup bermodalkan rasa ‘ingin tahu’, ‘penasaran’, bahkan ketika hanya karena ‘ikutan teman’ pun sudah bisa menjadi kader IMM. Namun, pertanyaan yang kemudian muncul ketika sudah tercebur adalah; tanggung jawab seperti apa yang mesti saya tunaikan selaku kader IMM? Dan apa fungsinya saya di IMM? Akankah saya yang menjadi ujung tombak dalam nasib IMM kedepan?
Mengingat IMM hanyalah nama dan wadah kosong semata tanpa peran kader yang mewarnai pergerakannya, katanya. Atau, justru sebenarnya peran kader IMM yang alih-alih untuk membangun peradaban ikatan, sejatinya adalah untuk kepentingan pragmatisnya; jadi pribadi yang lebih berkembang, dan mendapat benefit lainnya sesederhana menambah relasi, dapat kesempatan belajar berbalut hiling, berkat IMM yang sudah mewadahi, dengan segenap konsep dan AD/ART yang terstruktur dari para pelopor terdahulu.
Begitu kurang lebih sefruit intermezo yang menjadi intro dalam diskursus yang diselenggarakan oleh PC IMM Jakarta Timur dalam rangka menyemarakkan milad IMM ke-59, pada hari Sabtu, 18 Maret 2023.
Pembahasan diskursus berupa talkshow yang dipantik oleh Kakanda Ahmad Soleh dan Pak Barok mengenai peluang dan tantangan dalam merawat gerakan mahasiswa, serta IMM dan gagasan untuk peradaban. Bermula dari kondisi hari ini, bahwa kita hidup di rezim informasi. Berbagai arus informasi dapat kita akses dengan begitu mudahnya.
Perihal komunikasi dan pekerjaan yang biasa dilakukan dengan interaksi secara langsung dan berkelompok, kini memiliki banyak alternatif seiring dengan kemajuan teknologinya. Namun bersamaan dengan kondisi tersebut, budaya literasi menjadi salah satu korban yang termarjinalisasikan dari generasi yang dalam memenuhi kebutuhannya serba instan, atau dikenal dengan generasi Z.
Terlebih secara empiris, ketertarikan untuk bergelut di dunia organisasi hari ini yang menjadi pertimbangan adalah modal-effort-benefit. Seberapa menguntungkan organisasi untuk kepentingan dirinya; pragmatis.
Selain itu, jangankan untuk menyortir mana yang memiliki modal dan effort lebih untuk belajar saling memberdayakan di organisasi, untuk bisa menarik perhatian orang dalam hal recruitment saja acap kali masih menjadi tantangan bagi pengurusnya yang mestinya dituntut adaptif, kreatif dan inovatif menyesuaikan kondisi dan zamannya.
Tentunya menjadi sebuah refleksi bagi IMM yang merupakan wadah dari salah satu organisasi kemahasiswaan. Lebih jauh daripada itu, secara filosofis IMM punya alasan atas kelahirannya, yang patut untuk dipertanggungjawabkan oleh kader-kadernya, tak terkecuali kita. Iya kita, si penerus dari 59 tahun sebelumnya IMM didirikan.
Pertanyaan yang terlintas kemudian, apakah IMM masih terjaga orisinalitasnya baik secara ideologi maupun ranah geraknya sejak pertama kali didirikan hingga sekarang? Apakah yang IMM perjuangkan dulu dengan hari ini substansinya masih sama?
Berbagai teori, case dan analogi yang disampaikan oleh Kakanda Soleh dan Pak Barok berujung pada pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh membuat kita, khususnya saya pribadi tertampar, bukan hanya sekedar merefleksikan keberadaan saya di ikatan sejauh ini.
Pertanyaannya juga bukan yang bisa dijawab seketika dan sekejap, melainkan patut untuk direnungkan, dan sedikit banyaknya lebih tercerahkan ketika Pak Barok sampaikan dengan teori Punctuated Equilibrium nya, bahwa kehidupan kita sejatinya tidak pernah dibiarkan untuk benar benar mencapai final.
Satu pencapaian terlampaui, muncul tantangan berikutnya, begitu seterusnya. Satu masalah bahkan belum selesai, namun sudah muncul masalah baru. Dan berkenaan dengan itu, nyatanya kita selalu punya celah untuk menghadapi satu demi satu dinamikanya, kan? Begitupun dengan teori Ambidextrous nya, yang menggambarkan bahwa setiap satu kesempatan yang hadir ditengah tengah kita, selalu ada dua sudut pandang yang bertolak belakang namun dituntut berjalan beriringan.
Pada sisi yang satu kita anggap kesempatan itu sebagai peluang, namun di sisi yang lain bisa juga sebagai ancaman. Dengan segala situasinya, yang kemudian bisa kita refleksikan adalah kendali utuh tetap ada di kita selaku nahkodanya.
Belum selesai sampai di situ, malam refleksi sebagai ajang silaturahim lintas generasi dan lintas komisariat se-Jakarta Timur semakin menghantarkan suasana khidmat. Terselip nasehat, afirmasi, dan harapan sederhana didalamnya yang dilontarkan dari senior maupun kader.
Satu diantaranya adalah kita sebagai aktivis jangan sampai melupakan hal dasar sesederhana disiplin dalam menapaki setiap proses dan pelaksanaan kegiatannya. Sebab disiplin menunjukkan komitmen dan integritas kita terhadap segala aspek kehidupan, dan akan berdampak pada keteraturan dalam hidup.
Selain itu, diingatkannya pula bahwa semestinya mahasiswa dekat dengan 3 hal; Al-Qur’an, buku, dan masyarakat, sebagai bentuk pengejawantahan dari tri-kompetensi nya. Akan menjadi omong kosong belaka segala dialektika yang dibangun di forum, bila tidak diimbangi dengan gagasan intelektualnya. Sebab peradaban itu dimulai dengan ilmu. Bilamana belum terpenuhi, maka itu berarti kesungguhannya belum maksimal.
Hal yang selalu diselipkan dalam harap; atas segala lebih dan kurangnya, semoga senantiasa dikuatkan dalam menapaki lika-liku prosesnya dengan baik.
Fastabiqul Khairats!
Redaktur: Annisya Kurniasih
Posted in Opini