- Opini
Jumat, 03 Apr 2020 13:01 WIB
No Comments
Oleh: Sugeng Riyanto*
MADRASAHDIGITAL.CO – Anak adalah investasi yang tak ternilai untuk orang tua. Investasi di sini berarti keuntungan yang dimiliki dalam jangka waktu yang cukup panjang. Bahkan, salah satu hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rosulullah salallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Salah satu amalan yang tak akan terputus hingga meninggal dan terus mengalir adalah doa anak yang saleh.” Seperti yang pernah disinggung dalam artikel sebelum ini, yaitu Rumahku Sekolahku, Guruku itu Orang Tuaku dijabarkan bahwa kewajiban kita mendidik anak hingga menjadi anak yang saleh.
Saleh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah atau suci dan beriman. Dalam membimbing anak agar taat (patuh) atau untuk menjadi beriman atau melaksanakan ibadah, tentu anak harus mengetahui tata cara serta memahaminya. Proses membimbing anak untuk mengetahui, memahami dan melaksanakan inilah yang menjadi hakikat dari ‘mendidik’.
Mendidik anak bukanlah perkara yang mudah. Selain pemahaman ilmu yang akan kita sampaikan, namun dibutuhkan juga kesabaran dan keterampilan mengenal anak. Keterampilan mengenal anak bukan pula perkara yang mudah. Banyak orang tak sabar bahkan gagal mengenal anak dan akhirnya melakukan stigmatisasi nakal dan bodoh. Hal ini mungkin sering dialami para orang tua atau juga guru yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya mengajar. Keberagaman potensi anak, kadang membuat kita sulit menikmati keunikan yang berbeda-beda. Banyak motivator pendidikan mengatakan, “Tak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak malas.” Namun, jarang menyampaikan mengapa anak bisa menjadi malas.
Kemalasan anak tentu bukan tanpa alasan. Sering kali anak memiliki hambatan atau yang kini kita sebut keunikan dalam belajar yang tidak diketahui oleh gurunya atau orang tuanya. Dan pada akhirnya anak memilih diam dalam proses belajar hingga stigmatisasi “bodoh” melekat padanya. Atau anak mengalihkan ketidaktahuannya dengan mengerjakan hal-hal yang tidak sesuai dengan proses pembelajaran hingga sering terstigmatisasi anak yang ‘nakal’.
Menikmati Nakalnya Anak
“Imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan,” kata Albert Enstein. Begitu kata Albert Einstein, anak yang dicap ‘bodoh’ namun pada akhirnya menjadi seorang penemu dan diakui dunia sebagai salah satu orang tercerdas di abad 21 ini. Sekolah sering kali dengan tidak sengaja membonsai kemampuan siswa. Dalam beberapa literasi pendidikan kritis, sekolah digambarkan bagai pabrik roti yang mencetak lulusan yang sama dengan cara yang sama. Penyeragaman bukan hanya terjadi di luarnya (pakaian) tapi juga dari cara memaknai kata “belajar” itu sendiri.
Hal itu berakar dari sempitnya kita memahami kata “cerdas”. Landasaan kita menjabarkan makna cerdas hanya tertumpu pada kecerdasan IQ semata. Kecerdasan IQ meliputi kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan daya tangkap belajar. Kecerdasaan IQ ini hanya bertumpu pada kemampuan kognitif semata. Hingga pada akhirnya cerdas hanya disematkan pada orang-orang yang memiliki kemampuan di atas, sedangkan yang tidak memiliki kemampuan tersebut dianggap “pandir”.
Di awal 1980-an, seorang pakar pendidikan sekaligu psikolog bernama Howard Earl Gardner, menepis konsep kecerdasaan yang sempit itu. Gardner kemudian mengemukakan teori multiple intelligences atau kecerdasan majemuk. Gardner mengungkapkan bahwa manusia atau seorang anak memiliki lebih dari satu kecerdasan dalam dirinya.
Namun, dari kecerdasan-kecerdasan itu tentu ada yang paling dominan, baik dua, tiga atau empat kecerdasan. Maka dibutuhkan pengetahuan akan multiple intelligences atau kecerdasan majemuk ini. Agar kita bisa menikmati “nakalnya” anak dan membimbingnya untuk memaksimalkan kecerdasan tanpa harus membunuh potensi yang ada di dalam dirinya.
Kecerdasan Majemuk (MI)
Dalam teori multiple intelligences atau yang selanjutnya akan singkat dengan MI, disebutkan bahwa manusia terlahir dengan lebih dari satu kecerdasan. Tetapi yang nampak adalah yang paling dominan dari kesemuanya. Hingga kita sering beranggapan bahwa seseorang hanya pandai pada ilmu tertentu namun tidak pada ilmu lain. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah, melainkan perlu dipahami bahwa seseorang memiliki kemampuan lain yang mungkin terpendam dan harus digali hingga dapat terlihat.
Dalam teori MI, diulas sembilan kecerdasaan yang dimiliki manusia. Dengan memahami kesembilan karakter kecerdasan ini, diharapkan orang tua atau guru memiliki wawasan lebih luas tentang definisi kecerdasan. Sehingga tidak lagi melakukan stereotip pada anak yang dapat berdampak pada perkembangan psikis (kejiwaan) anak. Pada kesempatan ini kita akan membedah dua kecerdasan terlebih dahulu agar pemahaman kita terskema.
Kecerdasan Bahasa
Kecerdasan yang akan dibahas pertama kali yaitu, kecerdasaan bahasa atau linguistik. Anak dengan tipe kecerdasan ini akan lebih tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa. Dari kemampuan bahasa lisan hingga tulisan. Kemampuan ini pertama kali muncul pada manusia ketika ia masih balita dan mulai membeo (meniru) bahasa (makna bunyi) yang dipelajari dari orang tua. Dengan bentuk kemampuan lisan. Lalu mengenal simbol tertulis berupa huruf-huruf yang berpadu. Namun, karena keterampilan bahasa tulis merupakan keterampilan lanjut dari kecerdasan lisan, maka anak-anak lebih dominan menggunakan keterampilan lisannya.
Untuk mengasah kemampuan ini secara natural, anak akan lebih sering berbagi cerita dengan teman sejawatnya atau orang yang membuatnya merasa nyaman. Semakin terampil kemampuannya maka struktur bahasa lisannya semakin baik. Sangat wajar jika anak sangat suka menceritakan atau dalam bahasa kita “ngobrol” dengan temannya di sekolah dengan tema-tema yang dia anggap menarik. Tak terkecuali pada saat pelajaran atau belajar. Namun orang tua atau guru yang kurang memahami tentu melihat anak tersebut sebagai pengganggu. Jika kita mau berpikir jernih, dibalik itu semua ada kesempatan orang tua dan guru melatih serta mengarahkan potensi anak.
Ngobrol bukanlah perkara mudah. Pada saat ngobrol, anak akan menggunakan kemampuan mendengar, mencari garis besar, dan poin yang akan diulas kembali dari obrolan. Selain itu, ia harus dapat mengkreasi apa yang dianggapnya menarik ke lawan bicaranya. Ketika ia mampu membungkus ceritanya lebih menarik dibanding dengan lawan bicara, maka dia akan mampu menguasai forum “ngobrolnya”. Dalam obrolan, kekayaan perbendaharaan kata juga bertambah. Namun terkadang orang dewasa abai terhadap obrolan anak-anak hingga yang terjadi anak menggunakan kata tanpa paham makna.
Peluang lanjutan juga bisa dilakukan dengan mengarahkan mereka menjadi seorang penulis. Dengan menulis hal-hal yang sederhana, dimulai dari yang mereka lakukan hingga yang mereka rasakan. Pada tingkat yang lebih lanjut, anak atau orang yang memiliki kecerdasaan ini dapat tampil di ranah publik, misalnya menjadi seorang public speaking yang baik. Seperti menjadi juru bicara, juru lobi, motivator, orator, penulis buku fiksi maupun nonfiksi. Hal yang paling fundamental adalah dia mampu berkomunikasi dengan baik.
Kecerdasan Visual dan Spasial
Kecerdasan visual dan spasial berarti kemampuan dan kepekaan tajam akan gambar, warna, garis, bentuk, dan ruang. Pada kehidupan sehari-hari, kecerdasan visual dan spasial sederhana sering sekali kita rasakan. Misalnya kita lebih mudah menghafal wajah dibandingkan nama. Kita lebih tertarik pada benda atau hal yang unik dari segi tampilan, warna, bentuk, dan lainnya. Dalam kecerdasan ini, terkadang orang tua atau guru memilih menggunakan sketsa, skema, atau mind mapping dalam menjelaskan pelajaran untuk memberikan gambaran umum.
Menggambar merupakan hal yang sangat menghibur bagi anak-anak maupun orang dewasa. Menggambar juga dapat menghilangkan stres atau kejenuhan disela aktivitas sehari-hari yang mengerumuni kita. Hal yang jarang juga kita sadari bahwa menggambar adalah kemampuan kedua yang paling umum dimiliki setiap manusia.
Pada usia anak-anak kita sering sekali “mencoret-coret” buku yang diberikan orang tua kita atau menggambar di tembok hingga menyebabkan orang tua kita menjadi jengkel. Kejengkelan ini berasal dari ketidaktahuan kita bahwa ada peluang dari kreasi dalam bentuk “mencoret-coret” tersebut. Sehingga tercipta stereotip “nakal” yang dilekatkan pada anak-anak sebagai tersangka.
Kenyataannya, anak dengan kecerdasan visual dan spasial memiliki rekaman otak lebih panjang dari yang lain. Dengan kemampuan visual dan spasial pada masa anak-anak, orang tua dapat memanfaatkan sebagai sebuah jembatan mengenalkan ilmu-ilmu yang ada. Mulai dari ilmu eksakta (Matematika, Sains) sampai ilmu sosial. Misalkan dari coret-coret lingkaran, seorang ibu menjelaskan itu adalah sebuah bentuk lingkaran. Sedangkan, jika membuat banyak lingkaran, maka sang ibu dapat mengajarkan penjumlahan. Jika lingkaran satu berbeda dengan yang lain, sang ibu mengajarakan perbedaan dan keberagaman manusia.
Peluang orang-orang yang memiliki kecerdasaan visual dan spasial ini pun tidak sedikit. Dimulai dari menjadi seorang pelukis, ilustrator (orang yang menggambarkan cerita tertentu), komikus, arsitek, atau tidak menutup kemungkinan jika mendapatkan bimbingan yang tepat, dia bukan hanya dapat menggunakan kecerdasaan visual spasial yang dimiliki melainkan dapat menggali kercedasan lain yang ia miliki.
Demikan dua kecerdasan dari sembilan kecerdasan dalam teori multiple intelligences yang kita bahasa di bagian pertama ini. Dan kita akan memperdalam kecerdasan lainnya dalam teori multiple intelligences pada bagian selanjutnya.
Akhirnya, momentum peniadaan UN sebagai momok menakutkan bagi siswa kelas akhir ini dapat dijadikan peluang bagi orang tua dan guru untuk memahami dan memanusiakan anak-anak dalam pemahaman kecerdasan yang lebih luas. Hingga tercipta interaksi yang menghangat antara anak, orang tua, dan guru. Memetik perkataan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim di kanal Youtube Dedy Corbuzier, “Jika orang tua dapat menjadi guru dan guru dapat menjadi orang tua, maka selesai masalah pendidikan kita”.
*Praktisi dan Pemerhati Pendidikan Nasional
Posted in Opini