Kaum Muslim Milenial Jadi Penentu

-
Jumat, 08 Feb 2019 05:15 WIB
No Comments

Gambar Ahmad Soleh

Oleh: Ahmad Soleh, gemar menulis esai dan puisi

Arah gerak politik pra-pilpres 2019 kian memanas. Bahkan, riak-riak gesekan antara kedua kubu pendukung garis keras, kubu hastag 2019 ganti presiden vs 2019 Jkw dua periode, sudah kentara. Memang, dinamika politik yang demikian kurang sedap dipandang, apalagi jika kita harus membayar kerugian yang diakibatkan olehnya; masyarakat terbelah. Bangkrutlah sudah demokrasi bangsa kita ini.

Hal itu pun patut menjadi perhatian bagi aparat dan pemerintah, terlebih para politisi antara kedua kubu untuk bisa menyejukkan kedua massa politiknya. Yaitu dengan kampanye-kampanye cerdas dan bermartabat. Masalah siapa yang lebih kuat, tentu bukan dilihat dari seberapa larisnya penjualan kaos bertuliskan hastag, seberapa banyak massa aksi, atau seberapa brutal massa saling adang. Melainkan bagaimana kampanye kedua paslon bisa meraih simpati masyarakat seluas-luasnya. Terutama kepada mereka yang masih gamang terhadap siapa yang bakal menjadi pilihannya.

Di tengah keruhnya kondisi suporter kedua kubu yang saling sikut, adu tinju, adu hastag, balas-berbalas komentar, hingga debat tak berujung di media sosial, yang kadang bermuara pada kedangkalan emosional dan akal, masih ada kubu yang belum menentukan pilihan. Atau, setidaknya belum mau berisik mengekspresikan siapa yang mereka pilih. Kaum inilah yang bakal menjadi rebutan kedua kubu paslon.

Kelompok massa yang masih langgas ini bukan merupakan loyalis kedua capres atau tokoh yang mendampinginya. Di sisi lain, kaum ini pulalah yang dalam pendangan penulis bakal menjadi penentu siapa yang bakal betul-betul menjadi nakhoda bangsa ini ke depan. Sebut saja mereka adalah kaum muslim milenial. Maka, kedua kubu harus memiliki strategi yang matang untuk membuat kelompok massa pemilih cerdas ini tertarik dengan gagasan-gagasan yang ditawarkan paslon.

Hentikan pertikaian

Para pendukung kedua kubu harusnya tak lagi mempertontonkan kebodohan dengan bentrokan massa, adu jotos di jalanan, saling bakar jersey bertulis hastag, atau sibuk debat kusir di media sosial. Karena beragam budaya demokrasi yang kumuh dan jorok semacam itu justru bakal membuat kaum muda milenial apatis lantaran muak dengan kelakuan brutal para suporter. Terlebih, dinamika politik tak sehat itu tidak mengedukasi masyarakat untuk dewasa dalam berpolitik. Justru hal itu seperti menggali jurang antara dua kubu yang suatu saat bisa saja jurang itu mengubur keduanya.

Beragam pemberitaan media tentang presekusi dan bentrokan yang terjadi antara pendukung paslon, menjadi suatu isyarat bahwa sikap demokrasi kita belum cukup matang. Biarpun sebenarnya dalam hal perbedaan kita sudah sama-sama mafhum, nyatanya untuk soal beda pilihan politik saja masyarakat kita masih bertingkah kekanak-kanakan. Ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah dan para politisi. Tentang bagaimana edukasi politik yang berjalan selama ini.

Memang betul hati ini perih dan luka melihat gelombang konflik yang semenjak pilpres 2014 silam tak sudah-sudah menyayat nurani bangsa kita. Dengan peliknya dinamika politik itu, kedewasaan dalam berpolitik—apalagi dalam urusan pilih-memilih—pun seharusnya kita sudah khatam. Kita bisa melihat bagaimana dinamika di atas, para paslon dan pengusungnya belakangan menunjukkan sikap dewasa dan berhadapan secara jantan. Jangan lagi dikotori dengan bertikai dan saling serang. Jangan lagi saling provokasi dan memancing emosi.

Jangan apatis

Jika kita lihat sosok dari kedua paslon, kita bisa setidaknya meraba seperti apa strategi keduanya untuk meraup massa. Kubu Jokowi yang menggandeng KH Ma’ruf Amin, tentu berharap kaum santri, Nahdliyin, dan Muslim pada umumnya bakal simpatik. Mengingat Kyai Ma’ruf memang sosok ulama kharismatik yang punya peran penting dalam penerapan ekonomi syariah di negeri ini. Latar belakang NU dan kiprahnya sebagai ketua MUI, tentu menjadi hitungan.

Sementara, kedekatan Jokowi dengan kaum milenial, rasanya cukup menjadi modal untuk meraup simpatik generasi zaman now. Dengan begitu, kalkulasi pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin nyaris sempurna. Terlepas dari adanya barisan sakit hati atau kecewa, tentu kalompok loyalis kubu Jokowi-Ma’ruf juga begitu kuat. Jika kita lihat dari banyaknya partai yang mendukung dan mengusungnya.

Tak lepas pula dari atensi publik, bagaimana mencengangkannya pilihan kubu Prabowo yang menggaet Sandiaga Salahuddin Uno sebagai cawapres. Prabowo yang dikenal begitu kental sebagai nasionalis berbasis militer, apalagi dia juga dikenal dekat dengan ulama. Bahkan, sebelumnya santer terdengar bakal cawapresnya merupakan hasil ijtima GNPF Ulama.

Di samping itu semua, tentu masih ada kelompok massa yang masih bebas dan belum menentukan pilihan (swing voters). Merekalah kekuatan penentu. Jika kaum milenial dan umat Muslim di masing-masing kubu sama kuat, kekuatan massa kaum muslim mileniallah yang memegang kunci jawaban siapa yang bakal memimpin bangsa ini ke depan. Terlebih kelompok massa ini memiliki idealisme kuat, pemikiran rasional, dan tidak mudah dibeli dengan janji-janji, slogan, atau simbol-simbol keyakinan. Seleksi ketat bakal mereka lakukan untuk menentukan pilihan antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.

Suara kaum muslim milenial ini amat mahal. Mereka tak bisa jadi budak dan komoditas politik praktis yang sarat kepentingan. Salah-salah, kedua kubu bakal kehilangan suara dari kelompok kaum muda ini, jika saja kampanye yang dilakukan tidak cerdas. Apalagi, hanya mengedepankan ego, saling menjatuhkan, dan menjual simbol agama tertentu.

Yang dibutuhkan kaum muslim milenial adalah gagasan, ide-ide besar, analisis, solusi, dan apa yang akan dilakukan untuk bangsa ke depan. Sehingga, kedua kubu harus bisa menghadirkan iklim kampanye yang dewasa, sportif, bersih, dan bebas dari kampanye hitam untuk bisa meraih atensi kelompok ini.

Begitu pun dengan kaum muslim milenial yang saat ini masih gamang hendak memilih siapa. Tentu kaum muslim milenial tak boleh apatis, kalian harus jadi lokomotif para pemilih cerdas yang bisa mengedukasi masyarakat. Tidak dengan kampanye hitam atau menyebar hoaks. Tapi dengan analisis tajam terhadap kekurangan dan kelebihan kedua paslon. Sehingga masyarakat pun bisa memilih dengan rasional. Maka, arah bangsa ini ke depan ada di tangan kita. Kaum muda muslim, kaum milenial yang melek politik, pemilih cerdas dengan kesadaran kritis. Kaum muslim milenial; sang penentu.

Share :

Posted in

Berita Terkait

Rekomendasi untuk Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *