- Opini
Jumat, 05 Jul 2019 12:13 WIB
No Comments
Oleh: Rifky Arianto*
Tidak dapat dimungkiri bahwa politik merupakan seni tertinggi dalam hal mengatur sebuah negara beserta kebijakan-kebijakannya. Politik memiliki variabel yang sangat rumit sehingga sangat sulit untuk membaca dan menganalisis secara akurat. Maka tidak heran setiap perencanaan politik, dinamikanya selalu berubah-ubah. Bahkan, tidak jarang perencanaan tersebut berakhir buntu, dalam artian sama sekali tidak berhasil menemukan satu titik ideal.
Seni mengolah dan mengatur siasat (politik) seharusnya bersifat kritis dan reflektif dalam pelaksanaannya. Hanya saja, politik kadang kala berubah menjadi sebuah momok, bergantung siapa yang memerankannya. Politik sebagai sebuah seni haruslah ditonjolkan kepada publik menggunakan riasan menarik dan dapat dipahami oleh khalayak dengan tujuan politik mampu dipahami secara menyuluruh dalam setiap lapisan masyarakat. Edukasi politik sangat penting bagi masyarakat Indonesia saat ini demi mewujudkan pemerintahan ideal sesuai dengan yang dicita-citakan.
Sejauh ini, penulis memahami literasi politik di tengah-tengah masyarakat Indonesia sangat penting, melihat kondisi nasional dan internasional dari waktu ke waktu berubah tak beraturan dengan ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat. Di satu sisi, hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan, di sisi lain kemajuan teknologi informasi juga dapat membentur nilai-nilai luhur dalam masyarakat dan dalam dunia politik.
Belakangan, tensi perbincangan mengenai politik makin tinggi. Masyarakat dibingungkan oleh isu-isu simpang siur yang muncul ke permukaan publik berkenaan dengan kondisi politik di era seperti sekarang. Ditambah dengan kemajuan teknologi informasi memungkinkan skala politik menjadi tak dapat dipegang secara penuh. Berbagai berita sangat mudah diakses dan mengakses tanpa perlu ada tinjauan khusus untuk mencerna informasi-informasi yang masuk.
Sejalan dengan kemajuan tersebut, sebuah konsep berpikir yang keliru hadir, yakni fenomena post-truth. Dalam fenomena post-truth kebenaran bukan menjadi nilai terpenting, melainkan rasa suka menjadi landasan berpikir seseorang. Post-truth atau pascakebenaran merupakan kajian dari aliran post-modernism yang banyak berbicara mengenai situasi dan kondisi dunia yang harus menghadapi tantangan serius dari kemajuan teknologi terhadap nilai-nilai humanistik dan moralitas. Post-truth termasuk kedalam kategori logic fallacy (kesalahan pikir) yang mendesain pola pikir manusia untuk menyangkal sebuah fakta dan data yang membuktikan suatu kebenaran akan sesuatu (Lee McIntyre: 2018).
Post-truth pernah digunakan tatkala pemilihan presiden dan wakil presiden Amerika Serikat yang mempertemukan Donald Trump dengan Hillary Clinton. Saat itu, Trump memainkan post-truth untuk mendongkrak suara pemilih warga Amerika dengan “menggoreng” sebuah isu yang sangat sensitif ke ranah publik, yakni isu agama dan ras. Trump dalam kampanyenya selalu membawa kesan negatif dan jelek terhadap warga Amerika yang memeluk Islam. Padahal, dari sudut pandang kebenaran, apa yang diucapkan Trump sangat keliru seperti “agama Islam adalah agama yang mengajarkan kebencian kepada agama lain”. Perkataan Trump di kritik keras oleh orang-orang Islam di negara lain, walaupun kenyataannya isu tersebut begitu laris menarik suara warga Amerika yang sudah terlanjur tidak suka terhadap agama Islam.
Di Indonesia sendiri, post-truth sempat digunakan ketika ramai-ramai pemilihan presiden dan wakil presiden. Kedua kubu tentu saja para partisan yang minim literasi atau bahkan yang cukup literasi pun sama-sama gemar melempar isu miring kepada lawan politiknya. Lagi-lagi isu agama masih menjadi primadona dalam post-truth dalam politik, tuduhan-tuduhan yang kebenarannya acap kali menjadi senjata utama untuk mendulang suara.
Bahkan, dampak dari post-truth sangat terasa hingga ke berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi sampai masyarakat kelas bawah yang buta huruf sekalipun. Bukan bermaksud mendiskriminasi, akan tetapi sebuah fakta bahwa tingkat literasi politik masyarakat Indonesia memang sangat rendah jika dibandingkan negara-negara Asia Tenggara yang lain.
Masyarakat Indonesia sangat mudah termakan post-truth atau hoax tanpa adanya konfirmasi terlebih dahulu. Maka, sangat penting sekali menumbuhkan literasi politik di tengah masyarakat Indonesia demi mewujudkan nalar kritis yang tajam serta menghindari potensi perpecahan yang terjadi oleh sebuah gagasan politik yang keliru.
Sejatinya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) perlu mencerahkan pemikiran-pemikiran masyarakat Indonesia, salah satunya dalam hal politik. Dalam pandangan penulis, politik dan berpolitik bukan sebuah barang “najis” bagi kader IMM, mengapa? Karena pada hakikatnya politik itu seperti perangkat komputer baru dan orang yang memegang komputer tersebutlah yang berhak untuk mengisi program apa saja yang akan dia masukkan. Politik pun demikian, bila politik dipegang oleh orang-orang yang tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat, tentu ke depannya patut dipertanyakan.
Kader IMM dengan semangat humanitas, religiositas, dan intelektualitasnya perlu ambil bagian di dalam sistem tersebut. Jika memang berkeingan masyarakat dan negara ideal yang selama ini dicita-citakan. Ada banyak cara untuk bisa sampai ke tahap paling atas, tetapi tentu kader IMM harus menempuh cara dan jalur yang baik, benar, jujur, dan amanah serta dapat mempertanggungjawabkannya.
Bukan tidak mungkin, ke depan tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi makin sulit, jika kita lihat era disruption yang makin menggila dan tidak terbendung lagi. Post-truth hanya satu bentuk kecil dari tantangan tersebut, masih banyak tugas yang perlu IMM selesaikan. Langkah sederhana yang paling relevan, yakni meningkatkan literasi politik kepada masyarakat Indonesia agar tidak terbelenggu oleh bayang semu politik kekuasaan yang menyesatkan.
*Bidang Hikmah IMM FKIP UHAMKA, Mahasiswa Prodi Sejarah FKIP UHAMKA
Posted in Opini