- Opini
Kamis, 29 Okt 2020 01:31 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh : Faiz Al Ghiffary
Di negeri asal sastrawan besar dunia lahir; Pramoedya Ananta Toer, penyair di habisi hanya karena kata-katanya, ialah Wiji Thukul, bara api yang kini tumbuh di sekujur tubuh generasi bangsa. Di negeri secuil surga yang jatuh ke bumi, kayu dan batu menjadi tanaman. Tapi itu dulu, kini kayu dan batu tumbuh menjadi gedung-gedung tinggi menjulang dan melahirkan kemiskinan juga kelaparan.
Di negeri yang pernah melahirkan bapak revolusi; Soekarno, demokrasi keok oleh penumpang kapal-kapal partai politik. Soekarno, dengan kebesaran hati dan jiwanya mengatakan “perjuanganmu akan lebih berat karena melawan bangsamu sendiri”, begitulah realitas bangsa yang sedang di pertontonkan elit penguasa, dan di rasakan seluruh rakyat saat ini. Panggung politik mirip seperti arena pertempuran, saling klaim kebenaran, menebar kebencian, semua sama; membawa kepentingan perut dan golongan bukan kemakmuran atas seluruh bangsa.
Selamat datang di negeri ini, negeri yang terlalu riuh dan penuh kebisingan. Sesak oleh pemimpin yang larut dalam janji-janji politis, dan berdagang atas nama kemanusiaan. Sibuk mencari tanpa pernah mendengar, mungkin bukan telinga tetapi dengan segenap jiwa dan cinta. Kelangkaan pemimpin benar-benar terjadi, ia yang kami rindukan, raga dengan penuh empati dan solusi, humanis tanpa polesan, ia yang rela memungut sisa-sisa perang, meneguhkan jiwa yang terlanjur patah oleh ulah elit penguasa, merangkai seluruh asa, juga dengan kejernihan hati mengabarkannya keseluruh penjuru.
Jauh daripada itu, di negeri yang terlanjur penuh arogansi, perlu kita pelajari beberapa hal. Nyawa sering kali tak berarti, kala berhadapan dengan kepentingan penguasa dan pengusaha. Mempertahankan tanah pribadi bisa menjadi haram, sebab regulasi di manipulasi untuk berpihak pada mereka yang tamak dan haus akan kekayaan. Hutan-hutan di babat, orang utan terancam punah, singa tak lagi menjadi raja rimba, dan monyet lari menjarah perkampungan warga. Dehumanisasi telah menjadi ancaman, pemerkosaan alam telah menjadi bencana yang menakutkan.
Dalam konteks peradaban yang demikian, para punakawan dari cerita perawayangan sangat relevan untuk dihadirkan. Tak perlu malu, perlu kita akui negeri ini butuh sosok kritik sosial, penghibur, penasihat kesatria, serta sumber kebenaran dan kebajikan, punakawanlah yang memilki karakter demikian. Pemerintah butuh kritik untuk membangun, juga butuh penasihat untuk meluruskan kembali kereta api yang jatuh dari jalurnya, sumber kebenaran bukanlah media dan apa yang diucapkan elit istana, kemudian rakyat juga butuh hiburan, tetapi bukan dagelan seperti pentas politik yang penuh kebencian.
Pertanyaannya, siapa yang berani menyelami kehidupan seperti ini ? kolam-kolam kehidupan yang dalam, keruh dan kotor, persis seperti bekas galian tambang di sumatera dan kalimantan. Dibiarkan berserakan, serta tak terhitung lagi berapa jumlah korban yang telah termakan.
Mirisnya roda itu berputar sedemikian rupa dari tahun ke tahun, seakan proses dialektik seperti ini adalah suatu keniscayaan dalam setiap zaman. Ada nelayan yang di renggut mata pencahariannya, reklamasi memaksa kaki tangan itu berlayar lebih jauh lagi untuk membeli sesuap nasi, sebab ikan-ikan enggan hidup berdampingan dengan beton dan besi, juga limbah pabrik-pabrik industri. Ada pula puluhan petani yang bernasib sama, ada juga buruh yang tak kalah tragisnya.
Ialah Marsinah, buruh perempuan yang pernah lantang menuntut keadilan. Mungkin jika ia tidak pernah bersuara, nasib buruh kini entah seperti apa. Penuh rasa hormat perlu kita tunjukkan padanya, bukan hanya demi kantong pribadi, tetapi dengan keberanian dan nyala api yang tak pernah padam, Marsinah bersuara atas nama seluruh pekerja yang di berangus hak-haknya, meski langit terlihat mendung dan gunung-gunung terlihat murung membersamai kepergiannya yang hingga kini penuh misteri. Layaknya Wiji, Marsinah abadi dan tumbuh dalam sekujur tubuh generasi hari ini.
Satu hal yang pasti, dari sekian banyak cerita tentang negeri ini, terimakasih telah mengajarkan anak-anak kami tentang apa itu penindasan, Wiji mengatakan itu melalui sajak tanpa judul.
Begitulah cerita dari tanah surga yang terpahat kuat dalam ingatan, mari bersumpah besok pagi kita akan jemput mentari, mengabarkan tentang kemenangan yang telah lama dinanti. Kelak, bukan lagi mimpi saat kita bicarakan pendidikan adalah suatu hal yang gratis bagi seluruh anak-anak, hutan-hutan penuh satwa liar, hidup tenang meski berdampingan dengan manusia. Petani tak lagi takut akan datangnya alat-alat berat yang menggerus sawahnya, anak-anak tak lagi terpaksa mengorbankan lahan bermain demi hotel dan gedung-gedung lainnya. Sebab di negeri ini, kita bukanlah turis, tak perlu menghamba pada ketakutan serta sudah saatnya kita menghentikan barisan perbudakan. Lagi-lagi Wijilah yang mengajari itu pada kita semua.
Posted in Opini