- Opini
Kamis, 08 Okt 2020 16:12 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Muh. Akmal Ahsan, Jurnalis Madrasah Digital
Dari semua demonstrasi di satu tahun terakhir, tampaknnya demonstrasi tentang UU Omnibus Law adalah unjuk rasa paling puncak, semua daerah marah dan suasana mencekam. Demonstran Jogja yang pada demo-demo sebelumnya masih mengutamakan sikap santun dan damai, kini memerah, mereka sudah kehilangan sabar. para Mahasiswa, pula Pelajar mengisi titik-titik demonstrasi dengan gairah yang lebih kuat dari biasanya. Mereka dilempar gas air mata, tapi tak cengeng, amarah lebih menguasainya daripada sekadara menangisi keadaan.
Sementara, kekuasaan hingga kini bergeming, hemat suara, alih-alih membatalkan Omnibus Law, mereka masih sama dari biasanya, mengolah kata-kata demi menyalahkan rakyat, melalui tuduhan aksi didompengi politik pula olahan kata lainnya demi meredam keadaan. Kini nyala tanda bahaya di Indonesia mengemuka, tidak ada yang baik dengan keadaan kita dewasa ini. Bila energi demonstrasi lebih kuat dari sekarang ini, Indonesia bisa lumpuh dalam segala sektor.
Suatu hal yang tidak dapat disangkal faktanya ialah bahwa kuasa Jokowi adalah pemerintahan paling kuat di sepanjang sejarah sedari reformasi bergulir. Partai-partai yang sedari awal berhadap-hadapan dengannya kini merangsek masuk, melekat dengan istana. Kini tidak ada lagi oposisi yang siap berkonfrontasi argumen, maka rakyat mengambil alih posisi tersebut. Sebetulnya sebagai individu, Jokowi adalah figur yang lemah. Tetapi karena demikian itulah, sebagai sebuah kekuatan kolektif ia diperdaya dan didukung oleh para kelompok berkepentingan: oligarki politik dan oligarki ekonomi. Teman-teman Jokowi di sekitaran Istana telah mengubah dirinya, jika dulu ia dipuja sebagai lemah lembut, kini suaranya yang rendah menutupi kebusukan kepentingan dibaliknya. Jokowi kini adalah presiden besi, serupa Soeharto silam.
Sekarang tidak ada lagi Jokowi yang demokratis, dan atau nalar demokrasi di kepala Presiden adalah pikiran yang jauh dari esensi yang sebenarnya. Tampaknya, bagi Jokowi demokrasi adalah sekadar mendengarkan belaka, bukan menangkap resah, mengolah dengan akal dan memberi solusi. Jawatan demokratis kepada tubuh Jokowi kini adalah gelar yang keliru.
Terhitung dari tahun ini, kekuasaan Jokowi masih bertahan hingga 4 tahun mendatang, yang itu berarti bayangan akan cengkeraman oligarki akan selalu menghantui rakyat Indonesia, sangat bisa mungkin lebih mengerikan dari keadan sekarang.
Dari dasar pandang demikian itulah maka kita perlu merumuskan kembali nalar aktivisme yang lebih kuat, pergerakan yang lebih matang, dan konforntasi yang lebih kuat, demi memenangkan kelompok tertindas.
Pasca-Demonstrasi
Sudah berkali-kali saya turut terlibat dengan unjuk rasa Mahasiswa terhitung sejak Jokowi terpilih sebagai Presiden dan hingga kini ia menginjak periode keduanya. Dan tampaknya, demonstrasi kita tak sepenuhnya berhasil, kualitas demonstrasi kita masih sering mengalami kebuntuan, mulai dari khianat para pimpinan demonstrasi hingga melempemnya semangat para aktivis. Dari segi kuantitas, memang terjadi lonjakan yang signifikan, tetapi biasanya jumlah demonstrakan akan berkurang seiring semangat melemah.
Kenyataan demikian itu adalah evaluiasi reflektif tentang agenda perubahan sosial yang acap diusung oleh demonstran. Saya sendiri meyakini, bahwa kita belum memiliki energi yang kuat untuk melakukan revolusi. Tumpah ruah manusia dijalanan, tak selalu berarti revolusi telah menyapa di depan jendela rumah.
Aktivisme kita harus mengalami peningkatan, dari segi kualitas maupun dari segi jumlah demonstran. Bagaimana kita mencapainya?, ini tentu membutuhkan kesadaran dan kesabaran yang lebih. Pasca demonstrasi akhir-akhir ini bergulir, kita harus kembali merumuskan keadaan, jangan terpesona dengan riak gelombang, pula amarah yang berlebihan.
Para intelektual Mahasiswa, betapapun garangnya kita di jalanan, harus tetap jua disepadu-padankan dengan pengembangan diri di organisasi masing-masing. Maka demikian, perumusan keadaan dimulai dari sejauh mana organisasi kita menghadirkan demonstran yang kritis. mereka yang tergerak atas dasar kesadaran yang penuh total. Pilihan materi diskusi, metode belajar kritis, strategi aksi, desiminasi gagasan dan tuntutan. Ini penting bilamana visi membangun kesadaran kritis masih menggema ditelinga para intelektual di masing-masing organisasi.
Jangan lupa pula, bahwa problem sosial kita ke depan akan jauh lebih menyeramkan dari keadaan kita dewasa ini. Mulai dari kemiskinan, ancaman kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, pengangguran dan aneka masalah lainnya. Isu besar yang diusung saat ini jangan sampai menutup nalar kita untuk membaca kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan datang.
Saya sendiri mengkritik pola gerakan Mahasiswa saat ini. Acap sering diskusi-diskusi kita tidak memiliki arah yang jelas mengenai keberpihakan kepada golongan tertindas, sikap-sikap intelektual kita jarang sekali diucapkan secara benar dan terang. Isu-isu sosial yang diusung, alih-alih diselesaikan dengan gerakan, malah sering tertutup bila silang sengketa kekuasaan di dalam organisasi telah menggelar kala pagelaran musyarah dilaksanakan. Materi-materi yang kita pakai dalam banyak kajian sering adalah subtansi yang jauh dari realitas sebenarnya, sementara metode yang sering dipapakai adalah model pendidikan yang justru tidak berdampak kepada pemahaman utuh para kader aktivis. Dapat ditebak hasilnya, menghasilkan manusia-manusia kritis sering hanya harapan belaka, ketimbang kenyataan.
Sebagaimana Alexander Brekman, saya selalu mengutarakan bahwa unjuk rasa dan demonstrasi adalah langkah awal demi perubahan sosial selanjutnya, ia ibarat kita sedang menyingsingkan lengan baju, sebetulnya belum mendapati puncak perubahan sosial yang sebenarnya. Bila kita hanyut dalam aksi-aksi demonstrasi, saya khawatir perubahan sosial yang memuncak tidak pernah kita raih. Kondisi tersebut hanya membuat kita terampil melempar batu daripada melempar wacana kritis.
Di lain sisi, para aktivis Mahasiswa yang menolak metode-metode konfrontatif secara sebaliknya acap menempatkan dirinya di atas menara gading belaka, mereka tak memiliki solusi, dari wacana hingga gerakan. Maka masalah kita masih sama : 1) demonstrasi yang pragmatis, 2) verbalisme intelektual dalam kultur gerakan Mahasiswa.
Aktivisme kita pasca demonstrasi ini memuncak adalah aktivisme yang konsisten dan sabar, melalui pendidikan kritis dan pembelajaran politik yang real, berbasis masalah sekitar.
Demonstrasi betapapun kedepan masih berlanjut, jangan sampai hanya diisi caci dan maki. Kita harus merumuskan keadaan sekarang, untuk demonstrasi di masa masa datang.
Posted in Opini