- Opini
Kamis, 28 Okt 2021 07:48 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO.-Oleh: Rizki Abiyoga (Ketua Bidang Hikmah PK IMM FH UMY Periode 2020/2021)
“Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”
Kabupaten Kulon Progo terbentuk pada tanggal 15 Oktober 1951 dimana pada mulanya terbagi menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Kulon Progo wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta dimana merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman.
Tiap tanggal 15 Oktober 2021 selalu diperingati menjadi kelahiran Kabupaten Kulon Progo, namun penringatan ini hanya menjadi euphoria semata tanpa ada refleksi serta merumuskan gagasan untuk mengentaskan permasalahan-permasalahan yang hadir.
Sebagai contoh pada beberapa hari lalu masyarakat Kulon Progo ramai-ramai merayakannya melalui media sosial.
Menjadi pertanyaan besar adalah lantas sejauh mana pemerintahan Kulon Progo hari ini mengupayakan menuntaskan permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi dan kemasyarakatan ?
Secara de facto problematika yang hadir begitu kompleks di Kulon Progo seharusnya bisa disikapi secara kritis oleh pemuda Kulon Progo sebagai control sosial daerah dan generasi penerus.
Sebab perlu adanya satu oposisi kritis terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintahan daerah sebagai bentuk sikap kecintaan terhadap tanah kelahirannya, bukan kemudian untuk menenggelamkan eksistensi di mata nasional maupun internasional.
Hadirnya kritik diharapkan guna melahirkan gagasan pembeharu untuk perkembangan Kulon Progo.
Fenoma problematika baru hadir di kalangan pemuda Kulon Progo pada saat launching logo hari jadi Kulon Progo di media social.
Banyak yang beranggapan bahwa logo yang dirilis tidak memadai untuk dijadikan icon hari lahir terutama di kalangan pemuda.
Menyoal kritik terkait dengan logo hari jadi ini sungguh menunjukan bahwa krisis kepercayaan kepada pemuda yang memiliki keahlian dalam desain grafis, padahal kenyataannya banyak pemuda Kulon Progo yang menguasai keahlian itu tetapi tidak pernah dioptimalkan untuk perkembangan daerah.
Kalangan pemuda hari ini sudah sangat ramah akan perkembangan digital sehingga sudah sepantasnya potensi ini mampu dimaksimalkan oleh pemerintahan daerah dalam ranah digital.
Bagi penulis persoalan ini menunjukan bahwa ketidak terbukaan pemerintahan daerah kepada masyrakat, dimana perayaan hari jadi sudah sepantasnya dimiliki secara bersama oleh seluruh elemen masyarkat yang ada.
Maka perlu kemudian perayaan ini bukan hanya seremonial semata, tetapi sebagai perayaan kritis terhadap realitas yang terjadi di Kulon Progo
Saat ini Kulon Progo telah memiliki bandara internasional yang menjadi central transportasi udara di Yogyakarta yaitu YIA (Yogyakarta Internasional Airport).
Dalam wacana awal pembangunan ini salah satu alasan mendasarnya adalah guna menumbuhkan perekonomian yang ada di Kulon Progo. Bagi penulis sejak awal rencana pembangunan yang direncanakan oleh pemerintahan pusat melalui MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sudah tidak tepat dalam paradigma pembangunannya, dalam perencanaanya pula tak pernah melihat faktor sosial-budaya dan lingkungan menjadi instrumen yang penting.
Seharusnya pemerintahan Kulon Progo mampu mendorong pembangunan bandara itu dengan melihat karakteristik daerahnya sehingga pembangunan itu menjadi seimbang antara untuk pertembuhan ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan.
Apabila ditelisik lebih jauh pembangunan bandara ini diperkiraan telah memberangus 300 hektar lahan pertanian produktif, terbagi menjadi 200 hektar lahan pertanian kering di kawasan pesisir selatan dan 100 hektar lahan pertanian basah (persawahan). Ini menjadi problem soal pendapatan masyarakat (petani) dan berkurangnya area lahan produktif persawahan.
Dalam kacamata lingkungan pembangunan ini sangat tidak ramah lingkungan karena paradigma pembangunan selalu menggunakan pola developmentalisme, dimana pembangunan dilakukan dengan pendekatan ekonomi tanpa melalukan penyeimbangan antara ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.
Pendapatan petani kehilangan ruang penghidupannya, artinya efek dari pembangunan ini meningkatkan presentasi masyarakat miskin dengan hilangnya lahan ruang penghidupannya.
Problem kemiskinan di Kulon Progo juga terbilang tinggi, data BPS menunjukan bahwa presentase penduduk miskin di Kulon Progo sebesar 18,1% atau total 78.000 jiwa.
Bahkan presentase ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2019 yang masih berada pada 17,1%. Senyatanya Kulon Progo masih menjadi Kabupaten termiskin di DIY, maka selama ini struktur kebijakan yang dibangun oleh pemerintah daerah belum mampu menyentuh akar rumput dan menjawab soal realitas kemiskinan yang terjadi.
Dalam hal ini struktur kebijakan yang dibangun hari ini oleh pemerintah daerah perlu di kritisi dan dievaluasi secara menyeluruh.
Bisa jadi kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan struktural, dimana realitas kemiskinan ini ialah dampak dari kebijakan yang telah di ambil oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Oleh karena itu perlu untuk merumuskan ulang indikator kemiskinan ini untuk mengukur ulang kemiskinan ini disebabkan oleh apa.
Tantangan terbesar Kulon Progo dengan hadirnya Bandara YIA maka akan terus terjadi pembangunan-pembangunan untuk pendukung transportasi udara ini, wacanya yang telah hadir adalah pembangunan jalan tol.
Perlu menjadi perhatian khusus pembangunan kedepan, jangan sampai menimbulkan konflik baru dan memberangus ruang-ruang ekologis serta penghidupan (lagi).
Pembangunan yang akan dilakukan kedepan perlu kiranya menafsirkan ulang karakteristik daerah dan kebutuhan masyarakat, sebab jangan-jangan masyarakat tidak membutuhkan pembangunan yang dilakukan sehingga tidak berdampak positif bagi masyarakat.
Jika tidak ada dampak positif bagi masyarakat maka hanya akan menambah presentase penduduk miskin di Kulon Progo.
Bagi penulis, pengambilan struktur kebijakan pemerintahan daerah hari ini gagal memahami kebutuhan masyarakat dan tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan kebijakannya.
Fenoma kepedulian pemuda hari ini terhadap tanah kelahirannya semakin besar, hal ini perlu untuk diwadahi aspirasi dari pemuda maupun seluruh entitas masyarakat.
Jangan sampai setingkat pemerintah daerah sudah tutup telinga terhadap aspirasi masyarakat dan seolah olah paling tau dalam menangani daerah ini.
Terakhir, hari ini perlu ada suatu oposisi sejati dari pemerintahan daerah ini secara khusus kepada kalangan pemuda. Seperti yang telah diuraikan diawal bahwa oposisi sejati ini sebagai sikap kecintaan terhadap tanah kelahiran supaya senantiasa hadir gagasan-gagasan pembeharu bagi Kabupaten Kulon Progo.
Redaktur: Amin Azis
Posted in Opini