- Materi Pelajaran
Jumat, 27 Agu 2021 15:01 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Hendra Fokker
Megalithikum merupakan istilah sejarah yang menempatkan periode penggunaan bahan batu-batuan besar untuk kehidupan sehari-hari para manusia purba. Secara etimologi terdiri dari dua kata, yakni Megas yang artinya adalah besar dan Lithos yang artinya adalah batu.
Menurut R. Von Hein Geldern, masa megalithikum di Indonesia terbagi menjadi dua gelombang persebarannya. Masa Megalithikum Tua usianya diperkirakan mulai tahun 2500 hingga 1500 SM, dan Masa Megalithikum Muda yang usianya diperkirakan mulai pada tahun 1000 SM.
Klasifikasi diatas dimaksudkan untuk memudahkan para peneliti guna membedakan perkembangan masa Megalithikum dan Neolithikum yang identik dan mempunyai karakteristik masyarakat purba serupa.
Kebudayaan Megalithikum Indonesia
Dianggap sebagai puncak dari kebudayaan batu yang pernah ada di dunia, khususnya di Indonesia. Simbolisme batu sebagai sarana media sosial, ekonomi, hingga religi, menjadikan kebudayaan era Megalithikum masih dapat ditemui hingga saat ini. Ya, karena Indonesia adalah bangsa yang kuat budayanya.
Hasil kebudayaan berupa alat-alat dari batu ini diklaim sebagai sarana atau media dalam penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Seperti Menhir, Dolmen, Sarkofagus, Waruga, Punden Berundak dan lain lain. Hal itu dapat kalian baca lagi ulasananya pada materi Peninggalan-Peninggalan Purba di Indonesia.
Dua bentuk budaya Megalithikum yang terbagi menjadi dua masa, dapat dibedakan sesuai dengan bentuk temuannya. Contoh peninggalan masa Megalithikum Tua adalah menhir, punden berundak, dan arca-arca kasar. Sedangkan Megalithikum Muda contoh peninggalannya adalah kubur batu, dolmen, dan waruga.
Ada dua konteks proses perkembangan budaya Megalithikum hingga saat ini di Indonesia. Tradisi yang berhenti dapat ditemui berupa monumen-monumen besar tidak lagi dipergunakan dan hanya menjadi situs peninggalan budaya. Sedangkan tradisi yang berlanjut, masih dapat diketemukan di Nias, Toraja, Sumba, dan Flores.
Semua tergantung pada penggunaannya saat ini, apakah kebudayaan leluhur masih dipertahankan atau sudah tidak pada daerah-daerah tersebut. Nah, proses keberlanjutan dalam sejarah ini dapat kalian baca juga pada materi Konsep Manusia Hidup Dalam Perubahan dan Keberlanjutan.
Dalam hal ini situs-situs kebudayaan Megalhitikum biasanya terikat dengan sistem kepercayaan yang berkembang pada suatu masyarakat di daerah tersebut. Sedangkan kebudayaan leluhur yang tidak dapat dilanjutkan karena berbagai macam alasan, dapat kalian ketahui ulasannya pada materi Faktor Pendukung dan Penghambat Perubahan.
Ciri-Ciri Kebudayaan Megalithikum
Pada puncak kebudayaan Megalithikum, dapat diketahui melalui identifikasi sosial masyarakat purba pada masa itu. Identifikasi tersebut dapat dianalis melalui temuan-temuan purba yang menunjang referensi sistem sosial pada suatu komunitas purba.
Pertama, masyarakatnya tentu diidentifikasi dalam penggunaan batu-batu besar untuk kehidupan sehari-harinya. Seperti meja batu sebagai tempat jamuan bersama masyarakat purba.
Kedua, masyarakatnya juga telah mengenal mekanisme kebudayaan perunggu. Sebagai hasil penemuan-penemuan yang menggunakan batu-batu besar sebagai medianya. Seperti artefak-artefak perunggu kasar hasil cetakan dari bebatuan besar.
Ketiga, kehadiran batuan besar sebagai media pemujaan roh nenek moyang dengan wujud penemuan tempat-tempat cerukan untuk sesajen atau sesembahan.
Keempat, masyarakatnya sudah mengenal teknik bercocok tanam dan beternak, so pasti ya. Kan nggak mungkin masyarakatnya gotong-gotong batu besar yang sudah dipercaya didiami oleh roh leluhurnya untuk pindah tempat.
Kelima, gotong royong adalah kunci utama masyarakat ini. Dalam membuat kebudayaan Megalithikum, nggak mungkin bisa sendirian. Karena membutuhkan tenaga dari banyak orang, untuk membuat kebudayaan yang terbuat dari bebatuan besar pada masa itu.
Masa Megalithikum tentu menjadi sumber kearifan lokal bagi beberapa daerah di Indonesia. Peninggalannya masih dapat kita jumpai hingga saat ini, dan lebih kerennya, masih dipergunakan di beberapa daerah seperti di Kampung Tarung di Sumba, Nusa Tenggara Barat. Semoga bermanfaat.
Posted in Materi Pelajaran