- Cerpen
Kamis, 05 Agu 2021 23:04 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Zainul Muttaqin
Meski telah lewat tengah malam, Marlena tak kunjung bisa memejamkan mata. Sementara Brodin, suaminya, sudah terlelap. Dengkurnya keras sekali. Namun bukan itu yang membuatnya gelisah. Selepas magrib tadi, Darto, rekan kerjanya mengantarnya pulang. Itu kerap kali terjadi, Marlena diantar pulang oleh rekan kerjanya. Tentu Marlena sangat mengharap Brodin marah, atau setidaknya menegur. Berbeda dari sebelum-sebelumnya, ia berusaha tampak mesra ketika Darto memasuki pelataran rumahnya. Karena Marlena sangat yakin, saat ia memeluk Darto dengan erat, Brodin melihatnya. Namun tidak terjadi apa-apa, yang terjadi sebaliknya—dan sungguh sangat di luar dugaannya—berkali-kali Brodin mengucapkan terima kasih kepada Darto. Akhirnya, Marlena mengguncang tubuh Brodin, berusaha untuk membangunkannya. Bordin menggeliat malas. Marlena mengguncang lebih keras lagi, sampai akhirnya Brodin sadar dengan mata yang setengah terbuka.
“Aku heran. Kamu tidak pernah cemburu lagi. Kenapa?” Marlena memegang tangan suaminya dengan lembut.
“Tidurlah. Ini sudah malam. Tidak ada pertanyaan lain? Itu saja yang selalu kau tanyakan.” jawab Brodin dengan malas. Ia masih setengah terkantuk-kantuk.
Pertanyaan itu memang selalu dilontarkan oleh Marlena ketika hendak tidur. Sudah hampir satu bulan Marlena kerap bicara soal kecemburuan dalam hubungan rumah tangga. Brodin malas menjawab pertanyaan yang dianggapnya konyol itu.
Laki-laki yang menikahi Marlena sepuluh tahun lalu itu tertawa terbahak-bahak saat istrinya berulang-ulang bertanya, kenapa kamu tak pernah cemburu lagi? Untuk malam ini, rupanya perempuan itu belum bisa memejamkan matanya sampai Brodin menjawab pertanyaan yang selalu diabaikannya.
Marlena terus mendesak jawaban dari suaminya. Bulan diam-diam mengintip dari balik jendela. Tak lama kemudian, setelah Brodin sadar sepenuhnya, ia menarik tubuh istrinya dan memberikan pelukan hangat sebagai jawaban. Biasanya ketika Marlena sedang marah atau ngambek, ia akan senang dan merasa tenang jika dipeluk. Namun kali ini reaksi Marlena berbeda. Marlena membuang tangan suaminya yang melingkari tubuhnya. Ia bertanya lagi. Brodin menghela napas.
“Jika aku tidak cemburu, apakah itu artinya aku tidak mencintaimu?” Brodin justru balik bertanya. Keduanya saling pandang di atas ranjang.
Marlena menghela napas. Ia bingung mencari jawaban. Detik jam dinding yang berada tepat di atas kepalanya terdengar berirama. Angin malam menggoyang tirai jendela sejak tadi. Marlena mengerutkan kening hingga membentuk garis terombang-ambing.
“Cemburu yang tidak tepat akan menghancurkan segalanya.” Brodin berujar lagi. Tangannya mengelus rambut istrinya yang tergerai sebahu. Ia mengecup kening istrinya.
Brodin kemudian mengatakan lagi pada istrinya, “Pada siapa aku harus cemburu? jika jiwa dan ragamu sudah menjadi milikku.”
Mendengar perkataan suaminya, Marlena hanya terdiam. Sesungguhnya Marlena menanyakan kecemburuan suaminya lantaran selama pacaran empat tahun dengan Brodin, selalu saja laki-laki itu cemburu pada kawan lelaki Marlena. Brodin melarang Marlena dekat dengan lelaki selain dirinya.
Kecemburuan yang ditunjukkan Brodin saat keduanya masih berpacaran membuat Marlena bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena ia tahu betapa cinta Brodin kepadanya sangat besar. Sedih karena membuat semua lelaki enggan bersahabat dengan Marlena. Hanya ada satu dua lelaki yang bersahabat dengan Marlena, itu pun setelah minta izin pada Brodin.
Namun semuanya berubah, tak ada lagi kecemburuan yang terlihat dari wajah Brodin. Itu terjadi setelah keduanya menikah. Sejak Brodin resmi menjadi suami Marlena hingga kini dikaruniai dua orang anak, Marlena tak melihat tanda-tanda kecemburuan dari suaminya. Tentu saja Marlena senang sekaligus was-was. Senang karena Marlena tidak dikekang oleh kecemburuannya. Was-was karena takut suaminya memiliki perempuan simpanan.
Marlena bekerja di sebuah restoran yang agak jauh dari rumahnya. Bekerja sejak pagi hingga matahari hampir tenggelam di ujung barat. Kadang ia diantar pulang oleh rekan kerjanya. Brodin mengucap terima kasih pada lelaki yang mengantar istrinya. Awalnya Marlena mengira suaminya akan bertanya macam-macam soal lelaki yang kerap mengantarnya pulang. Kenyataannya Brodin biasa-biasa saja.
Kesibukan Brodin sebagai salah satu karyawan di sebuah hotel membuat dirinya jarang mengantar dan menjemput istrinya ke tempat kerja. Barangkali itu yang membuat Brodin tak perlu cemburu pada siapa pun yang mengantar istrinya pulang. Lain dengan pikiran Marlena yang cemas suaminya selingkuh karena rasa cemburu Brodin raib seketika setelah menikah. Terlebih saat dua anak hadir dalam keluarga mereka.
“Apa harus cemburu untuk menunjukkan cinta?” Brodin terus mengelus rambut istrinya. Perempuan itu melihat wajah suaminya.
“Kamu berubah. Kamu seperti tak peduli lagi padaku. Kamu dulu tidak seperti ini.”
“Kita ini sudah tua. Kita sudah punya dua anak. Apakah dua anak yang kita miliki belum cukup membuktikan cintaku padamu?”
Marlena diam. Dalam matanya yang terpejam ia merencakan sesuatu. Ia ingin sekali membuat suaminya cemburu. Marlena menemukan cara paling jitu untuk mengetahui, apakah suaminya masih menyimpan rasa cemburu atau justru tidak sama sekali. Brodin ikut memejamkan mata di samping istrinya seraya menggenggam tangan perempuan berwajah rembulan itu.
Keesokan harinya setelah pulang kerja, Marlena tidak menemukan suaminya di rumah. Pasti masih di hotel, pikir Marlena. Ia pun melakukan rencana yang dirancangnya semalam sebelum tidur. Marlena meminta rekan kerjanya menemaninya ke hotel tempat suaminya bekerja. Seorang lelaki seumuran Brodin membawa Marlena menuju hotel yang dimaksud.
Tiba di hotel, keduanya memesan dua kamar. Kamar keduanya bersebelahan. Lelaki bernama Darto itu sebenarnya memang menaruh perasaan pada Marlena. Kecantikan Marlena tak luntur oleh usia. Marlena memiliki tubuh seperti anak gadis, meskipun dua kali sudah ia melahirkan. Marlena tidak tahu soal perasaan cinta Darto kepadanya. Hanya saja, Marlena melihat wajah Darto gembira saat diajaknya menjalankan rencananya.
Rencana pun dimulai. Darto diminta masuk ke kamar Marlena. Duduk di atas kasur berdua. Marlena membuat jarak dengan Darto. Marlena memesan makanan pada seorang pelayan hotel dan memintanya diantar ke kamarnya. Ia juga meminta kepada pelayan hotel tersebut agar laki-laki bernama Brodin yang mengantar makanan itu ke kamarnya. Marlena tersenyum lega.
Marlena akan tahu apa dan bagaimana reaksi Brodin melihat dirinya berdua dengan lelaki di kamar hotel. Apakah ia akan cemburu? Apakah reaksinya biasa-biasa saja? Sambil menunggu makanan yang tak kunjung datang, Darto menawarkan minuman yang dibawanya. Marlena meminumnya. Ia tiba-tiba merasa mengantuk. Marlena tidur terlentang di atas kasur.
Saat Marlena tidur pulas dengan obat tidur dalam minuman itu, Darto tak sanggup menahan urat gairahnya yang menegang melihat kemolekan tubuh Marlena. Tanpa pikir panjang, Darto melampiaskan birahinya pada Marlena yang setengah sadar merasakan tubuh Darto menekannya dari atas. Tak ada daya Marlena untuk berontak. Ia biarkan saja.
Setelah tiga puluh menit berlalu, keduanya masih tanpa pakaian. Pintu kamar hotel diketuk berkali-kali. Darto bangkit menuju pintu. Ia melihat Marlena yang menutupi tubuhnya dengan selimut. Bukan begini rencananya, batin Marlena. Jantung Marlena berlompatan tidak keruan.
Seorang pelayan hotel bernama Brodin membawa makanan. Darto membuka pintu. Brodin terbelalak. Ia seperti mengenal lelaki yang membuka pintu itu, rasanya seperti pernah bertemu. Entah di mana. Ia mencoba mengingat-ingat. Darto memberikan senyum dan menegur Brodin yang membuyarkan lamunannya. Darto menyuruh pelayan hotel itu yang tak lain adalah suami Marlena masuk ke dalam untuk meletakkan makanan tersebut di atas meja. Mata Brodin terbelalak kaget melihat istrinya di atas kasur. Dadanya bergetar hebat. Tangannya tak kuasa lagi memegang makanan yang dibawanya. Makanan dibawanya jatuh ke lantai. Terdengar piring yang jatuh. Brodin terduduk. Air matanya menggantung di pelupuk.
Darto yang rasanya juga pernah melihat Brodin tercengang. Ia baru ingat. Pelayan itu tak lain adalah suami Marlena. Sungguh ia tak pernah menyangka, suami Marlena bekerja di sini. Setelah ia sadar sepenuhnya siapa lelaki yang ada di hadapannya, Darto mengambil tangan Brodin untuk meminta maaf. Namun tangan itu ditepis. Brodin geram. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu. Darahnya menggelegak. Kedua tangannya mengepal hingga terdengar bunyi keretek pelan. Pelan-pelan Brodin berusaha untuk menguasai diri. Ia tak ingin berbuat konyol. Ia mencoba memejamkan mata, berharap bahwa apa yang dilihatnya di kamar ini adalah mimpi belaka. Namun suara Darto yang kini bersujud di hadapannya dengan tangis tersedu-sedu membuatnya sadar. Istrinya benar-benar telah tidur dengan lelaki lain. Sekarang Brodin tahu mengapa setiap malam Marlena bertanya apakah ia tidak cemburu? Mengapa tidak secemburu dulu sebagaimana sebelum mereka menikah? Perbuatan nista istrinya telah menjelaskan semuanya.
Marlena berusaha bangun. Namun efek dari obat yang diberikan Darto belum sepenuhnya hilang. Marlena bingung hendak berkata apa. Apa yang dilakukan Darto sungguh jauh dari yang direncanakan.
“Apa kamu cemburu?” Marlena malah bertanya pada Brodin saking bingungnya kalimat apa yang harus ia ucapkan.
Brodin tak menjawab. Kalimat yang dilontarkan istrinya membuatnya geram. Ia mengharap setidaknya ada maaf yang ia ucapkan. Namun yang dikatakannya sungguh di luar dugaan. Ia tak kuasa menahan amarahnya lagi. Ia melempar istrinya dari atas kasur. Marlena menangis kesakitan. Darto berusaha menolong Marlena yang tersungkur di lantai. Brodin menendang tubuh Darto. Terpelanting tubuh Darto mengenai tembok. Tanpa jeda, Brodin terus menghajar Darto sampai lelaki itu berlumuran darah.
Seseorang yang sedang dalam keadaan cemburu, ia bisa menjadi iblis. Itu yang Marlena lihat dari suaminya. Marlena minta ampun pada suaminya yang seperti orang kerasukan setan. Laki-laki mana yang sanggup melihat istrinya dinodai lelaki lain. Mengganggu istri Brodin sama artinya melecehkan martabat dia sebagai kepala rumah tangga.
Marlena melukai perasaan suaminya, bukan membuatnya cemburu. Begitulah yang dirasakan Brodin. Laki-laki itu melempar gelas ke wajah Darto. Sudah tidak sanggup lagi Darto berdiri. Marlena menangis memohon agar Darto dibiarkan hidup. Permohonan Marlena malah semakin membuat Brodin berhasrat menghabisi lelaki yang meniduri istrinya itu.
Gemuruh batin Brodin merasa tidak tenang sebelum melihat Darto menjemput ajal. Brodin benar-benar menjelma iblis yang harus menghabisi Darto, bahkan mungkin Marlena perlu dihabisi juga. Brodin belum menghentikan pukulan ke tubuh Darto. Ia sudah gelap mata, gelap hati. Sementara napas Darto mulai memendek.
Panas menggelegak dalam dada Brodin. Ia tidak dapat menguasai dirinya sendiri. Kemarahan terbungkus sumpah serapah. Hancur perasaannya. Ia duduk di atas kasur. Marlena berada di sampingnya. Perempuan itu minta maaf berkali-kali. Berkali-kali pula Brodin meludah menandakan kebencian sekaligus rasa jijik. Marlena mendekat, berharap kemarahan suaminya telah mereda. Namun segera ditepis tangan itu.
Brodin bangkit dari duduknya, kemudian berjalan keluar. Marlena menahan ujung bajunya. Dengan sekali sentakan, tangan Marlena terpelanting. Brodin terus keluar. Marlena menangis, berkali-kali memanggil-manggil namanya. Ia tak lagi peduli pada Marlena. Ia biarkan Marlena menelan tangis dan penyesalannya sendiri. Brodin akan segera mengurus cerai dengan Marlena. Ia katakan itu dengan perasaan tercabik-cabik. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Brodin dibayang-bayangi senyum dua anaknya. Apa perlu aku bercerai dengan Marlena? Pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba mengusik benaknya yang kian sempit.
Pulau Garam, Januari 2019
Biodata Penulis
Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batang-Batang Laok. Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpen perdananya; Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, Januari 2019). Tinggal di Sumenep Madura. Email; lelakipulaugaram@gmail.com