Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. Dikukuhkan Sebagai Guru Besar

-
Rabu, 02 Sep 2020 13:00 WIB
No Comments

29fa9d6d-767e-4081-9706-e97ca1c48986

MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Nia Ariyani, Jurnalis Madrasah Digital

Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta (2014-sekarang) sekaligus Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. dikukuhkan sebagai guru besar, Selasa (02/09/2020), di Auditorium Harus Nasution UIN Jakarta. Pengukuhan langsung dilakukan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc., M.A. dan seluruh jajaran guru besar lainnya. Turut hadir pula, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nadiem Makarim.

Amany Lubis dalam pidatonya memberikan apresiasi kepada Prof. Abdul Mu’ti atas pencapaiannya. “Ada enam guru besar yang seharusnya dikukuhkan pada tahun ini, tetapi situasi pandemi jadi belum semuanya dikukuhkan. Apresiasi kepada Abdul Mu’ti yang melangsungkan pengukuhannya pada hari ini, tanggal 02 September, yang bertepatan dengan tanggal dan bulan kelahirannya,” ungkapnya.

Pada acara pengukuhan, Abdul Mu’ti menyampaikan orasinya yang berjudul Pendidikan Agama Islam yang Pluralistis: Basis Nilai dan Arah Pembaharuan. Dalam orasi pengukuhannya, Abdul Mu’ti menyampaikan syukur kepada Allah seraya mengucap terima kasih kepada kedua orangtuanya, istri, anak, mertuanya, dan seluruh orang-orang yang mewarnai perjalanan dakwah dan keilmuannya, terkhusus pada Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si. dan seluruh warga Persyarikatan Muhammadiyah.

Abdul Mu’ti dalam pengantar tulisannya dalam judul ini memfokuskan pada kajian bagaimana mengembangkan Pendidikan Agama Islam (PAI)  yang pluralistik agar membentuk murid yang inklusif, toleran, bersikap positif, dan bekerja sama di tengah perbedaan sesuai ajaran Islam.

Beliau juga mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk baik dari sisi agama, bahasa, dan suku bangsa. Pluralitas adalah takdir dan sunnatullah. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, ilmiah, dan amaliah. Allah menciptakan manusia berbeda jenis kelamin, suku, dan bangsa (Q.s Al-Hujurat [49]: 13), berbeda warna kulit (Q.s. Ar-Rum [30]: 22), dan agama  (Q.s. Al-Maidah [5]: 48).

Akan tetapi, Indonesia masih mengalami masalah  intoleransi dalam hal ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan. Dalam hal ekonomi ditandai adanya sekelompok orang yang menguasai aset-aset yang berlebihan. Dalam bidang kebudayaan terdapat sekelompok kecil masyarakat  dengan idiologi budaya yang cenderung sekuler secara sistematis melakukan penetrasi budaya kepada khalayak melalui media massa, media sosial, dan kebijakan negara. Hal yang menjadi sorotan tajam adalah intoleransi keagaamaan. Akar masalahnya kompleks termasuk sumber terjadinya kekerasan keagamaan adalah pendidikan agama Islam: materi, media dan sumber belajar, paham keagamaan guru, dan situasi sosil-politik.

Lanjutnya dalam pendidikan pluralistik yang berbasis nilai hendaknya didasarkan atas lima nilai: ketuhanan, kebebasan, keterbukaan, kebersamaan, dan kerjasama. Mari dalami satu demi satu.

Pertama: Pluralistik dalam keagamaan maksudnya kehendak sunnah Allah dengan akal, pikiran, perasaan, dan hati nurani yang mempu membangun budaya yang bermanfaat bagi dirinya dan alam semesta.

Kedua: Basis nilai budaya maksudnya memberikan kebebasan untuk menentukan pilihan secara sadar, tidak jumud dengan nafsu (Q.s. Al-Isra’ [17]: 36).

Ketiga: Bersifat terbuka maksudnya mau mendengar, belajar, dan mampu meningkatkan kualitas diri menjadi lebih baik (Q.s. Az-Zumar [39] : 17-18) dan (Q.s. Al-Maidah [5]: 48).

Keempat: Basis nilai kebersamaan maksusnya pluralitas banyak terkait dengan khilafiah masalah fikih, kaidah, dan tafsir. Perbedaan metode ijtihad, wilayah furu (cabang), dan masalah ushul (pokok), dalam hal ini ada tiga sikap nilai kebersamaan perlu dikembangkan. Pertama, mengutamakan kesamaan dibanding perbedaan. Selanjutnya, bersikap tawassuth (moderat) dengan menjauhi taashub, ghuluw, dan tatharruf . Terakhir, bersikap toleran, saling menghormati, dan tenggang rasa. Sebagaimana Islam melarang Muslim menghina pemeluk, tuhan, dan simbol agama lain (Q.s. Al-An’am [6]: 107-108).

Kelima: Nilai kebersamaan maksudnya dalam kehidupan dunia manusia saling bergantung antara satu dengan yang lain sehingga manusia memerlukan manusia lain.

Terakhir, Abdul Mu’ti menjelaskan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan agama secara legal, konstitusional, dan kultur agama memiliki kedudukan yang sangat penting. Indonesia bukan negara teokrasi bukan pula negara sekuler yang anti memisahkan urusan agama dari urusan publik sebagaimana landasan Pancasila dan UUD 1945, agama merupakan dasar moral dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk itu tujuan pendidikan nasional dan peran pendidikan agama Islam dalam membangun manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam tata kehidupan yang rukun dan harmonis. Pembaharuan didasarkan nilai PAI pluralistik, regulasi, dan tren perubahan di masa depan.

 

Redaktur: Raida Musfira

Share :

Posted in ,

Berita Terkait

Rekomendasi untuk Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *