- Analisis
Rabu, 23 Jun 2021 04:55 WIB
No Comments
MADRASAHDIGITAL.CO-Oleh: Muh. Akmal Ahsan, Ketua Umum DPD IMM DIY
Gempita demokrasi setelah orde baru mencengkeram golongan intelektual kian menderu di Indonesia, semeriak demokratisasi tersebut menciptakan ruang terbuka bagi sesiapa saja golongan untuk menciptakan narasi di ruang publik. Lebih dari itu, keran politik semakin melebar, meski sesungguhnya keran tersebut lebih banyak diisi oleh kaum elit politik dan golongan kaya, golongan cerdik pandai yang membaptis diri sebagai intelektual pula turut menyumbang peran, mereka mengisi pos-pos politik. Ditengah hiruk pikuk yang riuh demikian, sebagian intelektual memilih mengambil jarak dari sistem, lainnya mengambil keputusan untuk masuk ke arena kekuasaan sambil sesumbar menyumbang gagasan klise “kita perbaiki dari dalam”. Kedua belah pihak ini kemudian mengisi pagelaran demokrasi dengan saling menuding.
Siapa Kaum Intelektual?
Lazimnya, para intelektual dilekat-eratkan dengan sosok yang pintar, memiliki banyak pengetahuan, cakap mengurai realitas dan mengecap dunia akademis di lembaga pendidikan. Mereka begitu dielu-elukan karena dapat kecerdasannya.
Gramci memaknai intelektual sebagai pihak yang mempunyai ideologi pada keberpihakannya untuk golongan tertindas. Julian Benda melihat intelektual sebagai sosok yang memiliki keterkaitan dan keterikatan dengan nilai-nilai kebaikan serta mampu memproteksi diri dari dunia material. Sejalan dengan Heidegger yang jauh waktu telah memberi titik perhatian ihwal pentingnya golongan intelektual untuk mengambil jarak dengan sistem demi menjaga integritas keilmuannya. Heidegger tampak khawatir bilamana kaum intelektual tersebut masuk ke dalam kekausaan, mereka akan muda kehilangan energi pemikiran kritisnya. Jauh waktu, Marx mengubah paradigma ummat manusia mengenai pemaknsaan intelektualisme dan ilmu pengetahuan. Menurutnya, intelektual sebagaimana ilmu pengetahuan seharusnya tidak terpisah dari realitas dan tak kabur keberpihakan.
Dalam perjalanannya, kaum intelektual yang getol berbicara merepresentasikan masyarakat kemudian berpikir untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan atas dalih “memperbaiki dari dalam”. Atas dasar idealisme politik, mereka tampil berebut kekuasaan sebab merasa sistem tidak berjalan dengan baik. Maka intelektual terbagi dalam dua arah. Pertama, intelektual yang bersetia menemani masyarakat dan anti kekuasaan. Kedua, golongan inteleketual yang memilih memperjuangkan pemikirannya di arena politik.
Kekalahan Kaum Intelektual
Menggelarnya kebebasan plus melebarnya kesempatan untuk membangun narasi publik seharusnya dimanfaatkan untuk membangun percakapan publik yang lebih berbobot dan berkualitas. Pada posisi tersebut, kaum cerdik pandai seharusnya bisa memandu arah diskusi sosial untuk lebih terarah dan berpegang pada kebenaran.
Tetapi jauh panggang dari api, demokrasi, khsusunya di Indonesia acap justru mengaburkan arah agenda intelektual, yang terjadi justru kebebasan tersebut sering membatalkan agenda intelektual untuk merepresentasikan masalah masyarakat. Intelektual terjebak dalam sikap menuding dan anti ilmiah, alih-alih mengucapkan kebenaran secara objektif, banyak dari geromboloan intelektual tersebut memalsu realitas.
Rombongan intelektual yang memilih jalan politik, alih-alih mengisi politik dengan idealisme, justru dijinakkan oleh kuasa di arena elit negara dan partai politik. Di jaman kini, intelektual tidak saja memanjakan nasfunya dengan mengejar kursi elit, mengumpulkan uang, mereka juga mengejar followers di media sosial untuk menjadi selebrita, tampil demi meraup pengakuan publik. Intelektual lalu kebingungan arah, agenda sosial batal diganti upaya “panjat sosial”.
Segi lain menunjukkan golongan intelektual terjebak dalam sikap ekslusif. Mereka menutup diri dari ruang politik. Menjadi acuh dan apolitis. Kecerdasaannya sekadar digunakan untuk menggonggong dari luar, membangun kritik tetapi berpisah dari perjuangan politik.
Maka bentuk kekalahan intelektual tersebut ialah: pertama, kalah dalam melawan hasrat pribadinya yang seturut serta membatalkan agenda sosialnya. Kedua, kalah dalam perjuangan merebut narasi publik. Ketiga, kalah ketika berada dalam kekuasaan.
Agenda Kaum Intelektual
Kondisi rabun yang terjadi dalam perjuangan intelektual patut menjadi evaluasi. Kini perlu untuk menyusun kembali rancangan perjuangan. Pertama, biarpun sulit, usaha untuk terus bersekutu harus terus dijalankan. Golongan intelektual, sebagaimana seharusnya mesti keluar dari belenggu primordialisme, termasuk primordialisme intelektual; tabiat kubu-kubuan, ekslusif dan merasa paling benar. Para intelektual harus menyusun agenda bersama dan keluar dari batas kepentingan golongan masing-masing.
Kedua, kaum cerdik pandai harus tampil memimpin narasi publik untuk lebih berbobot dan berkualitas. Proses tersebut harus dijalankan lebih kreatif dan menarik. Ditengah ribut suara publik, intelektual jangan sampai terjebak dalam demoralisasi dan sikap anti-ilmiah. Jangan pula terjebak dalam penggiringan opini yang non-ilmiah. Mereka harus terus berjuang untuk apa yang diyakini sebagai kebenaran objektif.
Ketiga, para intelektual harus mengisi ruang politik dengan idealisme yang teguh. Kehadirannya di ruang politik tidak demi menjadi proksi elit, dalam sistem kaum intelektual harus terus membahasakan masalah kerakyatan dan memperjelas keberpihakan pada golongan tertindas.
Keempat, rombongan intelektual yang murni tak memisahkan diri dari realitas. Telah menjadi kewajibannya untuk menyegerakan diri menemani kaum terpinggirkan dan menyudahi pendefenisian panjang mengenai intelektual. Mereka seharusnya terus melakukan tindakan sosial mengorganisir rakyat dan berjuang untuk keadilan.
Kelima, golongan intelektual harus mampu menundukkan hasratnya untuk diakui publik; hasrat berkuasa, menjadi selebrita dan meraup keuntungan ekonomi dari produksi ilmu pengetahuannya. Sikap membajak hajat hidup publik untuk mengakumulasi kepentingan diri sendiri.
Akhirnya perjuangan intelektual adalah pergolakan yang membutuhkan napas panjang, integritas yang teguh dan sikap menerus berpihak pada golongan tertindas. Kemenangan intelektual setubuh dengan kemenangan kaum papah dari cengkeraman ketidak adilan. Perjuangan yang tiada pernah akan selesai.
Posted in Analisis