Sistem Pendidikan Bebas Politik

-
Rabu, 12 Feb 2020 14:54 WIB
1 Comment

20200212_214725_0000

Oleh: Soeri*

Dimulai dari kesadaran

Kesadaran, kata ini sering kali kita dengar dan gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran memiliki kata dasar “sadar” yang dalam kamus bahasa Indonesia berarti insaf, rasa dan tahu. Sementara awalan “ke-“ dan akhiran “-an” menunjukkan proses untuk menuju. Jika kata ini dipadankan menjadi satu maka mempunyai arti baru yaitu proses menuju insaf atau proses menuju tahu.

Kata kesadaran secara implisit mengikrarkan bahwa kita masih dalam proses dan belum final menuju insaf dan tahu. Salah satu tokoh pendidikan pembebasan asal Brazil yaitu Paulo Freire mengklasifikasikan kesadaran manusia menjadi tiga kategori. Keasadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.

Kesadaran magis adalah dimana manusia “human” berpikir bahwa segala masalah yang terjadi pada dirinya merupakan takdir yang tidak bisa diganggu gugat, ia juga memercayai pengaruh roh halus dalam setiap hasil kerja, memercayai zodiak dan segala hal mistis.

Yang kedua adalah kesadaran naif, kesadaran ini meletakan dirinya sebagai pusat segala kesalahan. Orang-orang berkesadaran naif cenderung menyalahkan diri sendiri, mengutuk diri atau mencari kambing hitam dari kesalahan yang terjadi.

Ketiga, Freire melekatkan kesadaran kritis sebagai puncak kesadaran, di mana manusia tidak lagi memasung dirinya dalam pikiran. Semua hasil sudah ditakdirkan dan terlepas dari belenggu kenaifan yang menyalahkan diri sendiri atau mencari kambing hitam.

Kesadaran kritis melihat sebuah masalah terjadi karena adanya sistem yang menghendaki atau memberikan peluang kesalahan itu untuk hadir. Hingga pada akhirnya Freire menyatakan kesadaran kritis adalah kesadaran menemukan solusi dari permasalahan yang dialami.

Dari sinilah pijakan kurikulum 2013 melangkah dan memperkenalkan diri di Indonesia. Dengan semangat memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan negeri. Hingga hipotesis para pemangku kebijakan negeri ini mendiagnosis bahwa yang menjadi penyebab utama maraknya kasus korupsi, pencabulan, kekerasan dan jenis kriminal lainnya adalah karakter.

Maka gencarlah kurikulum karakter yang berorientasi pada afektif (kepekaan atau rasa) yang digambarkan sebagai jiwa bangsa dan psikomotor (keterampilan) yang aplikatif menggeser sebagian besar persepsi pendidikan yang berorientasi pada kognitif. Semangat memperbaiki negeri melalui pendidikan patutnya harus diberikan apresiasi sebesar mungkin. Melalui kesadaran kritis untuk melihat lebih dalam kondisi negeri ini, mendorong putra putri bangsa mencari solusi.

Kesalahpahaman dalam pendidikan

Berangkat dari kesadaran kritis para praktisi dan aktivis pendidikan ini mendorong para pemangku kebijakan turut berpikir ulang tentang Pendidikan. Mendengarkan dan mencari rumusan yang tepat dari segala permasalahan. Karena sejatinya pendidkan adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa dalam memperbaiki ataupun mempertahankan kebudayaan yang berlangsung. Dan tidak sedikit orang tua yang berharap dengan tingginya pendidikan anaknya maka sedapat mungkin meningkatkan derajat kesejahteraannya di hari depan.

Ya, Mereka masih beranggapan pendidikan adalah bersekolah, lalu mendapatkan ilmu yang terasosiasikan dari nilai-nilai yang tinggi. Nilai-nilai yang mereka maksud tentu bukan nilai moral atau jiwa bangsa yang seperti digemakan oleh pemangku kebijakan. Tapi, nilai berupa angka-angka yang menurut mereka mewakili semuanya. Kita tak boleh menutup mata, demikianlah persepsi pendidikan kita hingga kini.

Persepsi tersebut agaknya sangat wajar jika masih bertahan hingga sekarang, walaupun pemangku kebijakan sudah menentukan haluan baru dunia Pendidikan yang berkarakter. Hal itu disebabkan hingga hari ini seleksi penerimaan pekerja ataupun naik jabatan masih berorientasi pada kertas yang disebut ijazah. Kertas tersebut dapat memberikan titel dan gelar tambahan yang dalam persepsi masyarakat kita tentu orang tersebut memiliki banyak ilmu dan kemampuan.

Namun, terbongkarnya sindikat jual beli ijazah dari level penyetaraan hingga universitas sedikit menjawab adanya kegagapan orang bertitel tersebut yang tak mampu memecahkan masalah yang harus dikuasai. Sistem Pendidikan kita agaknya masih kendur dan memberikan ruang khusus untuk bernegosiasi para mafia kertas. Tentu hal itu menurunkan kualitas dan berlawan dengan gema pemangku kebijakan.

Tak berhenti di situ, sistem Pendidikan umun juga masih berorientasi pada angka. Seorang siswa harus mendapatkan nilai tinggi untuk selamat dari hukum rimba Pendidikan.

Pendidikan menyajikan hukum rimba dimana pemenang adalah yang mendapat nilai tertinggi, jika ia gagal maka harus menempuh jalur swasta yang juga menerapkan hukum rimba ekonomi. Maka dimana kita akan menitipkan generasi bangsa yang secara pemahaman lemah dan berasal dari ekomoni menengah ke bawah.

Tentu orang tua dan guru satuan Pendidikan bekerja keras menyelamatkan nasib anak itu. Guru mendapatkan beban dua kali lipat, selain menanamkan nilai-nilai karakter bangsa, ia juga harus mengusahakan anak didiknya mendapatkan nilai-nilai bagus di ujian nasional. Demikian wajah pendidikan kita, yang antara harapan dan kenyataan jauh panggang dari api.

Menuju arah baru

Jika menilik sejarah lebih dalam lagi, memungkinkan pendidikan Indonesia berkembang lebih dari yang kita rasa saat ini. Di zaman kerajaan Sriwijaya, Indonesia menjadi pusat dan barometer pendidikan agama Hindu. Itu membuktikan konsep Pendidikan Indonesia tidak kalah dengan konsep Pendidikan Finlandia, Amerika, Jepang, dan negara lain yang HID-nya sangat tinggi.

Kepercayaan bahwa kita memiliki potensi harus terus ditanamkan namun tetap diiringi dengan menggali potensi bangsa serta menanamkan kembali ke generasi yang baru. Keragaman budaya yang mendorong pada tingginya kreativitas harus diberdayakan dengan baik. Jika dunia barat sudah mulai jenuh dengan moderenitasnya dan menuju pada era postmoderenism, mengapa Indonesia malah berkiblat pada Barat yang makin bias. Indonesia tentu memiliki corak pendidikan yang berbeda.

Dengan pendidikan agama dan budi pekerti seharusnya Indonesia tidak kehilangan jati dirinya ditengah arus modern yang kian mengarah pada kebingungan kolektif. Pendidikan agama dan budi pekerti diharapkan menjadi oase dari ketandusan etika dan moral masyarakat dewasa ini. Membekali anak-anak dengan pendidikan agama bukanlah hal yang primitif seperti yang dituduhkan pada kaum “moderinis pendidikan” yang hanya berorientasi pada pengetahuan, hingga ia kehilangan nilai kemanusiaan yang hakiki, yaitu manusia yang ditakdirkan menjadi makhluk yang berketuhanan.

Contoh pengaplikasian ini sangat terlihat di pondok pesantren-pondok pesantren modern. Bukan hanya mampu mengembangakan ilmu-ilmu umum, namun Pendidikan ala pesantren modern juga tidak kehilangan ciri khasnya yaitu pelajaran agama.

Pendidikan pesantren cenderung menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Keadaan masyarakat sekitar sering kali tergambar dari berdirinya sebuah pesantren. Semisal, mata pencarian masyarakat adalah berkebun, maka Sang Kiai secara individual tahu pesantren secara institusi memiliki bidang usaha yang melibatkan perkebunan.

Jadi, bukan hanya menjadi sumber pendidikan, hadirnya pesantren juga dapat menjadi solusi dari macetnya kegiatan ekomoni masyarakat. Pendidikan yang demikian agaknya lebih bermafaat untuk masyarakat sekitar. Seperti pepatah sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Tak hanya mengolah sumber daya manusia yang memiliki kecerdasan kognitif, pesantren juga terus menanamkan kesadaran spiritual dan keterampilan untuk hidup di tengah masyarakat.

Sampai di titik ini, agaknya pernyataan Mansour Fakih dalam buku Pendidikan Popular harus dijawab tanpa kegugupan. Dalam buku tersebut beliau melihat pendidikan nasional kita hari ini berdiri di persimpangan arah, antara melakukan sekularisasi pendidikan atau menanamkan lebih kuat basis spiritualnya. Tentu bukan melakukan sekularisasi pendidikan pilhan kita, namun ke arah sebaliknya menanamkan basis spiritual sebagai modal kesadaran etika dan moral.

Tentu langkah ini tidak serta merta mengubah sekolah negeri menjadi pesantren-pesantren baru. Namun, kita harus mengkaji serta mempelajari lebih dalam konsep pendidikan pesantren yang mampu meramu kognitif, afektif dan psikomotorik dengan baik.

Sistem yang mandiri

Perubahan dalam dunia Pendidikan baik yang bersifat praktis hingga hal-hal yang berorientasi pada konsepsi dikarenakan regulasi Pendidikan yang masih bergantung dengan sistem politik negeri ini. Wajar adanya jika istilah ganti menteri ganti kurikulum. Karena tidak dapat dipungkiri setiap orang yang bertahta di puncak rantai pemerintahan ingin meninggalkan bekas “legacy” agar dapat dikenang.

Sayangnya, kebijakan antara Menteri sebelum dan Menteri sesudahnya sering kali bertolak belakang. Hingga yang terjadi adalah penghapusan kebijakan yang sebelumnya dan menerapkan kebijakan yang baru. Dan hal itu berulang hingga kini.

Jika kita mau lebih jujur, kita bertanya dan mendengarkan pendapat guru selaku ujung tombak pendidikan tentu banyak yang berkata bahwa mereka merasa bingung akan perubahan yang terjadi dalam dunia Pendidikan yang sangat cepat. Mulai dari kurikulum, cara membuat RPP hingga istilah-istilah baru. Kebingungan ini akan berlangsung selama sistem pendidikan masih mengalami ketergantungan dengan kondisi politik negeri, maka kecil kemungkinan sistem Pendidikan kita mengalami kestabilan dan kemajuan. Sistem Pendidikan kita akan dimulai dari nol tiap kali presiden baru terpilih.

Sistem Pendidikan hanya menjadi kepanjangan tangan gagasan politik penguasa. Maka sistem Pendidikan kita harus memiliki struktur mandiri yang terlepas dari muatan politik praktis dan hasrat legacy semata. Dan kita harus membentuk badan otonom yang secara khusus menelaah Pendidikan Indonesia dalam skop global maupun skop regional.

Sehingga yang muncul adalah sistem pendidikan tanpa nuansa politik praktis yang berhasrat meninggalkan legacy semata. Adapun Lembaga tersebut tidak diatur oleh Menteri yang terpilih secara politik, melainkan tumbuh dalam budaya dan diskusi kesadaran akan kebutuhan pendidikan Indonesia yang autentik, dimana masih banyak praktik pendidikan saat ini yang jauh dari harapan.

 

*Praktisi pendidikan

Share :

Posted in

Berita Terkait

Rekomendasi untuk Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *