MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Raja Faidz el Shidqi, Sekbid Hikmah PK IMM FISIP UMJ
Mahasiswa adalah kaum terpelajar yang mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi. Dari sekian ratus juta jiwa penduduk di Indonesia, hanya sekitar 9,7 persen yang berkesempatan untuk kuliah. Hal itu berdasarkan data Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2019 yang disampaikan Wapres RI KH Ma’ruf Amin pada acara Dies Natalis Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA), Selasa (21/7).
Hal ini membuktikan bahwa betapa beruntungnya mereka yang dapat merasakan bangku perkuliahan. Masalahnya sekarang adalah banyaknya mahasiswa yang terkesan menyia-nyiakan kesempatan besar tersebut. Misalnya, mahasiswa yang hanya memprioritaskan hidup hura-hura bersama kawan satu prodi, fakultas, kampus, bahkan antar kampus. Beberapa golongan dari mahasiswa itu pada zaman sekarang ini hanya menjadikan status mahasiswa sebagai sebuah alat penunjang ‘gengsi’ saja.
Kenapa seperti itu? Sejak masih berada di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), saya membayangkan kehidupan mahasiswa yang penuh dengan sebuah idealisme, ide, gagasan, perdebatan sebagai salah satu komponen social control dalam masyarakat. Namun, pada kenyataannya, terdapat sebuah perbedaan atau jurang-jurang pemisah dalam kehidupan mahasiswa.
Ada kalangan mahasiswa yang hanya kuliah pulang-kuliah pulang (kupu-kupu), ada kalangan mahasiswa yang penting baginya adalah nongkrong-nongkrong tanpa memikirkan tanggung jawab akademik, ada mahasiswa yang disibukkan dengan urusan organisasi lalu saling sikut kanan dan kiri, dan berbagai macam tipe lainnya. Tanpa mereka sadari bahwa tugas mereka sebagai agent of change, iron stock, dan social control tidak dijalankan dengan baik. Sekalipun ada yang menjalankan, rata-rata hanya memenuhi kebutuhan program kerja organisasi atau hanya terbatas pada saat Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Pragmatisme di Kalangan Mahasiswa
Bagi saya, pragmatisme adalah persoalan yang cukup serius. Mengingat ada juga beberapa teman mahasiswa yang fokus di kampus hanya mengharapkan jabatan-jabatan politis di lembaga kampus yang tidak jauh dari sebuah kepentingan-kepentingan pragmatis belaka. Walaupun apa yang mereka jelaskan terkait gagasan, visi, dan misi mereka seolah-olah meyakinkan bahwa mereka benar-benar seorang idealis ulung sebagaimana mahasiswa yang seharusnya menjadi harapan masyarakat.
Mungkin benar apa yang pernah kawan saya katakan bahwa idealisme seorang mahasiswa hanya mampu bertahan sampai pada semester 2 atau maksimal di semester 4? Saya pikir itu suatu kebenaran, sesuai kenyataan yang terjadi, semakin tinggi semester seorang mahasiswa khususnya mereka yang aktif di organisasi akan mengusahakan segala cara agar dirinya dapat menduduki posisi-posisi strategis yang ada di dalam lembaga-lembaga fakultas atau kampus. Memang saya juga meyakini bahwa tidak semua mahasiswa seperti itu, tetapi apa yang terjadi rata-rata seperti itu.
Narkoba dan Pergaulan Bebas
Dalam kasus peredaran narkoba sendiri di kalangan mahasiswa juga sudah terdengar cukup familier, bahkan bagi beberapa orang sudah menjadi hal biasa. Hal ini dibuktikan dengan data Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mencatat, penyalahgunaan narkoba sepanjang 2018 menyasar kepada beberapa lapisan masyarakat, khususnya mahasiswa dan para pekerja. Pada 2018, sebanyak 3,21 persen pengguna narkoba berasal dari kalangan mahasiswa. Persentase tersebut setara dengan kurang lebih 2 juta jiwa yang melakukan penyalahgunaan narkoba. Hal itu disampaikan Kepala BNN Heru Winarko dalam sambutan Rapat Pimpinan Nasional BNN di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (25/3/2019).
Lalu, dalam hal pergaulan bebas mengutip dari abstract yang terdapat pada skripsi Mahasiswa UMM, Dian Eka Febriana, yang berjudul “Pergaulan Bebas di Kalangan Mahasiswa Kost (Studi Mengenai Pergaulan Bebas di Kalangan Mahasiswa Kost di Kota Malang)”. Dari hasil penelitian itu, bentuk pergaulan bebas di kalangan mahasiswa kost itu, antara lain seks bebas, narkoba dan perjudian. Tentu ada banyak faktor-faktor yang menjadi pendukung hal-hal demikian terjadi dan marak di kalangan mahasiswa,
Namun, terlepas dari apa pun faktor pendukung hal-hal negatif tersebut sudah seharusnya itu tidak terjadi dikalangan mahasiswa karena mau bagaimanapun mereka-mereka, para mahasiswa ini yang sangat beruntung mendapatkan kesempatan berkuliah dan mereka adalah orang-orang yang diharapkan menjadi pembawa perubahan untuk negeri ini menjadi lebih baik lagi.
Mahasiswa, Tren, dan Hoaks
Di zaman serbadigital seperti sekarang ini tidak bisa dipungkiri lagi bahwa semakin banyak tren-tren yang bertebaran di masyarakat. Mulai dari tren berpakaian, berbicara, media sosial, dan macam-macam tren lainnya. Nah, misalnya saja jika saya mengambil contoh di sini tren media sosial dengan bermain aplikasi TikTok dan apa yang akan dibahas ini sebetulnya lucu tapi juga miris jika dipikirkan dan direnungi. Banyak kawan-kawan saya yang bermain TikTok tersebut dan mayoritas dari mereka adalah kaum perempuan.
Tren yang terjadi ini seolah mengharuskan beberapa orang meng-update status atau video untuk sekadar diunggah di akun TikTok nya atau medsos yang lain. Sebenarnya hal ini tidak terlalu bermasalah, tetapi hal yang harus disadari adalah banyaknya orang-orang yang mungkin mereka juga seorang mahasiswa yang mementingkan sebuah upload-an dibanding apa yang sedang terjadi.
Seminggu yang lalu saya menemukan beberapa video TikTok yang memperlihatkan bahwa orang-orang sibuk dengan kamera gadget-nya untuk mengabadikan sebuah kecelakaan sebelum membantu korban yang ada di sana. Ya, itu juga jika mereka membantu setelah mem-videokan, jika tidak? Dan kembali saya temukan sebuah video dari aplikasi yang sama menunjukkan bahwa seorang bapak-bapak pengemudi ojek daring sedang batuk darah di depan halaman rumah. Yang berada di dalam rumah justru hanya sibuk memvideokan kejadian tersebut. Lagi-lagi demi sebuah ‘konten’ media sosial, tanpa mendahulukan hal yang jauh lebih penting, menolong misalnya.
Selain tren demi konten tersebut juga persoalan yang tidak kalah serius rasanya sulit sekali terselesaikan, yaitu penyebaran berita hoaks di media-media sosial atau di kehidupan bermasyarakat secara langsung. Tahun lalu, pada saat ramai-ramainya aksi demonstrasi besar-besaran yang beruntutan oleh mahasiswa itu terjadi saya melihat banyak sekali hoaks bertebaran di media sosial berkaitan tentang gerakan mahasiswa.
Ada yang menyebut ditunggangi, sampai hoaks yang justru malah menyerang sesama mahasiswa. Hal yang sungguh ironis terjadi di kalangan mahasiswa sebagai seorang yang seharusnya menjadi social control, memperlihatkan sikap ketidakmampuan untuk mengontrol hal-hal tersebut dan bersembunyi di balik sikap cuek bebeknya. Diperparah lagi dengan ikut terseretnya beberapa mahasiswa yang ikut-ikutan menjadi penyebar hoaks.
Saya pikir persoalan-persoalan di atas perlu direnungi oleh setiap kawan mahasiswa, apa pun latar belakang organisasi, kampus, lembaga, dan lain-lainnya. Karena sebagai seorang mahasiswa dan sebagai seorang yang terpelajar sudah semestinya kita memberikan contoh dan sikap yang baik kepada masyarakat. Kembalilah pada masyarakat untuk membagi ilmu yang didapatkan di kampus, di mana mereka tidak bisa merasakan bangku perkuliahan, bahkan ada yang sama sekali tidak bisa merasakan nikmatnya sebuah pendidikan.