MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Agnes Arnez, Jurnalis Madrasah Digital
Ketika mengunjungi tempat yang asing, pasti kita akan mendapatkan pelajaran dan hal-hal baru yang belum pernah kita dapatkan. Sama halnya ketika mengunjungi tempat di mana suku Baduy berada. Di sana kita belajar kesederhanaan yang jauh dari teknologi, tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi. Tak terasa sudah beberapa tahun berlalu saya mengunjungi suku Baduy. Rasa rindu selalu menghampiri seolah mengajak saya untuk kembali lagi ke sana. Saya kagum dengan suku Baduy, terutama anak-anak kecil dan masyarakatnya yang polos dan jujur.
Suku Baduy atau ‘Orang Kanekes’ adalah suku asli Banten. Kelompok suku ini tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran Sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Dan ini adalah kisah perjalanan saya ke tempat yang dianggap pedalaman bagi sebagian orang kota itu.
Walaupun tidak begitu banyak tahu tentang Baduy, dengan bermodal nekat dan percaya diri saya berangkat bersama ibu saya ke sana. Sekitar pukul 06.00 pagi, saya dan ibu menggunakan KRL dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Rangkas Bitung, stasiun ini memang menjadi titik temu untuk ke Baduy. Di tengah perjalanan, ternyata ibu saya sudah menghubungi tour guide. Sesampainya di Stasiun Rangkas Bitung, kami bertemu dengan peserta open trip yang lain dari berbagai kota. Pihak travel mengarahkan kami ke sebuah terminal yang sudah tersedia angkutan umum untuk mengantar kami ke Desa Baduy. Perjalanan dari stasiun Rangkas Bitung menuju ke Ciboleger yang merupakan salah satu desa di Baduy sekitar dua jam.

Desa Ciboleger merupakan desa pertama serta gerbang utama kami untuk memasuki Desa Baduy. Di sana kami beristirahat sejenak untuk makan siang dan berfoto Bersama dengan peserta lainnya. Setelah itu, kami langsung memulai perjalanan Panjang untuk menempuh Baduy Luar. Kami dibagi menjadi tiga kelompok. Kebetulan saya dan ibu saya berbeda kelompok. Ibu saya kelompok barisan depan dan saya kelompok barisan belakang. Satu kelompok terbagi 7-9 orang. Di setiap langkah terselip canda gurau serta obrolan-obrolan ringan yang membuat perjalanan panjang tak terasa dan tak jarang juga menjadi tamparan untuk intropeksi diri sendiri.
Setiap lelah yang dirasakan akan menjadi tempat peristirahatan yang membawa canda tawa. Kami beristirahat untuk sekadar duduk meluruskan kaki di rumah warga setempat. Keramahan warga setempat dan pemandangan yang membuat lelah terbayarkan. Sore harinya hujan turun, sebelumnya kami sudah diingatkan oleh tour guide untuk membawa jas hujan, tetapi kami tidak membawa jas hujan berlebih. Satu-satunya jas hujan yang saya punya, saya berikan kepada anak kecil Baduy Dalam yang ikut menuntun perjalanan kami.
Walaupun turun hujan, semangat kami tidak gentar. Malah, semakin seru karena dapat menikmati hujan diperjalanan Baduy Dalam. Diperjalanan kami juga banyak melihat warga setempat yang sedang melakukan kegiatannya sehari-hari, seperti ibu-ibu yang sedang menenun, anak-anak kecil yang sedang bermain, bapak-bapak yang sedang memikul durian bahkan anak-anak kecilnya juga ikut memikul durian.
Memasuki senja, kami belum juga sampai. Mungkin karena kami terlalu banyak beristirahat dan turunnya hujan juga memengaruhi perjalanan kami. Di tengah-tengah perjalanan, kami jalan membelah sawah-sawah yang sangat indah. Tentunya, karena saya dan kelompok saya mayoritas adalah mahasiswa walaupun mereka sudah mahasiswa akhir, tetapi kesenangan kita masih sama yaitu swafoto. Kami berfoto-foto ria bersama, sampai anak kecil Baduy Dalam asli yang ikut menuntun perjalanan kami memberi tahu bahwa ternyata kami sudah memasuki gerbang Baduy Dalam dan sebenarnya sudah tidak diperbolehkan berfoto dan memakai peralatan elektronik. Mengerti bahwa kami salah, kami meminta maaf dan segera melanjutkan perjalanan yang sudah tertinggal karena terlalu lama berfoto.
Hari sudah gelap. Namun, kami juga tak kunjung sampai. Walaupun lelah, kami masih semangat dengan saling bercerita dan saling memberi semangat. Selama itu, saya sangat menikmati suasana yang sangat damai dan tenang. Walaupun perjalanan yang berat, belum lagi pengalaman naik gunung yang masih minim karena harus naik turun bukit, medan yang berbatu dan jalanan yang licin. Teman di kelompok saya ada yang terjatuh berkali-kali adalah salah satu bukti bahwa jalanan batu yang sangat licin. Kekeluargaan sangat terasa ketika kami sama-sama diperjalanan ini, padahal kami baru bertemu hari itu juga.
Sampai juga di tempat awal yang ingin kami tuju, yaitu Baduy Dalam. Rumah panggung yang terbuat dari kayu. Kami disambut oleh tuan rumah yang akan menjadi tempat peristirahatan disini dengan keramahannya. Kami dipersilahkan untuk membersihkan badan di sungai yang tak jauh dari rumah persinggahan itu. Disini memang tidak ada toilet atau kamar mandi, yang ada hanyalah air sungai yang mengalir dengan jernih, tidak diperbolehkan menggunakan pasta gigi, sampo, sabun, dan sikat gigi. Kita hanya diperbolehkan untuk memanfaatkan alam yang ada.
Setelah selesai bersih-bersih diri, kami disuguhkan teh hangat dengan memakai gelas terbuat dari bambu untuk menghangatkan suhu badan yang sudah mulai naik karena udara yang dingin. Di Desa Baduy Dalam ini ternyata masih sangat mempercayai ajaran dan kepercayaan nenek moyang, banyak larangan yang menginap di Baduy Dalam. Yang banyak tidak dipatuhi oleh pendatang adalah menyalakan telepon genggam dan mengambil gambar. Jika itu dilanggar akan mendapat tulahnya sendiri, seperti kerasukan, tidak bisa pulang atau yang lebih parahnya adalah meninggal.
Malam itu, kami sangat menikmati kebersamaan. Dari mulai obrolan sesama peserta trip yang membuat kami semakin dekat seperti keluarga, pengalaman-pengalaman trip peserta lain serta pemilih rumah akan memuka sesi tanya jawab yang membuat para peserta penasaran. Setelah selesai kami disuguhkan makan malam sederhana, akan tetapi bagi saya tidak sesederhana itu karena sangat memberi arti. Satu lagi, alat makan mereka juga sangat unik karena benar-benar memanfaatkan alam dengan menggunakan sendok, gelas dan mangkuk yang terbuat dari bambu. Selesai makan saya dan peserta lain dipersilahkan untuk beristirahat.
Ayam berkokok pertanda sudah fajar, satu persatu dari kami terbangun dan bergegas untuk membersihkan diri dan bersiap-siap untuk kembali karena perjalanan keluar Baduy Dalam juga membutuhkan waktu. Semua peserta diizinkan untuk berkeliling Baduy Dalam untuk bisa melihat sekeliling. Kami juga dipertemukan dengan kepala desa yang dipanggil “Puun” tentunya dengan keramahan warga setempat juga.
Perjalanan saya kali ini membawa kesedihan karena harus terpisah dengan peserta lain yang mengharuskan kami untuk berpisah. Walaupun hanya sebentar, perjalanan ini bisa menyadarkan saya untuk selalu bersyukur dalam segala kekurangan yang ada. Masyarakat Baduy membuat saya malu karena sudah mulai melupakan budaya sendiri, berbeda dengan mereka yang masih sangat menghargai budaya nenek moyang.