Oleh: Ahmad Soleh*
MADRASAHDIGITAL.CO – Bagi yang hobi membaca dan mengoleksi buku, pasti sudah tak asing dengan istilah bibliofilia. Bibliofilia adalah kecintaan terhadap buku. Berakar dari kata “biblio” yang berarti buku dan “philia” yang berarti cinta.
Bibliofilia merupakan satu kebiasaan positif yang sejak zaman dulu sudah ada. Sejak era sudah merebaknya percetakan buku dan perbukuan. Sebutan bagi orang yang memiliki kecintaan terhadap buku itu ialah bibliofil.
Sejauh yang saya pahami, bibliofil terbagi menjadi dua tipe. Pertama bibliofil yang gemar membaca. Tipe pertama ini menitikberatkan pada isinya. Atau bisa dikatakan juga kutu buku. Sehingga meskipun tak mengoleksi buku, bibliofil tipe pertama ini tetap bisa menghabiskan waktu untuk membaca di perpustakaan, pojok baca, dan tempat lainnya yang memberikan fasilitas baca. Zaman dulu bahkan ada juga tempat penyewaan buku.
Tipe kedua, yaitu bibliofil yang juga gemar mengoleksi buku-buku fisik. Atau biasa kita sebut juga kolektor. Tapi, bedanya kolektor buku lebih spesifik pada buku-buku tertentu, misalnya buku klasik, buku sastra, dll. Sedangkan bibliofil memiliki spaktrum yang lebih luas. Bibliofil jenis kedua ini biasanya juga punya perpustakaan pribadi. Atau minimal rak buku, ruang baca, atau pojok baca di rumahnya.
Apa yang membuat hal ini disebut “kecintaan”? Tentu ada alasannya. Cinta terhadap buku diartikan dengan suka membaca, suka mengoleksi, juga pandai merawat. Sehingga, seorang belum bisa dikatakan bibliofil jika hanya gemar membeli dan menumpuk buku di rumahnya. Ada yang mengatakan sikap semacam itu sebagai perbuatan yang tercela.
Tentu saja, bibliofilia ini sangat baik. Karena dia telah menghidupkan dan merawat peradaban suatu zaman. Masa di mana berkembangnya suatu pemikiran dan pergulatan ide, yang terekam dalam buku, itu menjadi wahana bagi seorang bibliofil menyalurkan kebiasannya: membaca, mengoleksi, dan merawat. Sehingga, dengan sendirinya peradaban itu pula terawat.
Tantangan Klasik
Saya katakan klasik karena ini berkaitan dengan minat baca masyarakat. Seperti kita tahu, dalam berbagai survei lembaga internasional, Indonesia selalu menempati posisi terpuruk jika bicara soal literasi. Termasuk dalam hal membaca buku.
Misalnya, seperti yang dilaporkan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) dalam penelitiannya tahun 2015. Penelitian itu menyebutkan, Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei. Indonesia berhasil mengungguli Brazil dan berada di bawah Yordania. Skor rata-rata untuk membaca pada survei itu adalah 493, dan Indonesia mendapatkan skor 397.
Sementara dalam survei lain yang dirilis Central Connecticut State University (CCSU) pada Maret 2016, Indonesia berada di posisi 60 dari 61 negara yang disurvei. Penelitian CCSU ini mencakup lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Dalam survei ini Indonesia unggul dari Bostwana.
Hal ini menjadi beban berat bagi industri perbukuan. Begitu pun bagi seorang bibliofil. Barang kali dari sekian sampel survei yang dipilih secara acak itu hanya ada beberapa bibliofil yang turut andil. Meski pahitnya hasil survei itu, kemudian membuahkan menjamurnya gerakan literasi kini digalakkan di mana-mana. Di sekolah, perkampungan, taman bermain, kereta, bahkan di car free day tiap akhir pekan.
Peluang Era Digital
Bibliofilia atau bibliofilisme pasti menemui tantangan dan pergeseran di setiap zamannya, termasik di era digital ini. Di antaranya, pergeseran tren dari buku cetak ke buku digital yang tak bisa dihindari. Bahkan, kini para pembaca amat dimudahkan dengan adanya buku digital atau e-book.
Di era serbadigital, serbaelektronik, dan serbainternet seperti sekarang ini, kita bahkan bisa dengan mudah mengunduh buku-buku dalam bentuk PDF secara gratis di Academia Edu, membeli e-book berbayar di PlayStore, atau membaca via Google Books untuk buku-buku tertentu.
Ini tantangan berat bagi para bibliofil yang masih berpatokan pada buku cetak. Namun, di sisi lain, industri buku cetak dan penerbitan pun masih banyak dan berkembang, meski dengan sejumlah tantangan berat. Mungkin memang tak banyak yang mendermakan dirinya menjadi seorang bibliofil. Tetapi, kebanyakan kita masih lebih nyaman membaca tinta pada kertas ketimbang membaca di layar ponsel. Alasannya, membaca di layar ponsel bagi sebagian orang, lebih cepat lelah dan bosan.
Jikapun pada akhirnya akan lahir bibliofil tipe ketiga, yakni pembaca dan pengoleksi buku digital, hal itu tak ada salahnya. Malah menjadi peluang baru bagi dunia literasi kita. Hampir sama dengan bibliofil tipe pertama, yang hanya gemar membaca tanpa harus memiliki fisik cetaknya, bibliofil digital akan memudahkan bagi mereka. Tidak perlu ke perpustakaan. Cukup membuka rak-rak buku digitalnya di smartphone lalu berdiam menelusuri tiap jengkal peradaban pada layar ponsel.
Dengan begitu, peradaban buku cetak maupun buku digital berada pada posisi yang menguntungkan. Tentu saja, hal itu apabila masih tetap ada pembaca, pengoleksi, dan perawatnya. Yang menjadi masalah adalah ketika tak ada satu pun yang gemar membaca buku. Inilah mula dari kehancuran peradaban. Semoga tidak terjadi yang demikian.
*Pengasuh Website Madrasah Digital
Comments 1