MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: M Nur Faizi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta
Zaman modern menegaskan pola hidup konsumtif kian diminati banyak orang. Kebiasaan berbelanja tanpa dasar kebutuhan menjadi tren untuk menghilangkan kepenatan belaka. Salah satu bukti tingginya pola konsumtif adalah pada pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dengan gaya mewah. Banyak orang berlomba-lomba membelanjakan uang untuk membeli setumpuk barang yang diinginkan.
Setiaji (1995) menjabarkan, perilaku konsumtif sebagai kecenderungan untuk bersikap berlebihan dalam membelanjakan harta atau pembelian tidak terencana. Biasanya, pada saat pembelian, seseorang cenderung menggunakan nalar keinginan dibanding dengan nalar kebutuhan. Sehingga barang yang terbeli, sekadar untuk memenuhi rasa haus akan kepuasan.
Secara psikologis, kecenderungan perilaku konsumtif lebih disebabkan oleh kepemilikan produk. Seseorang yang sudah memiliki suatu produk, akan tertarik membeli produk yang sama dengan varian yang berbeda. Semakin besar harga jual suatu produk, semakin menambah gairah untuk membeli produk tersebut.
Dalam film atau iklan sering dijajakan produk tas, sepatu, dan kosmetik sebagai barang mewah. Barang tersebut barangkali satu atau dua buah sudah dipunyai seseorang, tapi logika akan kepuasan menuntun seseorang untuk membeli lagi dan lagi. Tidak hanya tiga barang itu saja, tapi juga semua barang yang dianggap sebagai gaya hidup masyarakat masa kini.
Meskipun tujuan utama dari perilaku konsumtif mengarah pada kepuasan, tidak jarang seseorang mengalami tambahan beban yang berlebihan. Penyesalan manajemen keuangan yang buruk menjadi salah satu di antaranya. Hal ini yang disinggung Lina dan Rosyid (1997) sebagai tindak pemborosan. Di mana kepuasan hanya terjadi sesaat di waktu penghamburan harta. Sedangkan setelahnya akan dilewati dengan penyesalan panjang.
Pengelolaan harta yang buruk akan menyebabkan masalah yang panjang. Seringnya kebutuhan yang harus benar-benar terbeli, malah terganti oleh ribuan barang mewah yang hanya menjadi pelengkap hidup saja. Anggaran kebutuhan semakin membengkak, dan kepintaran berutang menjadi jurus andalan yang dikeluarkan saat keadaan terdesak.
Jika sudah dalam keadaan demikian, orang yang akan dihutangi tidak mudah percaya dengan alasan yang diberikan. Pasalnya, nalar seseorang akan melihat kemewahan penampilan sebagai salah satu indikator dari “mampu”. Dengan tegas nalarnya akan mengatakan, “tidaklah mungkin orang mampu akan berhutang kecuali sudah jatuh bangkrut”.
Dengan pola pikir seperti itu, ketakutan anggapan tidak membayar utang menjadi stereotip utama yang menguasai jalannya pikiran. Sudah jatuh tertimpa tangga, begitu kiranya perumpamaan perilaku konsumtif. Sudah tidak mempunyai harta apa pun, juga tidak ada yang berbaik hati meminjami uang.
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Nasa’i disebutkan, “Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, Rasulullah bersabda makan dan minumlah, bersedekah, serta berpakaian secara tidak berlebihan”. Hadis tersebut seolah menegaskan larangan bersikap konsumtif dalam berbelanja.
Dalam firman-Nya, Allah juga melarang perilaku konsumtif. “Dan berikanlah haknya kerabat dekat, orang miskin, dan orang yang berada dalam perjalanan. Dan janganlah di antara kamu menghambur hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang yang berperilaku boros itu adalah temannya setan.” (QS Al-Isra: 26-27).
Mungkin sangat sulit menghilangkan tren yang sudah berlangsung lama. Dibutuhkan kerja keras serta konsistensi tingkat tinggi untuk merubah semua. Namun, apabila perubahan bisa dilaksanakan, hasil positif akan didapatkan. Dalam mengubah sikap konsumtif diperlukan sikap selektif.
Memilih segala sesuatu dengan penalaran bukan kepuasan. Menanyakan terlebih dahulu apa benar barang ini yang dibutuhkan. Kemudian menanyakan kembali, adakah kebutuhan yang lebih mendesak daripada barang tersebut. Pertanyaan semacam ini bisa membantu untuk beraikap lebih selektif.
Apabila konsep tersebut bisa dilaksanakan, bukan tidak mungkin seseorang akan menjadi pribadi yang bijak. Gemar mengelola perasaannya berdasarkan rasa tanya. Kritis terhadap suatu persoalan dan bisa menyingkap tabir kepuasan berdasarkan pengungkapan nafsu secara berlebihan. Hal ini bisa dilatih dan dijadikan kebiasaan dalam kegiatan berbelanja.
Sikap seperti itu juga dapat berdampak positif pada kehidupan sosial. Misalnya, kebiasaan hemat yang diterapkan akan menyisihkan sejumlah uang, yang bisa digunakan untuk menolong mereka yang membutuhkan. Tentu akan lebih mulia jika menggunakan harta dengan sejumlah praktik kemanusiaan.
Seperti hadis di atas, lawan dari sikap boros adalah sikap humanis. Berbagi dengan orang lain juga bisa memberikan kepuasan tersendiri. Melihat senyum kebahagiaan dari mereka, bisa menggetarkan hati, karena sejatinya manusia tercipta untuk menolong sesamanya. Apabila manusia melaksanakan kewajiban itu, hatinya akan dilingkupi rasa bahagia.
Efek lain dari berbagi juga meningkatkan angka kesejahteraan. Keterpurukan ekonomi bisa ditopang oleh gotong royong. Si punya memberi yang tidak punya. Yang tidak punya membantu dalam hal tenaga. Jika semua berjalan demikian, bukankah konsep kenikmatan akan tercipta secara cepat. Manusia akan saling menghargai, mencintai, dan mengasihi.
Tidak akan ada lagi sikap saling benci, apalagi tidak mau menolong saudara sendiri. Merupakan iklim sempurna kehidupan, jika semua manusia saling bekerja sama. Berhematlah, selektif dalam berbelanja, dan jangan menuruti nafsu kepuasaan. Dengan berhemat berarti kita telah menciptakan prinsip maslahat. Dan dengan maslahat semua manusia visa hidup bahagia. Wallahu A’lam.
Editor: Ahmad Soleh