MADRASAHDIGITAL.CO-OLEH: Asna Afifah, Mahasiswi Psikologi Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Ketika kita membicarakan seseorang saat dirinya tidak ada di tempat itu dan yang dibicarakan merupakan aib maka itu disebut ghibah. Intinya, ghibah adalah ketika kita menyebut sesuatu yang tidak disukai oleh orang lain. Perbuatan ini merupakan salah satu dosa besar yang terkadang kita tidak sadar melakukannya. Tetapi selama yang kita bicarakan bukan kejelekan orang lain, maka itu tidak dianggap sebagai ghibah.
Terkadang manusia ada yang salah paham, ketika membicarakan orang lain selalu dianggap itu ghibah. Padahal tidak semua perbuatan yang membicarakan orang lain itu dianggap ghibah. Yang menjadi prinsip dasarnya adalah selagi tujuan kita bukan untuk menjelek-jelekkan orang itu maka tidak bisa disebut ghibah. Nah, sekarang kita akan membahas suatu kondisi dimana kita boleh menceritakan sesuatu yang tidak disukai oleh orang lain tetapi kita tidak mendapat dosa. Apa saja kondisinya ?
Pertama, ghibah mengadukan karena telah didzolimi. Seseorang yang merasa telah dizalimi boleh mengadukan kedzoliman yang diterimanya tersebut kepada pihak yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk memberikan keadilan. Contohnya ketika kita mengalami kasus penipuan, maka kita diperbolehkan menyebutkan identitas atau ciri-ciri pelaku tersebut kepada pihak polisi untuk mendapat keadilan.
Kedua, ghibah untuk meminta bantuan. Ketika kita mengetahui seseorang telah melakukan perbuatan yang salah atau berbuat maksiat kemudian kita ingin orang tersebut berubah. Maka, kita boleh mengghibahkan dia kepada seseorang yang bisa dipercaya untuk mengubah hidupnya. Tujuan ghibah di sini yaitu agar kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang atau bahkan suatu kelompok dapat dicegah atau diubah.
Contohnya seseorang murid melakukan perbuatan yang melanggar aturan sekolah, seperti merokok, membuli temannya, atau sejenisnya. Maka saat itu kita boleh melaporkan tindakan tersebut kepada guru atau kepala sekolah agar anak tersebut ditegur dan diarahkan agar tidak melakukan tindakan itu lagi.
Ketiga, ghibah untuk meminta fatwa. Ketika seseorang membutuhkan fatwa atas sebuah perkara atau masalah yang sedang dialaminya, maka ia boleh melakukan ghibah agar perkaranya tersebut menjadi jelas. Dalam hal ini kita dianjurkan untuk tidak menyebut nama orang yang bersangkutan.
Pertanyaan yang mengandung ghibah tersebut dapat disampaikan dengan kalimat pihak ketiga, sebagai bentuk langkah kehati-hatian. Contohnya, “Apa pendapat anda tentang seseorang yang berbuat demikian? Atau bagaimana jika ada seseorang yang melakukan begini, begitu? Apa hukumnya?”. Meskipun demikian, menyebut nama ataupun identitas orang tersebut juga diperbolehkan. Misalnya dalam kasus rumah tangga pasti ada saja permasalahan, maka diperbolehkan mengghibah untuk mendapatkan solusi dari masalah yang ada.
Terdapat hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu anha “Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, Hindun Ummu Muawiyyah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seseorang laki-laki yang pelit, maka bolehkah aku mengambil dari hartanya secara sembunyi-sembunyi?.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah sebatas yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik” (Hadits Muttafaq ‘alaih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah. Shahih al-Jami’, no. 3221).
Keempat, ghibah untuk mengingatkan kaum Muslimin dari keburukan dan sebagai nasihat. Ghibah dalam kondisi ini diperbolehkan apabila kita menyatakan atau menginformasikan sesuatu yang memang sesuatu itu buruk, dan jika tidak disampaikan akan menjadi kerusakan atau mudharat bagi seseorang atau malah sekelompok orang. Contohnya, ketika ada orang yang terang-terangan memberi fatwa yang nyleneh atau berbicara tidak jelas tentang agama tertentu. Maka ketika kita memberi klarifikasi atau penjelasan tentang orang tersebut diperbolehkan dan tidak disebut ghibah.
Selain itu, dalam ilmu hadis terdapat ‘Jarh wa Ta’dil’ yaitu bagaimana sifat-sifat para perawi hadits, ada yang kecacatan atau tidak. Jika ditemukan cacat pada perawi haditsnya maka haditsnya tidak shahih. Perawi yang memiliki kecacatan tersebut boleh disebutkan jika menyangkut periwayatan hadis Nabi Muhammad SAW. Ijma’ kaum Muslimin bersepakat bahwa hal itu diperbolehkan, bahkan wajib karena dibutuhkan.
Kelima, ghibah untuk menjelaskan perbuatan maksiat seseorang yang dilakukan secara terang-terangan. Orang yang melakukan maksiat itu ada dua jenis, yaitu ada orang yang sembunyi-sembunyi melakukan perbuatan maksiat dan juga ada orang yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, seolah-olah ia tidak malu perbuatan maksiatnya dilihat oleh banyak orang. Contohnya, seseorang didapati tengah minum-minuman keras secara terang-terangan, merampas harta orang, dan lain sebagainya.
Perilaku tersebut boleh digunjing selama dilakukan secara terang-terangan, contoh yang paling terlihat saat ini yaitu perbuatan korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan diungkap secara terbuka. Akan tetapi aib-aib, maksiat atau keburukan lain yang mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi tidak boleh ikut digunjing kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.
Keenam, ghibah untuk mengenalkan atau untuk menyifati orang dalam suatu keperluan. Contohnya, ketika kita ingin pergi ke alamat tertentu, seperti ingin mengunjungi rumah seorang teman yang ada disuatu daerah. Teman tersebut bernama Aris, kemudian saat di tengah jalan kita bertanya kepada orang-orang “Dimana letak rumah Aris?”.
Sedangkan orang yang bernama Aris ada banyak. Maka untuk memperjelas Aris yang dimaksud tadi, diperbolehkan mendeskripsikan fisiknya, ataupun menyebutkan julukan tertentu, karena tak jarang orang yang memiliki nama julukan. Seperti “Aris yang bertubuh gendut” atau “Aris yang kulitnya hitam”.
Namun mendeskripsikan fisik ataupun menyebutkan julukan orang tadi tidak boleh dilakukan dengan tujuan menghina. Karena hal itu dilakukan agar mudah mengenali orang tersebut. Lebih baik lagi jika yang bersangkutan dikenalkan dengan sebutan yang positif dan baik ataupun jika ada dengan menunjukkan foto orang yang dimaksud maka akan lebih jelas.
Demikian enam jenis ghibah yang diperbolehkan dalam Islam. Penting diketahui, ghibah tersebut diperbolehkan karena niat, maksud, dan tujuannya mengarah pada kebaikan, nasihat, dan perbaikan tanpa ada niat buruk atas orang yang digunjing. Jangan lelah berbuat kebaikan, tetaplah istiqomah dijalan yang benar.
Semoga Bermanfaat!
Red. Saipul Haq
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.