MADRASAHDIGITAL.CO Oleh: Geri Septian (Pegiat Sanggar Nun/Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Aku selalu menunggunya. Puluhan tahun. Bahkan sampai sekarang. Di mana dirinya menduda dan mempunyai pecahan tubuh, dua orang anak. Tidak masalah bagiku. Semuanya ku tampung. Nasib menjadi seorang pecinta begitu. Mau mencintai seluruhnya tanpa harus menyisihkan sebagian yang tidak aku suka. Hidupku selalu kutumpangkan pada satu harapan, hidup seatap dengannya. Tiap detik, menit, bahkan jam yang selalu berputar tiap hari. Tak masalah jika tetangga-tetangga yang julidnya minta ampun mengatai seperti apa. Yang terpenting saat ini adalah diriku akan menjadi istrinya Dodi, duda beranak dua.
Dua tahun yang lalu, merupakan ujian buatku. Harapan dan kesedihan teraduk dalam kuali peristiwa itu. Sahabat dekatku, yang kemudian menjadi istrinya Dodi meninggal karena terpeleset di kamar mandi. Duka yang mendalam, mengguyur deras di setiap aliran darah. Walau aku dan dia tidak badunsanak[1], namun ikatan teman lebih dari itu. dibalik kesedihan yang tak kunjung usai, setangkai harapan muncul. Dodi akan menjadi milikku. Seutuh-utuhnya. Tanpa harus diganggu orang lain, bahkan sahabatku yang telah berpulang itu. Ocehan tetangga atau gunjingan asyik nan keji di perkumpulan ibu-ibumenunggu garendong[2] tak jadi masalah. Harapanku cuma satu, Dodi akan mengalihkan perasaannya ke tubuh dan ragaku. Tidak tahu kapan, namun harapan itu selalu datang. Penungguan yang melelahkan namun penuh bunga-bunga yang sedang mekar.
Setiap kali akan tidur, bayangannya selalu muncul. Entah dari arahnya bayangan itu masuk ke kamarku. Hidungnya yang mancung dan tak pernah bosan aku pandang sejak pertama kali bertemu, matanya hitam besar, teduh di bawah alis tebal bak ulat bulu, kumis tipis yang ingin sekali aku merapikannya tanpa harus permisi, dan kulit putihnya yang berbintik merah, seperti kulit-kulit urang barat[3]. Di kamar yang tak pernah disentuh ibu sejak ia berpulang. Ingatan itu tak pernah hilang. Bila malam tiba, ia akan muncul dari arah yang tak pernah ku sangka. Sekuat apapun aku tidak mengingatnya, sederas itu pula usahaku tergerus perasaan.
***
Sewaktu masih SMA, aku dan sahabatku berebut untuk mendapatkan Dodi. Sayangnya, Dodi lebih memilih sahabatku. Alasannya sangat tidak masuk akal, namun benar kejadian. Sejak kecil ia dan sahabatku itu sudah dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Selain itu, kekerabatan yang terjalin antara Dodi dan sahabatku itu sangat dekat. Ayah Dodi adalah mamak[4] sahabatku yang kemudian menjadi mertuanya. Sangat sulit mematahkan kekerabatan itu jika sudah ada kata sepakat antara mereka. Ada kemungkinan bagi Dodi untuk menolak. Tapi aku tak melihat Dodi sebagai anak yang pembantah. Apalagi kepada ibunya. Wajar saja, jika Dodi tak terlalu kepincut denganku, walaupun kecantikanku diakui seantero SMA.
Sekarang umurku 32 dan belum menikah. Jangan tanya lagi karena apa. Menunggunya adalah jawaban konkrit dan tak butuh alasan tambahan. Sebenarnya ketika umurku genap 29 tahun, telah datang lamaran dari anak mamakku. Tapi sikapku berbeda dari Dodi, menolak dengan halus. Aku menolaknya bukan karena ia anak mamakku dan dengan senang hati aku bisa menolak tanpa harus memikirkan akibatnya, juga bukan karena ia tidak tampan dan kaya sebagai mantu idaman, juga bukan karena tidak berpendidikan layaknya aku, tapi karena sudah menjatuhkan buah perasaan di ladang jiwa Dodi. Cinta habis di satu orang, kata kaula muda. Akibatnya, mamak jarang menemuiku lagi dan jarang mengurus persoalan yang terjadi di rumahku. Tak apa. Sebagai seorang Perempuan terpelajar, aku juga bisa mengurus, walaupun tidak terjun langsung ke lapangan.
Malam besok aku akan datang ke rumahmu. Sampaikan kepada ayahmu. Kita akan bangun rumah gadang tanpa tonggak tuo, beratap marmer yang sudah kubeli dari pulau Seberang. Kita tidak kepanasan. kita akan sejuk dibawahnya. Akan ku bangun di bukit yang dulu kau ceritakan kepada mendiang istriku.
Dodi mengirimiku pesan. Pesan yang akan menjadi tumpangan hidup selanjutnya. Pesan yang mengantarku ke sebuah pulau yang aku idam-idamkan yang sebelumnya sempat patah. Seperti ranting baru yang muncul di waktu fajar, berselimut embun, jauh dari nafas dan gunjingan manusia, ia tumbuh sebagai pucuk daun yang masih sangat lunak.
Satu paragaraf yang lebih nikmat dari rendang rumah makan Lamun ombak, membuat jantungku berdegup kencang dan berharap hal-hal yang baik akan berlabuh di hatiku dengan selamat. Pikiranku jauh melayang, di mana kiranya sunting akan ku sewa, pelaminan akan ditegakkan, tamu yang akan di undang, berapa ekor kambing yang akan disembelih, inai apa yang diukir di tangan, bagaimana Ikhlas mendidik anak yang bukan lahir dari rahimu, bagaimana melayani Dodi dengan cara yang buat dia bahagia. Masih banyak lagi. Dan itu yang membuatku tak memberi tempat untuk kantuk menggerogoti mataku.
Malam besok aku akan datang. Sampaikan kepada ayahmu.
***
Sejak pesan itu datang, detail kalimat, koma, titiknya berapa sangat jelas dalam ingatanku. Tak sabar rasanya ingin menyumpal mulut ibu-ibu penunggu garendong itu dengan ikatan pernikahan kami nanti. Tak sabar rasanya membungkam mulut etek ku, mengatakan aku perawan tua, ya walaupun dalam keadaan bercanda. Seutas kalimat darinya serasa membangunkanku surga, yang berisi apapun yang melekat di tubuhnya. Aroma tubuhnya yang basah karena keringat, parfum yang menebar saat ia berjalan shalat jumat, kaos biru yang sangat sering ia kenakan, sampai tangannya yang lembut dan tak pernah kasar, walaupun sering memegang cangkul dan gerabah padi.
Aku merasa mempersolek diri dengan segala hal yang telah kupersiapkan jauh-jauh hari. baju kurung pemberian ibu sebelum ia meninggal. Bibirku kulapisi dengan lipstick yang sangat jarang aku pakai, selain karena mahal, ia warnanya sangat menggugah seleraku. Kerudung yang telah kupersiapkan sejak kematian sahabatku, yang tak pernah ku pakai, dan sengaja kupersiapkan untuk menerima kedatangan dan pinangan laki-laki yang sangat kudambakan sejak masa SMP. Indak dapek katiko bujang, nde tuan oi. Baranak ampek den nanti juo, den nanti juo. Senyumku mekar, benar-benar mekar, memantul di cermin meja rias di kamarku.
Nak, Ada tamu. Tolong buatkan air. Kalimat itu yang aku tunggu-tunggu.
Ia datang. Benar-benar datang. Entah menepati janji yang tak pernah ia ucapkan, entah apa. Sendiri. Tak ada anak yang ia besarkan tanpa sempurna mengecap kasih sayang mendiang ibunya. Tapi kenapa ia sendiri. Di mana anak-anaknya, yang nanti juga akan menjadi anak-anakku? Kenapa ia sudah tak rapi, kumisnya dipotong, dan rambutnya berantakan? Apa benar dugaanku ia akan datang untuk meminang dan meminta restu kepada ayah? Tapi kenapa ia berubah dan segala yang aku kagumi dari tubuhnya hilang tanpa sisa? Hidungnya bengkok, kulitnya gosong dan banyak bekas luka?
Pertanyaan itu menghantuiku. Kopi yang berada di genggaman tanganku jatuh. Pecahan gelas melengkingkan suara. Tepat di bawah kakiku. Hitam kopi yang tumpah dari gelas pecah itu bercampur dengan darah yang mengalir di kakiku. Panasnya tak berasa. Dan ia hanya tersenyum. Kenapa dia? Ada apa dengannya, Tuhan. Kemana Dodi yang aku kagumi? Kemana jiwanya melayang? Tuhan? Tolong jawab aku!
Nak. Bangun nak. Bangun. Nak. Desi. Heii, Nak. Kamu mimpi apa?
Terdengar suara ayah yang meracau. Aku terbangun. Ku lihat ayah sangat cemas. Laki-laki itu bertelanjang dada dan hanya menggunakan sarung. Tak memakai batik atau baju yang pantas untuk menerima calon menantunya. Malam itu tak ada pesan. Tak ada kedatangan. Tak ada tunangan. Tak ada pinangan. Tak ada inai. Tak ada apapun.
Editor: Ramadhanur Putra
[1] Bersaudara
[2] Bakul
[3] Bule
[4] Paman dari pihak ibu