MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Zaidan Hakim (Mahasiswa KPI UMY)
Matahari terbit dari tebing-tebing Utara Distrall Academy. Dinginnya dataran tinggi cukup sejuk, tukang bersih-bersih menggunakan rompi hangat mereka dan mulai bertugas di halaman kampus. Dengan gembiranya mereka melakukan tugasnya dan ditemani kopi hasil pertanian dari wilayah Timur Hawen, disajikan dengan panas menggunakan cangkir besi, gratis dari kampus.
Reviera terbangun dari tidurnya. Merasa sangat segar setelah banyak hal yang terjadi dalam satu hari kemarin. Melihat dalam kamarnya, ia hanya menemukan Davira dan Nirmala yang masih tertidur di atas futon-nya, tidak menemukan Grace. Ia juga melihat pintu kamar sedikit terbuka, meyakini Grace yang keluar dari kamar.
Reviera berjalan ke jendela kamar. Ia menikmati hembusan angin pagi yang dingin namun lembut, memandang kota Distrall dari asrama kampus. Membuatnya damai sejenak dari pikiran akan betapa beratnya perjalanannya untuk menjadi huntress.
Davira terbangun dan duduk di atas futon-nya, meregangkan kedua tangannya sebelum menguap besar. Ia langsung menyadari temannya yang menikmati pemandangan dari jendela. Davira merangkak dan berdiri mendekati Reviera. “Pagi, Reviera, apa yang kamu lihat?” sapanya, ia bergabung memandang ibukota. “Indah banget ya, Distrall,” ungkapnya dengan perasaan melankolis.
Reviera bersandar ke temannya, hanya mengangguk.
“Sejak aku tiba di Distrall, semuanya terasa asing,” lanjut Davira. “Nggak hanya kota yang tampak indah, namun orang-orang juga ramah … sesuatu yang belum pernah kurasakan di kampung halamanku.”
“Aku dari Okumu.”
Davira menoleh temannya dengan bingung. “Terus?”
“Gapapa, kayaknya aku belum ngasih tahu.”
“Nggak bakal diceritain juga kok tempat tinggalmu.”
Kini Reviera yang bingung oleh temannya.
***
Grace muncul dari luar kamar, masuk dan menutup pintu di belakangnya. Davira dan Reviera menoleh padanya. Rambutnya basah, matanya tampak lebih segar dibanding kedua temannya. “Distrall sangat berkesan,” ungkapnya sambil berjalan ke tempat futon-nya. “Air yang begitu dingin serasa meresap padaku.”
Davira berbisik pada teman di sampingnya, “Apa yang barusan dia katakan?” tanyanya.
“Grace memang seperti itu sejak pertama kali aku ketemu dengannya,” jawab Reviera.
Grace tidak mendengar mereka, karena suara kecil atau sibuk menikmati suasana barunya di tempat rantaunya.
Grace membongkar kopernya, mengeluarkan pakaian dan alat-alat mandi dengan bersenandung. “Apa kalian tidak ada niat untuk mandi?” tanyanya, menoleh pada temannya selesai mengeluarkan seluruh pakaiannya.
“Ngapain nanyain itu, emangnya orang jorok?” tanya balik Davira.
“Benar bagimu, terutama untuk orang yang tidak mengenal etika dalam makan,” balas Grace.
“Seenggaknya ngomonglah kayak orang normal!” balas Davira.
“Pagi-pagi udah ramai, ya,” ungkap Nirmala tiba-tiba, masih berbaring menoleh teman-temannya. “Kamu udah mandi, Grace?” tanya Nirmala, mulai duduk.
“Ya, aku dibuat penasaran oleh kesegaran air pegunungan di pagi hari,” ungkapnya sedikit tersenyum.
Seseorang mengetuk pintu kamar mereka. Semuanya menoleh kecuali Grace yang segera berdiri dan berjalan untuk membukakan pintu kamar. Sedikit dibuka, ia melihat seorang laki-laki tinggi berkacamata dan berkemeja merah tua. Di balik kacamata kecilnya, terlihat jelas mata panda. Grace tidak merasakan aura positif darinya. “Selamat pagi, Grace, apakah teman-temanmu sudah bangun?” tanya laki-laki itu.
Grace mengangkat sebelah alis, tidak mengenal laki-laki ini. “Siapa kau?” tanyanya.
“Aku adalah Fusumi, dosen yang akan membimbing tim kalian dan dua lainnya,” jawab laki-laki itu, merapikan kemejanya. “Apakah yang lainnya sudah bangun?”
Grace membuka pintunya paling lebar, menunjukkan Fusumi pada teman-teman sekamarnya. Ketiga teman lainnya terkejut, tidak mengenal Fusumi.
***
“Bangunlah, teman-teman. Kita akan ke aula, akan ada pembahasan penting untuk kalian semua,” ajak Fusumi dengan suara datar. Ia segera pergi dari kamar mereka, Grace melihatnya berjalan dengan cukup pelan. “Apa kita harus mandi?” tanya Nirmala sedikit keras, jatuh kembali berbaring di futon-nya lagi.
“Cukup bawa jiwa dan raga, penampilan kalian tidak akan dinilai,” balas Fusumi di lorong, hanya didengar Grace.Davira dan Nirmala membawa buku tulis serta bolpoin. Reviera dan Grace merasa tidak perlu apa-apa karena tidak disuruh. Mereka berempat keluar kamar, bertemu berhadapan dengan Bloom dan ketiga teman di belakangnya, membuat Reviera dan Davira. “Kalian adalah orang gila itu,” ucap Reviera.
Bloom menunjukkan senyum khasnya. “Halo, DRGN. Sepertinya kita akan lebih sering bertemu,” balas sapanya.
Fusumi berjalan ke arah mereka berempat. “Baguslah teman-teman sudah siap semuanya. Silahkan saling berkenalan satu sama lain, kalian berdelapan berada dibawah bimbinganku,” suruh Fusumi, membersihkan kacamata bundar kecilnya.
Mendengar ungkapan Fusumi, Reviera dan Davira semakin terkejut. “Nggak, aku nggak mau sama mereka, mereka ini orang-orang aneh,” keluh Davira.
Fusumi menatap Davira tajam, melawan keluhan kanak-kanaknya. “Dewasalah dengan mengenal baik orang-orang baru. Karena kelompok bimbingan berlangsung hingga kalian lulus, akrablah atau kalian sendiri yang kelelahan,” suruhnya dengan serius. “Dan yang jelas, jangan merepotkanku,” tambahnya, menambah bobot suasana.
Fusumi berjalan menembus mereka berdelapan, mengatakan ia akan membangunkan satu tim bimbingannya lagi. Reviera dan Davira menatap Bloom yang tersenyum, masih tidak percaya maupun sudi untuk harus akrab dengan mereka. Si kembar berjubah hitam mengusik tatapan serius mereka bertiga. “Hei, kenalin aku Cotton!” sapa yang bermata krem dengan senyum berseri, tangannya melambai setinggi kepalanya.
“Kalo aku Candy!” sapa yang bermata ungu dengan senyum meringis, tangannya dilipat di atas perutnya.
“Kau tidak mengenalkan dirimu, Blair?” tanya Bloom menoleh ke belakang.
Laki-laki berjubah tidak menjawab apa-apa, justru memalingkan kepalanya.
***
Nirmala maju ke depan Davira dan Reviera, menghadapi si kembar. “Halo Cotton-Candy! Aku Nirmala, faunus dari Nantle!” sapanya dengan senyum yang lebar dan antusias tinggi dalam nadanya. “Darimana kalian berempat?”
Si kembar tertawa kecil, Cotton mencoba menyentuh telinga landak Nirmala. “Lucu banget!” ungkapnya, melihat gerakan kecil dari telinga Nirmala.
“Hei, itu nggak sopan buat faunus. Kita juga sama-sama manusia, jangan diulangi lagi ke siapa-siapa, ya,” tegur Nirmala, tangannya di pinggang.
Keduanya tersenyum mengangguk.
Tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari lorong mereka berdiri. Suara itu berasal dari satu kamar dengan pintu yang terbuka. Mereka berdelapan berjalan mendekatinya dengan perlahan. Tiap dari mereka mengintip keluar dari pintu kamar, melihat Fusumi yang geram berdiri di depan laki-laki lain yang duduk dibawah, bersandar tembok. “Bangunlah, Hance!” celetuk Fusumi, tangannya mengepal.
“Iya-iya! Nggak perlu melemparku juga, kan? Sakit tahu …,” bentak laki-laki di bawah Fusumi, Hance.
“P-Professor, biarkan kami menangani Hance,” usul seorang gadis berambut biru, berdiri ketakutan di belakang Fusumi.
“Hanya dirimu yang masih belum siap, Hance. Apa dirimu niat untuk menjadi huntsmen?” tanya Fusumi mulai meredakan nadanya, mengusap matanya yang sayu.
“Tentu saja! Aku akan menjadi huntsmen terbaik yang …”
“Kalau begitu buktikan,” potong Fusumi. Ia berpaling dari Hance dan berjalan keluar. “Semua orang mengatakan hal yang sama denganmu, buktikan bagaimana dirimu menjadi yang terbaik dibanding yang lain. Ayo semuanya, kita pergi ke aula kampus,” ajaknya kepada semua yang di dalam kamar dan yang mengintip di pintu, berpapasan dengan mereka.
Aula kampus kembali diramaikan oleh murid-murid. Mereka berdatangan bersama dengan dosen pembimbing mereka. Di antara mereka ada yang sudah akrab dengan pembimbing mereka, mendengarkan banyak kisah dari pembimbingnya bahkan bergaul asik dengan pembimbingnya. Kemudian ada Professor Fusumi yang kontras dibanding pembimbing lainnya. Ia hanya diam saja, menguap beberapa kali, seakan tidak punya teman bicara.
Tim bimbingan Fusumi, DRGN, HRMM dan BLCC duduk melingkar bersama dirinya. Mereka semua diam, dari Fusumi yang kelelahan untuk bicara, bimbingannya juga yang merasa segan dengan dirinya. Mereka dalam lingkaran sunyi pun merasa sedikit canggung dengan bagaimana kelompok lainnya bisa lebih hidup dalam forum masing-masing. Tiap dari mereka saling melirik, bertatapan dengan mata lainnya, baik sesama tim maupun lintas tim. Tatapan mereka saling menyuruh-nyuruh lawannya untuk mulai bersuara.
Fusumi akhirnya membersihkan tenggorokannya, memecahkan kesunyian di dalam forumnya. “Tidak adakah dari kalian yang ingin bertanya mengapa kita disini?” tanya Fusumi yang memejamkan matanya untuk mengistirahatkan matanya sedikit.
Anak-anak bimbingannya hanya diam, saling menoleh satu sama lain. Mereka enggan membalas pembimbingannya.
***
Fusumi mulai melihat reaksi anak-anak bimbingannya, menggaruk-garuk kepalanya dengan sedikit kesal. “Jadi!” celetuknya melawan rasa kantuknya, sedikit mengejutkan yang lain. “Kita mengumpulkan kalian disini karena ada bahasan yang harus disampaikan untuk besok sekolah kalian kedepannya.”
Fusumi memberikan scroll, sebuah alat komunikasi yang ditenagai oleh batu Rust. Murid-murid lihat adalah sebuah persegi panjang yang tipis seperti amplop dengan garis memanjang di tengah membagi dua kubu, atas dan bawah. Fusumi memperlihatkan bagaimana ia membuka scroll tersebut, dua kubu yang dipisah oleh garis memanjang itu dilebarkan, mengeluarkan sebuah kaca sangat tipis yang berwarna biru. “Kalian bisa berkomunikasi dan mencatat tulisan menggunakan scroll ini. Selain itu semua kegiatan kampus ada pada scroll ini, mulai dari jadwal kuliah per hari, event-event, dan informasi atau pengumuman apapun,” jelas Fusumi.
Reviera mulai mencoba membuka layar scroll-nya, melihat tampilan menu yang sangat sederhana. Telah tercatat juga bahwa scroll adalah miliknya. Mencoba untuk membuka kontak, ia menemukan teman-teman timnya masuk dalam list. Tak hanya temannya, beberapa layanan pun ada dalam list kontak, setidaknya sepuluh layanan. Kembali ke menu awal, tiba-tiba ia mendapat panggilan dari Davira, scroll-nya bergetar. Ia menoleh ke temannya, disuruh untuk menerima panggilannya untuk mencobanya. Ia menyentuh lingkaran hijau pada layar, melihat wajah temannya pada scroll-nya. “Ini, bagaimana bisa melihat Davira?” tanyanya cukup terkagum, melihat Davira membuat wajah konyol dalam layar, sesuai dengan apa yang lihat sebelahnya.
Daripada menjawab Reviera, Fusumi menyudahi perkumpulan mereka, mengejutkan anak-anak bimbingannya. Nirmala mengeluhkan bagaimana Fusumi tidak terbuka pada mereka sebagaimana yang pembimbing lain aktif di kelompoknya. Lagi-lagi Fusumi tidak ingin menjawab pertanyaan dari anak-anak bimbingannya. Ia justru mengakui jika ia hanya berniat untuk memberitahu mereka terkait scroll, untuk kebutuhan mereka selama sekolah.
***
Lagi-lagi kelompok bimbingan Fusumi berada dalam diam. “Apa kalian tidak penasasran dengan teman-teman kalian sendiri?” tanya Fusumi yang sudah memejamkan, mengistirahatkan matanya lagi.
“Sudah kami tukar-tukar dalam kamar. Melainkan, ada apa di balik satu matamu?” tanya Grace yang entah mengapa terdengar serius.
Fusumi membuka setenngah matanya, melirik Grace. “Bahasa yang aneh.”
“Benerkan!?” potong Davira.
“Aku nggak terbiasa sama posisiku. Tapi itu bukan urusan kalian, cuman banyak tugas aja yang harus dikerjain,” jelas Fusumi.
Tiba-tiba Fusumi berdiri. “Bicara urusan, tugasku udah selesai,” ungkapnya. Anak-anak bimbingannya tidak bisa berkomentar apa-apa tentang kepergian pembimbingannya. Hari ini adalah hari pertama mereka untuk bertemu, berkumpul, namun mendapatkan kesan yang buruk tentang pembimbing mereka. Beberapa dari mereka kesal, beberapa juga merasa kasihan bahkan merasa tidak dibimbing. “Supaya kalian tidak hanya diam-diam saja, kalian mungkin perlu membahas tentang urusan rumah tangga,” tambah Fusumi.
“Apa maksudmu?” tanya Grace.
“Ya kebutuhan rumah tangga kalian. Seperti urusan laundry, memasak, mungkin piket bersih-bersih,” jelas Fusumi.
Semua hanya mengangguk dengan kesal.
Akhirnya Fusumi meninggalkan mereka, meninggalkan mereka dengan kekesalan mereka. Bloom akhirnya vokal dengan keluhannya, dengan kesan apatis dari Fusumi. Davira menambahkan jika mungkin ia menyepelekan mereka, fokus pada urusan lainnya yang lebih penting dibanding membimbing mereka. Hance juga bersuara, mengeluhkannya jika Fusumi mengganggu tidurnya hanya untuk menjelaskan sedikit hal saja, perkara scroll. Akhirnya tiba lagi mereka dalam kesunyian. Mereka tidak nyaman dengan kebisingan kelompok lain yang lebih hidup bersama pembimbingnya. Bloom akhirnya mengajak timnya untuk kembali karena sudah tidak ada urusan lagi di aula. Davira melakukan hal yang sama, mengajak timnya untuk keliling kampus. Reviera sedikit kebingungan dengan semua yang terjadi, namun mengalir saja bersama siapa yang vokal. (RDP)