MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Bulan Nurguna
“Siapa di antara kita yang lebih dulu mati?” tanyaku pada Rumi suatu hari.
“Siapa pun yang lebih dulu mati tidak penting, kita berdua akan bertemu di neraka.”
“Bagus kalau bertemu di neraka, kalau bahkan tidak diterima di sana, kita akan bertemu di mana?”
“Kita bisa bertemu di batas antara surga dan neraka.”
Ketika Rumi akhirnya lebih dulu mati, sesuai dengan perkiraan kami, aku masih sering bertanya ‘di mana batas antara surga dan neraka?’
Ini sangat penting sebab di tempat itulah kami akan bertemu. Aku membayangkan tempat itu semacam dispenser yang menyediakan air panas dan dingin; atau tubuh meriang seorang anak kecil; atau shower dari solar guard yang instalasi pemasangan airnya bermasalah sehingga air panas dan dinginnya bergantian muncul; atau es teh yang tehnya masih panas sedang esnya sangat beku; atau hujan pada siang yang terik.
Rumi selalu suka ide tentang neraka. Tempat yang penuh kobaran api, di mana-mana ada penjahat disiksa dengan iringan musik hingar bingar, wajah-wajah penyiksa bengis dengan mata merah. “Desain yang sempurna,” katanya.
Rumi bercerita, waktu kecil dia paling suka saat padam listrik dan keluarganya harus menyala kan lilin. Dia suka memakan api lilin itu hingga padam meski kemudian dia dimarahi ibunya. “Apa pikiranmu waktu itu?” tanyaku.
“Aku hanya ingin jadi pahlawan. Aku memusnahkan api-api itu agar nanti ketika ibu masuk neraka apinya telah berkurang.”
“Kenapa kau mengira ibumu akan masuk neraka?”
“Aku lebih siap ibuku masuk neraka sebab aku telanjur mual membayangkan surga. Air susu yang mengalir pada sungai di dalamnya mengingatkanku pada ibu yang selalu memaksaku minum susu saat sarapan. Tubuhku sebenarnya tidak cukup siap menerima makanan terlalu pagi. Ditambah lagi, jam berapa pun aku minum susu aku selalu mual dan mulas. Ibu tetap memaksaku dengan alasan kesehatan, padahal sesaat setelah meminumnya badanku terasa benar-benar sakit.”
Ini sudah masuk musim hujan, tetapi udara di dalam kamarku selalu panas. Kubayangkan kuburanmu yang disusupi air, lalu kau basah kuyup. Mandi hujan adalah kegiatan yang sangat kau benci, bukan? Kau lebih kuat pada panas daripada dingin. Kau paling benci bila lupa membawa jaket dan akan rela kembali meski jaraknya telah jauh dari rumah. “Aku pernah sangat menggigil ketika naik gunung, padahal sudah kukenakan jaket yang sangat tebal. Aku jatuh sakit dan jadi merepotkan teman-temanku. Saat menggigil begitu, aku benar-benar menginginkan api neraka. Aku naik gunung bukan karena keindahannya, tetapi karena naik gunung itu menyiksa dan mungkin bisa membuatku mati.”
Dulu kupikir Rumi hanya menjadikan pembicaraan tentang kematian dan segala yang buruk setelah mati sebagai gaya hidup semata. Karena melihat para musisi atau orang-orang terkenal yang mati muda, ia juga ingin mati muda agar dianggap keren. Tentu saja itu hanya omongan anak muda yang belum menyadari bahaya. Namun setelah dia mati, pikiran itu berubah. Ditambah lagi dia mati dengan cara yang agak konyol. Bila aku bukan orang yang paling dekat dengannya dan hanya membaca berita kematiannya lewat koran mungkin aku akan tertawa terbahak-bahak.
Namun bila kutarik ke belakang, kematiannya terdengar cukup masuk akal. Mungkin menjadi masuk akal karena kesimpulannya sudah ada, jadi penyebab apa pun yang dikatakan akan terdengar masuk akal. Dia memang orang yang suka meletakkan diri dalam bahaya. Sering kulihat dia mengambil risiko yang sebenarnya tidak perlu. Di jalan, meskipun dia tidak sedang terburu-buru, dia selalu memacu motornya dengan kecepatan tak kurang dari 70 km atau 80 km/jam. Bila ada mobil yang berhenti di depannya karena mengerem mendadak sebab dia mengendarai sepeda motor secara sembarangan, dia selalu menganggap mobil itu yang salah karena membuatnya berada di dalam bahaya. Dia tidak pernah berpikir atau mengakui kalau dirinyalah yang tidak mengatur jarak aman dengan pengendara lain.
Pernah juga kulihat—ketika kami menonton acara musik—dia sengaja naik ke atas panggung lalu menjatuhkan dirinya ke tempat berbatu yang tidak ada penontonnya. Padahal waktu itu dia hanya menenggak sedikit minuman dan aku yakin dia tidak mabuk sama sekali. Lain waktu ketika akan mengganti bohlam lampu, ia dengan santai berdiri di bagian sandaran kursi, membuatnya berisiko tinggi untuk jatuh. Ia lebih baik melakukan itu daripada meminjam tangga ke tetangga.
Di kamar Rumi banyak barang-barang yang mengingatkanku pada kematian. Ada tali tambang yang sudah dirakit dengan simpul yang bisa dikencangkan, dan dia gantungkan pada paku di tembok. Cocok sekali digunakan untuk gantung diri. Sering kuturunkan tali itu ketika aku berkunjung, tetapi kutemukan sudah tergantung lagi di kunjungan berikutnya. Ada juga dupa, lilin, dan bunga-bunga kering di atas meja di pojok kamarnya. Dia menyalakan dupa dan lilin itu setiap hari, di kala fajar dan senja. Dia juga rutin membawa bunga-bunga segar dan meletakkannya di atas meja tanpa membersihkan bunga yang telah kering.
Di lain waktu aku bertanya lagi, “Siapa di antara kita yang lebih dulu mati?” Belakangan kusadari aku sering bertanya begitu justru saat aku merasa bahagia.
“Tentu saja aku,” jawab Rumi.
“Waah, senangnya aku,” kataku.
“Kenapa kau takut mati, Eva?”
“Dalam kematian ada dua hal yang kutakutkan. Pertama, saat kita dengan susah payah ingin mengambil napas tetapi tidak bisa, kedua, saat-saat setelah mati.”
“Apa yang kau takutkan setelah mati? Neraka saja tidak mengerikan bagiku.”
“Entahlah, perasaan takut menghadapi hidup setelah mati ternyata sama mengerikannya dengan membayangkan bahwa setelah mati tidak ada apa-apa lagi. Bisakah kau bayangkan kita tidak berada di mana-mana dan tidak merasakan apa-apa?”
“Tidak bisa. Aku rasa itu bukan urusanku.”
“Itu membuatku khawatir. Bagaimana kalau perkataan orang-orang bijaksana itu benar?”
“Barangkali kita cuma ingin hidup abadi. Makanya kita mengarang cerita tentang hidup setelah mati,” kata Rumi. Lalu lanjutnya, “Kekhawatiranmu tentang napas yang terhenti tetapi kesadaran masih ada ketika kematian menjelang, berdoalah bahwa kau akan berumur panjang dan cukup kaya raya, jadi kau bisa suntik eutanasia dan mengalamai mati yang indah, tanpa rasa sakit.”
Hari-hari berjalan rawan tetapi terasa sangat indah setelah dua puluh empat jam pertama kematiannya. Jalan setapak yang kulalui menuju kuburannya, warung kecil di depan kuburan yang menjual rokok kesukaannya, dan pohon-pohon kamboja yang berdaun lebat tetapi tidak berbunga. Kita tidak tahu kapan kita akan mati, tetapi ketika aku tahu dia lebih dulu mati, aku lega dan bahagia. Aku bisa melanjutkan hidup tanpa pertanyaan, siapa di antara kita yang lebih dulu mati?
Musim hujan di bulan Desember, ada yang telah dewasa menghadapi perasaannya lewat kematian orang lain. Dia mati tepat Desember tahun lalu. Betapa kehidupan baru berangkat dari kematian orang lain. Atau mungkin begini: dia yang sudah mati masih hidup dalam hatiku, sementara separuh hidupku telah dibawanya mati.
Sesekali aku ingat variasi jawaban dari pertanyaan, ‘Siapa di antara kita yang lebih dulu mati?’ Dia menjawab, “Belakangan ini kupikir aku tidak ingin mati muda, aku ingin menua bersamamu.”
Namun setelahnya dia kentut di wajahku lalu lari ke toilet.
Di luar, hujan membuat banjir kecil. Setahun lalu—menurut berita—dia terpeleset dan terbawa arus sungai ketika buang air besar saat akan naik gunung bersama teman-temannya. Saat itu hari juga sedang hujan.**
Belencong, 17 November- 9 Desember 2020
Biodata Penulis
Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Bekerja sebagai manajer hotel di Gili Trawangan. Cerpen-cerpennya terbit di pelbagai media, baik cetak maupun digital. Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.