Madrasah Digital
Ketentuan Kirim Tulisan
Buat Akun
  • Berita
    • Rilis
    • Komunitas
    • Surat Pembaca
  • Gaya Hidup
    • Tips
    • Hobi
    • Life Hack
  • Wawasan
    • Analisis
    • Wacana
    • Tadarus Tokoh
    • Resensi
    • Bahasa
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Esai Sastra
  • Ruang Madrasah
    • Materi Pelajaran
    • Online Learning
    • Ruang Konsultasi
Rabu, Agustus 17, 2022
No Result
View All Result
  • Berita
    • Rilis
    • Komunitas
    • Surat Pembaca
  • Gaya Hidup
    • Tips
    • Hobi
    • Life Hack
  • Wawasan
    • Analisis
    • Wacana
    • Tadarus Tokoh
    • Resensi
    • Bahasa
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Esai Sastra
  • Ruang Madrasah
    • Materi Pelajaran
    • Online Learning
    • Ruang Konsultasi
No Result
View All Result
Madrasah Digital
No Result
View All Result
Home Cerpen

Siapa di Antara Kita yang Lebih Dulu Mati?

admin by admin
Juli 22, 2021
in Cerpen, Sastra
5 min read
0
148
SHARES
231
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Bulan Nurguna

 

“Siapa di antara kita yang lebih dulu mati?” tanyaku pada Rumi suatu hari.

 

“Siapa pun yang lebih dulu mati tidak penting, kita berdua akan bertemu di neraka.”

 

“Bagus kalau bertemu di neraka, kalau bahkan tidak diterima di sana, kita akan bertemu di mana?”

 

“Kita bisa bertemu di batas antara surga dan neraka.”

 

Ketika Rumi akhirnya lebih dulu mati, sesuai dengan perkiraan kami, aku masih sering bertanya ‘di mana batas antara surga dan neraka?’

 

Ini sangat penting sebab di tempat itulah kami akan bertemu. Aku membayangkan tempat itu semacam dispenser yang menyediakan air panas dan dingin; atau tubuh meriang seorang anak kecil; atau shower dari solar guard yang instalasi pemasangan airnya bermasalah sehingga air panas dan dinginnya bergantian muncul; atau es teh yang tehnya masih panas sedang esnya sangat beku; atau hujan pada siang yang terik.

 

Rumi selalu suka ide tentang neraka. Tempat yang penuh kobaran api, di mana-mana ada penjahat disiksa dengan iringan musik hingar bingar, wajah-wajah penyiksa bengis dengan mata merah. “Desain yang sempurna,” katanya.

 

Rumi bercerita, waktu kecil dia paling suka saat padam listrik dan keluarganya harus menyala kan lilin. Dia suka memakan api lilin itu hingga padam meski kemudian dia dimarahi ibunya. “Apa pikiranmu waktu itu?” tanyaku.

 

“Aku hanya ingin jadi pahlawan. Aku memusnahkan api-api itu agar nanti ketika ibu masuk neraka apinya telah berkurang.”

 

“Kenapa kau mengira ibumu akan masuk neraka?”

 

“Aku lebih siap ibuku masuk neraka sebab aku telanjur mual membayangkan surga. Air susu yang mengalir pada sungai di dalamnya mengingatkanku pada ibu yang selalu memaksaku minum susu saat sarapan. Tubuhku sebenarnya tidak cukup siap menerima makanan terlalu pagi. Ditambah lagi, jam berapa pun aku minum susu aku selalu mual dan mulas. Ibu tetap memaksaku dengan alasan kesehatan, padahal sesaat setelah meminumnya badanku terasa benar-benar sakit.”

 

Ini sudah masuk musim hujan, tetapi udara di dalam kamarku selalu panas. Kubayangkan kuburanmu yang disusupi air, lalu kau basah kuyup. Mandi hujan adalah kegiatan yang sangat kau benci, bukan? Kau lebih kuat pada panas daripada dingin. Kau paling benci bila lupa membawa jaket dan akan rela kembali meski jaraknya telah jauh dari rumah. “Aku pernah sangat menggigil ketika naik gunung, padahal sudah kukenakan jaket yang sangat tebal. Aku jatuh sakit dan jadi merepotkan teman-temanku. Saat menggigil begitu, aku benar-benar menginginkan api neraka. Aku naik gunung bukan karena keindahannya, tetapi karena naik gunung itu menyiksa dan mungkin bisa membuatku mati.”

 

Dulu kupikir Rumi hanya menjadikan pembicaraan tentang kematian dan segala yang buruk setelah mati sebagai gaya hidup semata. Karena melihat para musisi atau orang-orang terkenal yang mati muda, ia juga ingin mati muda agar dianggap keren. Tentu saja itu hanya omongan anak muda yang belum menyadari bahaya. Namun setelah dia mati, pikiran itu berubah. Ditambah lagi dia mati dengan cara yang agak konyol. Bila aku bukan orang yang paling dekat dengannya dan hanya membaca berita kematiannya lewat koran mungkin aku akan tertawa terbahak-bahak.

 

Namun bila kutarik ke belakang, kematiannya terdengar cukup masuk akal. Mungkin menjadi masuk akal karena kesimpulannya sudah ada, jadi penyebab apa pun yang dikatakan akan terdengar masuk akal. Dia memang orang yang suka meletakkan diri dalam bahaya. Sering kulihat dia mengambil risiko yang sebenarnya tidak perlu. Di jalan, meskipun dia tidak sedang terburu-buru, dia selalu memacu motornya dengan kecepatan tak kurang dari 70 km atau 80 km/jam. Bila ada mobil yang berhenti di depannya karena mengerem mendadak sebab dia mengendarai sepeda motor secara sembarangan, dia selalu menganggap mobil itu yang salah karena membuatnya berada di dalam bahaya. Dia tidak pernah berpikir atau mengakui kalau dirinyalah yang tidak mengatur jarak aman dengan pengendara lain.

 

Pernah juga kulihat—ketika kami menonton acara musik—dia sengaja naik ke atas panggung lalu menjatuhkan dirinya ke tempat berbatu yang tidak ada penontonnya. Padahal waktu itu dia hanya menenggak sedikit minuman dan aku yakin dia tidak mabuk sama sekali. Lain waktu ketika akan mengganti bohlam lampu, ia dengan santai berdiri di bagian sandaran kursi, membuatnya berisiko tinggi untuk jatuh. Ia lebih baik melakukan itu daripada meminjam tangga ke tetangga.

Di kamar Rumi banyak barang-barang yang mengingatkanku pada kematian. Ada tali tambang yang sudah dirakit dengan simpul yang bisa dikencangkan, dan dia gantungkan pada paku di tembok. Cocok sekali digunakan untuk gantung diri. Sering kuturunkan tali itu ketika aku berkunjung, tetapi kutemukan sudah tergantung lagi di kunjungan berikutnya. Ada juga dupa, lilin, dan bunga-bunga kering di atas meja di pojok kamarnya. Dia menyalakan dupa dan lilin itu setiap hari, di kala fajar dan senja. Dia juga rutin membawa bunga-bunga segar dan meletakkannya di atas meja tanpa membersihkan bunga yang telah kering.

 

Di lain waktu aku bertanya lagi, “Siapa di antara kita yang lebih dulu mati?” Belakangan kusadari aku sering bertanya begitu justru saat aku merasa bahagia.

 

“Tentu saja aku,” jawab Rumi.

 

“Waah, senangnya aku,” kataku.

 

“Kenapa kau takut mati, Eva?”

 

“Dalam kematian ada dua hal yang kutakutkan. Pertama, saat kita dengan susah payah ingin mengambil napas tetapi tidak bisa, kedua, saat-saat setelah mati.”

 

“Apa yang kau takutkan setelah mati? Neraka saja tidak mengerikan bagiku.”

 

“Entahlah, perasaan takut menghadapi hidup setelah mati ternyata sama mengerikannya dengan membayangkan bahwa setelah mati tidak ada apa-apa lagi. Bisakah kau bayangkan kita tidak berada di mana-mana dan tidak merasakan apa-apa?”

 

“Tidak bisa. Aku rasa itu bukan urusanku.”

 

“Itu membuatku khawatir. Bagaimana kalau perkataan orang-orang bijaksana itu benar?”

 

“Barangkali kita cuma ingin hidup abadi. Makanya kita mengarang cerita tentang hidup setelah mati,” kata Rumi. Lalu lanjutnya, “Kekhawatiranmu tentang napas yang terhenti tetapi kesadaran masih ada ketika kematian menjelang, berdoalah bahwa kau akan berumur panjang dan cukup kaya raya, jadi kau bisa suntik eutanasia dan mengalamai mati yang indah, tanpa rasa sakit.”

 

Hari-hari berjalan rawan tetapi terasa sangat indah setelah dua puluh empat jam pertama kematiannya. Jalan setapak yang kulalui menuju kuburannya, warung kecil di depan kuburan yang menjual rokok kesukaannya, dan pohon-pohon kamboja yang berdaun lebat tetapi tidak berbunga. Kita tidak tahu kapan kita akan mati, tetapi ketika aku tahu dia lebih dulu mati, aku lega dan bahagia. Aku bisa melanjutkan hidup tanpa pertanyaan, siapa di antara kita yang lebih dulu mati?

 

Musim hujan di bulan Desember, ada yang telah dewasa menghadapi perasaannya lewat kematian orang lain. Dia mati tepat Desember tahun lalu. Betapa kehidupan baru berangkat dari kematian orang lain. Atau mungkin begini: dia yang sudah mati masih hidup dalam hatiku, sementara separuh hidupku telah dibawanya mati.

 

Sesekali aku ingat variasi jawaban dari pertanyaan, ‘Siapa di antara kita yang lebih dulu mati?’ Dia menjawab, “Belakangan ini kupikir aku tidak ingin mati muda, aku ingin menua bersamamu.”

 

Namun setelahnya dia kentut di wajahku lalu lari ke toilet.

 

Di luar, hujan membuat banjir kecil. Setahun lalu—menurut berita—dia terpeleset dan terbawa arus sungai ketika buang air besar saat akan naik gunung bersama teman-temannya. Saat itu  hari juga sedang hujan.**

 

Belencong, 17 November- 9 Desember 2020

 

Biodata Penulis

 

Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Bekerja sebagai manajer hotel di Gili Trawangan. Cerpen-cerpennya terbit di pelbagai media, baik cetak maupun digital. Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: bulan nurgunafilsafatkematiannerakasurga
Share59Tweet37SendShare

Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.

Unsubscribe
Previous Post

PC IMM AR Fakhruddin Gelar Madrasah Intelektual Muhammadiyah

Next Post

FK Uhamka Ajak Masyarakat Kenali Penyakit Jantung Bawaan

admin

admin

Related Posts

by admin
Agustus 12, 2022
0
136

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Pasini   Semestinya aku senang, tetapi kenyataannya aku sedih, setiap kali istriku Kenanga masih mengenang puisi yang kutuliskan...

Cerpen : Ericko dan Pedomannya di La’ Caffeina

by admin
Agustus 5, 2022
0
74

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Sakti Ramadhan   Sepeda motor roda tiga yang terparkir itu pastilah milik Ericko, teman Don yang doyan nyengir...

Puisi: Fasal-Fasal Ihwal Guru

by admin
Agustus 2, 2022
0
61

MADRASAHDIGITAL.CO, Puisi-Puisi oleh Imam Budiman Fasal-Fasal Ihwal Guru dari para guru aku bermula, segenap cahaya pewaris Nabi Guru...

Cerpen : Meja Kecil Jelek di Ruang Tamu

by admin
Juli 29, 2022
0
137

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Aliurridha Aku ingat pertama kali bertemu denganmu. Saat itu aku hanyalah seorang bocah yang tidak mengerti apa-apa tentang hidup,...

Cerpen : Lengkingan Suara Murni

by admin
Juli 22, 2022
0
69

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Teni Ganjar Badruzzaman  Bukan kokok ayam yang membangunkanku sedini ini. Bukan pula kumandang azan dari musala milik Haji...

Cerpen : Kematian – Kematian Tak Terduga

by admin
Juli 15, 2022
0
87

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Satria Nugraha Adiwijaya  Kholis agaknya  sudah kepayahan dengan apa yang ia lakukan hari ini. Lima lubang ia gali...

Next Post

FK Uhamka Ajak Masyarakat Kenali Penyakit Jantung Bawaan

Sumber gambar: Wartakota (https://www.youtube.com/watch?v=GJEQblvLzvg)

Buat PCR Palsu, Sengsarakan Keluarga

PBSI Uhamka Tekankan Pentingnya Tingkatkan Minat Baca

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Senior Juga Penyebab IMM Mati
  • Akar bawah dari korupsi
  • Meneropong Peran Perempuan dalam Memperjuangkan Pendidikan Di Kampung Gedong
  • Dosen FISIP Uhamka Adakan Pelatihan Menulis Esai, Kepada Angkatan Muda Muhammadiyah
  • Pendidikan Moral Bangsa Diatas Merdeka

Komentar Terbaru

  • Pg pada Dampak Politik Uang Buat Rakyat
  • Danang Tergalek pada Cerpen : Tak Jadi ke Nevşehir
  • Muhammad Putra Ramadhan pada Jack dan Seorang Teman Lugu
  • XerXes pada Kisah di Balik Senyum Indah Jofi
  • Esti P.J pada Cerpen: Luka yang Indah

Arsip

  • Agustus 2022
  • Juli 2022
  • Juni 2022
  • Mei 2022
  • April 2022
  • Maret 2022
  • Februari 2022
  • Januari 2022
  • Desember 2021
  • November 2021
  • Oktober 2021
  • September 2021
  • Agustus 2021
  • Juli 2021
  • Juni 2021
  • Mei 2021
  • April 2021
  • Maret 2021
  • Februari 2021
  • Januari 2021
  • Desember 2020
  • November 2020
  • Oktober 2020
  • September 2020
  • Agustus 2020
  • Juli 2020
  • Juni 2020
  • Mei 2020
  • April 2020
  • Maret 2020
  • Februari 2020
  • Januari 2020
  • Desember 2019
  • November 2019
  • Oktober 2019
  • September 2019
  • Agustus 2019
  • Juli 2019
  • Juni 2019
  • Mei 2019
  • April 2019
  • Maret 2019
  • Februari 2019
  • Januari 2019

Kategori

  • Analisis
  • Bahasa
  • Berita
  • Cerpen
  • Esai Sastra
  • Event
  • Gaya Hidup
  • Hobi
  • Komunitas
  • Life Hack
  • Materi Pelajaran
  • Opini
  • Pemikiran Tokoh
  • Puisi
  • Resensi
  • Rilis
  • Ruang Konsultasi
  • Ruang Madrasah
  • Sastra
  • Surat Pembaca
  • Tadarus Tokoh
  • Tips
  • Umum
  • Wacana
  • Wawasan

Meta

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

Madrasah Digital

Madrasah Digital

Madrasah Digital

Kategori

  • Analisis
  • Bahasa
  • Berita
  • Cerpen
  • Esai Sastra
  • Event
  • Gaya Hidup
  • Hobi
  • Komunitas
  • Life Hack
  • Materi Pelajaran
  • Opini
  • Pemikiran Tokoh
  • Puisi
  • Resensi
  • Rilis
  • Ruang Konsultasi
  • Ruang Madrasah
  • Sastra
  • Surat Pembaca
  • Tadarus Tokoh
  • Tips
  • Umum
  • Wacana
  • Wawasan

Sekretariat

Learning Center Madrasah Digital

Alamat
Graha Inkud Lt. 6, Jln. Warung Buncit Raya No. 18-20, Jakarta Selatan, 12740.

Telp
0817123002/085717051886

E-mail
redaksimadrasah@gmail.com

  • Redaksi

© 2019 Madrasah Digital

No Result
View All Result
  • Masuk / Daftar
    • Tulis Postingan
    • Tulisan Saya
  • Berita
  • Wacana
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
  • Opini
  • Sastra
  • Umum

© 2019 Madrasah Digital

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In