MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Aliurridha
Kamu ingin melihat mereka. Kembali ke masa lalu untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum ayahmu—yang kala itu masih berusia remaja—nekat untuk melamar ibumu yang berusia sebaya dengannya. Tuhan telah memberimu jalan. Pada suatu pagi, rumahmu diketuk oleh dua orang—atau mungkin dua malaikat karena di belakangnya memiliki sepasang sayap—yang tak kau kenal. Mereka tersenyum, dan kamu tidak pernah melihat senyum semeneduhkan itu. Kamu mempersilakan mereka masuk, tetapi mereka menolak dengan halus. Mereka mengatakan mereka diutus Tuhan untuk menjemputmu, membawamu ke masa lalu, untuk mencegah kemelaratan hidupmu. Kamu bimbang. Menimang berulang kali sebelum akhirnya benar-benar pergi. Kau lihat adikmu yang meringkuk begitu tenang setelah kamu membelikan nasi dengan ayam goreng, yang kamu sendiri tak memakannya. Hari ini, kamu menahan perutmu sendiri yang teramat lapar. Berkali-kali perutmu berbunyi, demi menahan perut kosong yang demikian perih. Hasil kerjamu hari ini, hanya cukup untuk membeli sepiring nasi dan ayam goreng. Namun melihat kedua tamumu yang mungkin benar-benar malaikat, kamu merasa kemelaratan yang terjadi dalam hidupmu dan adikmu bisa dicegah, sebelum kedua orang tuamu benar-benar menelantarkanmu dan adikmu.
Ayahmu meminta izin kepada kakekmu untuk menikahi ibumu. Kakekmu tidak mengizinkannya. Kakekmu tidak mengizinkannya karena ayahmu saat itu belum juga lulus SMA. Ia membentak ayahmu dan bertanya, “Mau kamu beri makan apa anakmu kelak?” Dan saat itulah kata-kata legendaris itu meluncur keluar dari mulut ayahmu: “Semut saja tidak punya kerja tapi bisa makan.”
Kamu yang mendengar cerita itu dari kakekmu, hanya menanggapinya menggeleng-gelengkan kepala. Kamu tidak habis pikir, kata-kata sebodoh itu bisa meluncur dari mulut ayahmu. Kamu berharap bisa datang ke masa lalu dan berkata kepada ayahmu, “Semut itu bekerja, hanya saja tidak di kantor.” Saat itu kamu merasa lebih pintar dari ayahmu, padahal kamu baru duduk di kelas empat SD.
Sejak saat itu kamu membenci ayahmu. Kamu membencinya karena kebodohannya hidupmu dan adikmu menderita; di saat teman-teman sekolahmu memiliki ayah dan ibu, kamu hanya memiliki kakek dan nenek; di saat usiamu yang masih sangat muda, ibumu terpaksa meninggalkanmu dan bekerja sebagai pembantu di Saudi; di saat ibumu pergi meninggalkanmu, ayahmu juga ikut pergi, melanjutkan petualangan yang tertunda karena menikah terlalu muda.
Ketika usiamu menjelang dewasa, mereka datang ke hidupmu. Mereka ada meski tak bersama. Mereka adalah orang-orang asing yang nyaris tidak kamu temukan dalam kantong-kantong ingatan. Setelah kamu cukup dewasa, tidak lagi butuh keduanya, mereka datang membuka luka yang sebenarnya telah sembuh. Namun seperti halnya setiap luka yang telah sembuh, kulitnya begitu tipis dan rapuh, gesekan kecil saja akan kembali membukanya, dan kedatangan mereka berdua serupa gesekan pada kulit tipis itu, menguak luka lama.
Kamu mencoba mengingat-ingat apa yang tersisa dari mereka. Ingatanmu kemudian membawamu menyelami masa itu. Ketika itu kamu berusia tiga tahun, dan ayahmu yang telah lama menghilang dari kehidupanmu itu datang. Ia datang bersama langit senja yang begitu indah. Senja yang mengupas warna biru di langit, mengubahnya menjadi merah jingga. Senja yang datang selalu singkat, seperti juga bayangan ayahmu yang seringnya hanya lewat.
Saat cahaya kuning keemasan menerobos celah jendela kayu, kamu yang selalu terpukau oleh langit senja, menatap ke luar jendela. Saat itu kamu melihat seorang pria asing tak dikenal. Pria itu mendekatimu dan mengaku sebagai ayahmu. Kamu bingung, kamu takut. Kamu merasa tidak mengenalnya. Namun rasa takut itu luruh ketika kamu melihatnya membawa sebuah makanan ringan yang memompa cairan asam di lambungmu. Air liurmu melimpah hingga nyaris tumpah. Kamu sangat senang karena seumur hidupmu yang muda itu, kamu belum pernah mencicipinya. Namun kesenanganmu itu hanya sepintas lewat karena ibumu langsung mengakhirinya.
Saat itu ibumu marah besar pada ayahmu untuk sesuatu yang tidak kamu mengerti. Ia mengambil makanan ringan itu dari tanganmu, kemudian dengan wajah mengerikan yang stidak mungkin bisa kamu lupakan seumur hidupmu, ia merebut makanan itu dari tanganmu, lalu membantingnya ke tanah kemudian menginjaknya. Tidak ada yang keluar dari mulutmu kecuali tangisan. Bahkan saat itu ibumu tak sanggup membuang sedikit egonya agar kamu yang kelaparan itu bisa makan.
Esoknya, ketika tidak ada orang, kamu memungut makanan ringan yang telah kotor dikerumuni semut. Diam-diam kamu memakannya. Lusanya, ayah dan ibumu seperti telah melupakan pertengkaran mereka, seolah peristiwa kemarin yang menggoreskan luka pada ingatanmu itu bukan apa-apa bagi mereka. Keduanya kembali bersama. Meski sebentar saja, mereka berhasil memberimu adik.
Kamu teringat kembali ketika kelas empat SD, adikmu pulang menangis setelah dirundung oleh teman-teman sekelasnya. Ia diejek karena orang tuanya yang telah bercerai. Kamu kesal. Setahumu orang tuamu belum bercerai. Mereka hanya tidak hidup bersama. Kamu yang kalap, mendatangi teman-teman adikmu, memukul ketiga orang teman adikmu sampai salah satu dari mereka meneteskan darah dari hidungnya yang patah.
Orang tua dari anak itu mendatangi nenekmu, membuatmu dipukul dengan gagang sapu hingga patah jadi dua. “Orang tuamu memang sudah cerai,” bentak nenekmu. Setelah itu ia meminta maaf kepada ibu dari anak yang kamu bikin patah hidungnya, ia meminta maaf seperti seorang hamba yang baru memecahkan piring majikannya. Kamu mengumpat. Kamu berang tersebab tidak satu pun dari mereka memberitahumu kalau orang tuamu telah bercerai, tidak sampai sampai peristiwa itu terjadi.
Kamu juga teringat ketika kamu baru lulus SMA, ayahmu mengajakmu tinggal bersama. Ia ingin menebus dosa masa lalunya dengan memberimu keluarga baru. Untuk kesekian kalinya, ia memberimu Mama baru, setelah mama-mama sebelumnya kabur meninggalkannya. Ia ingin memulai kembali dari awal, mengecat putih kanvas lukisan yang telah kotor. Ia berpikir apa yang dilakukannya bisa membuat lukisan baru yang lebih indah. Namun ia tidak sadar, cat putih itu tidak cukup mampu untuk menambal bekas-bekas noda yang samar-samar masih terlihat. Ketika kamu menemukan ayahmu mabuk, kamu langsung bertanya padanya perihal yang kamu dengar dari kakekmu ketika kecil dulu; benarkah ayah pernah mengatakan kepada kakek bahwa semut tidak punya kerja tetapi bisa makan?
Ayahmu tidak menyangkal. Namun itu bukan idenya, melainkan ide ibumu. Saat itu ibumu memaksa untuk dikawini. “Jangan takut kawin tanpa punya kerja, semut saja tidak punya kerja bisa hidup dan punya anak,” begitu kata ibumu. Ayahmu hanya mengulanginya seperti burung beo yang tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Kamu mengumpat sambil meremas tanganmu sendiri. Untung saat itu ayahmu tengah mabuk, ia tak terlalu mendengar umpatanmu.
Kamu kesal pada ayahmu tersebab untuk menjawab pertanyaan kakekmu, ia tidak mampu menggunakan pikirannya sendiri. Kamu tidak habis pikir, seolah ayahmu tidak memiliki prinsip sendiri, sehingga meminjam pikiran ibumu, pikiran yang sama dangkalnya. Kamu juga kesal dengan ibumu yang tidak mampu menahan kebutuhan biologis dan romansa telenovela. Dua-duanya lemah. Dua-duanya bodoh. Kini ibumu gila, dan ayahmu pecandu narkoba yang tidak bosan keluar masuk penjara. Kamu kesal, tapi kamu tidak mampu berbuat apa-apa. Lalu kamu memohon kepada Tuhan untuk membawa ke masa lalu, bertemu kedua orang tuamu saat mereka muda. Kamu ingin diberikan kesempatan membatalkan perkawinan mereka.
Tuhan mengabulkannya! Dua malaikat itu membawamu terbang ke langit, hingga mengajakmu ke sebuah ruangan yang segalanya tampak putih bersih. Mereka membawamu ke depan sebuah pintu yang berwarna putih, dengan gagang pintu berwarna keemasan. Kedua malaikat itu mengangguk seraya tersenyum. Mereka seolah mengatakan, jika kamu membuka pintu itu, kamu akan kembali ke masa lalu. Ke masa yang kamu mau, tanpa seorang pun tahu. Dadamu bergemuruh hebat. Kamu pegang gagang pintu, dan keringat mengucur di seluruh tubuhmu. Tanganmu bergetar. Kamu sampai harus berkali-kali melap keringat yang terus membasahi keningmu. Meski segalanya telah ada di kepala ketika kamu bertemu kedua orang tuamu nanti, bahkan hanya memegang gagang pintu menuju masa lalu, kamu seperti lupa terhadap keinginan-keinginanmu untuk mencegah apa yang ayah dan ibumu lakukan di masa lalu. Perlahan, kamu membuka pintu itu. Kamu tak melihat apa pun, kecuali satu cahaya yang begitu cemerlang yang membuatmu silau karenanya. Kamu terus berusaha menghalangi sinar cahaya itu karena terlalu menyilaukan. Namun meski kamu telah berusaha sedemikian rupa, cahaya itu seperti bisa menerobos tanganmu yang kamu gunakan untuk menghalau cahaya itu. Tak lama kemudian, segalanya menjadi gelap belaka.
Kamu mencoba membuka mata. Kamu lihat sekeliling. Segalanya tampak berbeda.
Kamu terbangun di kota Mataram akhir tahun delapan puluhan, masa-masa ketika ayah dan ibumu masih pacaran. Kamu melihat mereka bertemu di sebuah kafe kecil di suatu sudut kota. Saat itu ibumu menggunakan baju kaos berwarna merah menantang tanpa lengan, menyesuaikan dengan suhu Mataram yang terasa sangat terik. Ayahmu menggunakan baju kaos hitam yang tidak terlalu berbeda dengan warna kulitnya. Mereka sedang dibuai asmara. Kamu melihat ayahmu memegang pipi ibumu. Pipi ibumu memerah semerah baju yang ia kenakan. Ibumu tersenyum malu. Cuih! Kamu meludah.
Kamu memberanikan diri berjalan ke arah mereka. Kamu sudah menetapkan hati untuk menghentikan hubungan keduanya. Saat kamu berjalan mendekat, jantungmu berdetak semakin cepat. Ketika kamu semakin dekat, kakimu bergetar hebat. Kamu mulai ragu untuk menemui mereka, sepasang kekasih yang terdiri dari bocah laki-laki yang menumpahkan sperma ke dalam saluran peranakan perempuan belum matang.
Nyalimu ciut. Namun kamu telah membulatkan tekad. Kamu ingin berkata kepada ayahmu, “Hentikan hubungan bodoh ini. Hubungan yang akan membuat hidup kalian menderita. Kamu laki-laki, kamu akan menangis ketika perempuan ini meninggalkanmu. Perempuan ini meninggalkanmu karena begitu pulang dari Saudi, ia marah ketika menemukanmu sudah bersama perempuan lain. Padahal kamu hanya kesal karena tak mampu melarang istrimu menjadi pembantu di negeri orang. Setelah itu hidupmu tak pernah tenang, dan kamu menjadi pecandu narkoba yang tidak berhenti keluar masuk penjara.”
Kemudian pada ibumu kamu akan berkata, “Kamu perempuan, kamu akan jadi gila. Lebih dari separuh usiamu kamu habiskan menjadi gila. Hidupmu akan menderita dan kamu membuat orang-orang di sekitarmu jauh lebih menderita. Kamu akan dihinakan oleh anak-anak kecil di mana pun kamu berada. Mereka akan mengiringi langkahmu sembari bernyanyi, orang gila… orang gila… oang gila... Kemudian kamu akan melempar mereka—anak-anak kecil itu, dengan batu. Mereka akan berlari riang setelah berhasil membuatmu marah. Berkali-kali orang tua mereka membawamu ke kantor polisi karena kamu melempari rumah mereka dengan batu. Tapi siapa yang bisa menangkap orang gila? Kamu akan terus jadi gila, orang gila yang hina.”
Saat itu dadamu kembali bergemuruh. Rasa panas yang membara di dada membakar kembali nyali yang sempat ciut. Kamu melanjutkan langkah mendekati mereka.
Ketika jarakmu dari tempat mereka duduk hanya tinggal sepuluh kaki, kamu merasa gerak kakimu menjadi semakin lambat, kamu rasai kakimu semakin berat. Wajahmu penuh keringat. Bajumu basah seperti habis bekerja menjadi kuli dengan upah sedikit rupiah. Napasmu kian berat dan waktu terasa berhenti. Waktu benar-benar berhenti. Kamu menyerah, kamu tak mampu melangkah lagi, padahal jarakmu tinggal lima kaki. Ternyata kamu tak mampu melanjutkannya. Kamu benar-benar tak mampu melanjutkannya. Ternyata kamu ingin hidup. Kamu betul-betul ingin hidup. Ternyata kamu tidak beda dengan mereka, kamu sama lemahnya. Kamu si anak semut.
Biodata Penulis
Aliurridha menulis esai, opini, dan cerpen. Karyanya tersebar di pelbagai media cetak maupun daring. Cerpen-cerpennya telah terbit di Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Fajar Makassar, Kompas.id, Lensasastra.id, Ceritanet.com, Magrib.id, dll. Bergiat di komunitas Akarpohon.