MADRASAHDIGITAL.CO Oleh: Ardiwinjaya
Rain terdiam bagaikan tersambar petir, mengalir air dipipinya, badanya tak dapat digerakan, mata dengan tatapan kosong, hati yang terasa di iris-iris, menelan air liur terasa begitu sakit. Rain mengambil napas panjang dan mengeluarkanya dengan menyebut nama Chacha. Setelah itu Rain kembali tak sadarkan diri.
Ketika Rain sadarkan diri, dia hanya melamun, menyebut nama Chacha dan tak sadarkan diri lagi.
Aldi menelpon orang tuanya Rain, Aldi menyampaikan kabar Rain, dan memberi alamat kepada orang tuanya, lalu dijemputlah Rain oleh orang tuanya.
Selama diperjalanan pulang dengan mata yang redup cahayanya, Chacha… Chacha… Chacha… hanya nama itu yang keluar dari mulut Rain.
“Chacha udah pulang kepada Allah, kamu harus bisa mengikhlaskanya.” kata ibunya.
“Walaupun Chacha udah pulang, Chacha tidak mati bu, dan tidak akan pernah mati. dia akan terus hidup di jiwa Rain bu, kita pernah berjanji bahwa kita akan bersama didunia dan diakhirat, jadi dia akan tetap hidup bu.” ucap Rain dengan wajah yang masih menyimpan harapan. Ibunya mengusap kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.
Ibunya melihat Rain yang sedang jatuh sakit, Rain hanya terbaring dikamarnya, makanan tak masuk kedalam mulutnya, airpun tidak membasahi kerongkonganya. Rain hanya terus-terusan menyebut nama Chacha. Oleh karena itu Ibunya sangat khawatir kepada anaknya itu, maka dia mendekati Rain dan berkata dengan penuh kelembutan.
“Rain… udah beberapa hari kamu sakit, ayo kita berobat kedokter.”
dengan tatapan kosong Rain hanya menggelengkan kepalanya. Dalam hatinya dia berkata
“Dokter tidak akan pernah bisa mengobati penyakit ini.”
Ibunyapun semakin cemas akan kesehatan anaknya itu yang semakin hari semakin bertambah parah penyakitnya. Dibawakannya sepiring nasi oleh ibunya itu, lalu dibujuknyalah Rain
“Kalau kamu gak mau ke dokter, ini makanlah, sedikit juga tak apa. Coba kamu lihat ibu, kamu harus tau Rain, kalau orang yang mencintai kamu melihat kamu seperti ini, dia akan bersedih, seperti ibu yang melihatmu sekarang ini, begitupun Chacha yang melihatmu seperti ini dia juga akan bersedih, apakah kamu akan membiarkan orang yang mencintaimu bersedih?.”
Dikatakanya kalimat itu dengan penuh kelembutan dan harapan. Sehingga Rainpun memakan apa yang telah dibawakan oleh ibunya itu. Dimakanya makanan itu dengan hati yang terus menyebut satu nama (Chacha).
“Bu… benar yang ibu katakan, Chacha pasti bersedih jika melihat Rain seperti ini, karena ketulusan cintanya dia pasti ingin Rain bahagia, jadi jika Rain terus-terusan seperti ini dia juga pasti merasa bersalah, karena bukan kebahagiaan yang dia berikan, melainkan kepedihan.”
“Syukur Alhamdulillah kamu sekarang sudah mulai mengerti, anak Ibu harus kuat, harus tegar menghadapi segala ujian.”
“Bu… Rain ingin ketempat peristirahatan terakhir Chacha, apakah Ibu bisa mengantar Rain kesana?.”
“Baik ibu akan mengantar kamu kesana, tapi kamu harus janji dulu.”
“Janji apa bu?.”
“Janji kalau kamu akan sembuh. kamu harus bisa menerima segalanya dengan lapang dada.”
Rain memegang tangan ibunya
“Iya bu, Rain janji kalau Rain akan sembuh. Maafin Rain bu, udah buat ibu sedih dan khawatir.” dipeluknya Rain oleh ibunya, dengan tangis yang dihiasi kasih sayang yang tulus.
***
Diantarnya Rain ke pemakaman oleh orang tuanya, Lemas kaki Rain, ketika menginjakan kakinya ditanah pemakaman, dengan dibantu ayahnya Rain berjalan mencari kubur Chacha. Ketika Rain melihat batu nisan bertuliskan nama Chacha, Rain langsung tersungkur dengan air yang mengalir deras dimatanya.
“Chacha… Cha… ini semua salahku, jika saja aku tak mendatangimu ke Bogor, kamu gak akan seperti ini Cha… Maafkan aku Cha, aku mendatangimu atas dasar cinta, aku ingin membahagiakanmu, tapi aku malah membuatmu kehilangan segalanya, kalau saja aku tidak diam disebrang jalan, kamu gak akan seperti ini Cha. Kalau saja aku tak pernah hadir dalam hidupmu, kamu gak akan seperti ini Cha. semua ini salahku Cha.
Izinkan aku menebus kesalahan ini Cha, dengan menghidupkanmu dalam jiwaku, engkau akan selalu hidup didalamnya, seperti janjiku bahwa kita akan hidup abadi kelak. Cha… kamu adalah matahari yang akan menyinari dunia, tanpamu dunia akan begitu gelap. Waktu itu dengan mudahnya aku mengatakan, bahwa dunia bukan tempat tinggal, melainkan tempat meninggal, untuk kehidupan yang sebenarnya dan abadi, dan kita akan hidup abadi disana. Tapi sekarang berat bagiku menerima bahwa engkau telah lebih dulu menuju kesana.
Cha… aku mencintaimu, sungguh mencintaimu, Aku nyaman berada didekatmu Cha, tentram jiwaku. Aku mencintaimu Cha, selalu mencintaimu, namamu akan selalu aku jaga didalamnya, telah terukir dengan begitu indah. Aku mencintaimu Cha, tunggu aku.”
Sesampainya dirumah, Rain mendekati ibunya yang sedang duduk di kursi yang ada didepan kamarnya, lalu Rain tersungkur dihadapanya sambil memegang tangan ibunya
“Bu maafin Rain yah, ibu telah lihat perjuangan Rain untuk Chacha, tapi ibu tidak melihat perjuangan Rain untuk ibu. Rain sekarang merasa malu ke ibu, maka izinkan Rain untuk berjuang juga untuk ibu.” ucap Rain sambil tersedu-sedu.
“Rain… dengan kamu berbakti kepada ibu, bagi ibu itu adalah bentuk perjuangan, karena tidak mudah bagi seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya.” jawab ibunya sambil mengelus kepala anaknya.
“Iya bu, dan sekarang Rain ingin berkorban lebih kepada ibu, mengabulkan segala keinginan ibu, apa yang ibu inginkan dari Rain, Rain akan berusaha untuk memenuhi keinginan itu.”
“Tidak ada Rain, tidak ada yang ibu inginkan dari kamu selain kamu menjadi anak yang sholeh. Bagi ibu itu sudah lebih dari cukup.”
Rain mendekatkan kepalanya ke lutut ibunya lalu berkata dengan penuh keyakinan
“Baik bu, Rain akan buktikan kalau Rain bisa menjadi anak yang shaleh.”
***
Setelah kejadian itu Rain sering mengikuti kajian-kajian Islam, dia ikut kajian bersama temanya yang bernama Ali.
“Ternyata ana bodoh Li, sedikit sekali ana memahami tentang Islam, semakin ana mengkajinya maka ana merasa semakin bodoh Li.” Ucap Rain kepada Ali
“Memang seperti itu seharusya wujud dari Ilmu, seseorang ketika semakin berilmu maka akan semakin merasa bodoh.”
“Sekarang aku tau cara untuk bahagia yang abadi Li.”
“Gimana caranya A?.”
“Menjadikan Allah SWT. sebagai tujuan hidup, dan menjadi Rasulullah SAW. sebagai teladanya.”
“Benar itu A, memang hanya dengan itu kita akan mendapatkan kebahagiaan.”
“Iya Li, dulu aku salah menjadikan perempuan sebagai tujuanku, aku lupa kepada pencipta-Nya, padahal Allah bisa dengan mudah mengambilnya kapanpun itu.” diucapkanya dengan air yang sempat jatuh dimatanya.
Ali hanya terdiam tak menjawab ungkapan Rain.
“Li… kamu tau apa itu Cinta?.” tanya Rain kepada Ali
“Kalau menurut ana Cinta adalah anugrah yang diberikan Allah kesetiap jiwa manusia.”
“Antum benar Li, kalau menurut ana, cinta adalah sebuah pedang yang ketika dihunuskan maka bisa menebas apapun yang ada dihadapanya. CInta adalah energi terkuat yang ada didalam diri kita. Dengan cinta, kita bisa melakukan apapun untuk hal yang kita cintai. Seperti dulu ana bisa melakukan semuanya untuk Chacha. Itu semua karena cinta Li. Dan sekarang ana akan mencintai Allah dan Rasul-Nya.” dikatakannya dengan gagah.
“Masyaa Allah, luar biasa.”
“Iya Li, dulu ana menjadikan Chacha sebagai rumah dalam diri ana. Ketika ana lelah, ana ingat Chacha, hilang seketika rasa lelah ana Li, tentram jiwa ana ketika mengingatnya Li, dia tempat ana bersenda gurau, dan dia adalah cahaya hidup ana Li. Dan sekarang ana mendapatkan Rumah baru dan abadi Li. Ketika ana lelah ana ingat Allah dan Rasulullah, seketika hilang rasa lelah ana Li, tentram jiwa ana ketika mengingat Allah dan Rasulullah, ana berdo’a kepada Allah dan menjawab salam dari Rasulullah. Allah SWT. dan Rasulullah SAW. cahaya hidup ana Li, dan itu pasti abadi. Rumah dalam diri, rumah yang harus abadi.”
Keinginan ibunya terkabul, Rain menjadi anak yang Shaleh. Setiap hari dia Adzan di masjid, karena Adzanya begitu merdu dan indah, maka DKM masjid menugaskanya menjadi Imam Shalat.
Kebiasan Rain setiap malam yaitu merendam kaki ibunya dengan air hangat yang dicampurkan garam himalaya, Rain benar-benar membuktikan dan mewujudkan janjinya kepada ibunya, sehingga ibunya benar-benar bahagia dan bangga akan anaknya itu. Apalagi ketika anaknya itu dipuji orang lain, ibunya merasakan seolah-olah memiliki dunia dan seisinya.
5 tahun telah berlalu. Saat itu Rain melihat perempuan di toko buku AA, saat Rain melihatnya terasa cahaya hidup bersinar kembali. Karena pengalamanya dahulu dan Rain tidak mau itu terjadi lagi, maka dia merubah jalanya. Dulu yang diperjuangkan adalah perempuanya, sedangkan sekarang yang diperjuangkan adalah Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Rain menyusun konsep keluarga yang akan dia bangun dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah. Dan dia hanya akan menikah dengan perempuan yang menerima konsep itu.
Didatanginya perempuan itu, disuguhkanya konsep itu, dan ditolaknya konsep itu.
3 bulan kemudian Rain melihat perempuan di PDAM yang menggetarkan jiwanya, lalu disuguhkanya konsep itu, dan ditolaknya konsep itu.
Keesokan harinya Rain pergi ke Garut dengan keluarganya. Disana Rain disuruh Adzan dan menjadi imam dimasjid yang berada dibelakang rumah neneknya. Dan setelah shalat Isya Rain ikut perkumpulan Ustadz disana.
“Rain ini ada perempuan yang sudah siap menikah namanya siti, gimana Rain?.” tanya Ustadz itu kepada Rain.
Lalu Rain mengikhtiarkanya dan disampaikanyalah konsep itu, dan ditolaknya juga.
Satu bulan berlalu. Saat itu Rain melihat sosok perempuan yang pakaiannya menunjukan kehormatan, berjalanya menjelaskan kewibawaan, dan matanya memancarkan sinar kesucian, tatapan dengan penuh rasa malu.
“Ya Allah, yang ini ya Allah.” ucap Rain didalam hatinya.
***
Empat bulan kemudian. Ketika Rain sedang membeli gembok di toko perkakas, saat Rain hendak menaiki motornya, ada perempuan yang berjalan kearahnya, hendak lewat di hadapan Rain.
Perempuan itu selalu berjalan dengan menundukan pandanganya. Dan ketika berpapasan dengan Rain, dia melihat ke arah Rain, sehingga terjadi kontak mata. Perempuan itu adalah perempuan yang Rain lihat empat bulan yang lalu
Disampaikannyalah perasaan Rain kepada Tuhanya didalam shalat malamnya.
“Ya Allah, kali ini aku tak sanggup menahan diri, tatapanya itu ya Allah, bergetar jiwaku saat itu, seolah jantungku berhenti berdetak, darah berhenti mengalir, dan nafaspun berhenti berhembus. Ya Allah, jika memang dia perempuan yang telah engkau siapkan untukku, dekatkanlah aku ya Allah.”
Benar saja, Rain didekatkan denganya, sehingga Rain mengetahui rumahnya.
Perempuan itu sangat berwibawa serta suci, oleh karena itu yang pertama Rain dekati adalah ibunya perempuan itu.
Cahaya kehidupan bersinar kembali, hati yang penuh dengan warna, yang dulu sempat redup, kini bersinar kembali.
“Ya Allah, sungguh indah ciptaanmu itu, aku terpesona melihatnya. Sekarang ini aku hanya berikhtiar, aku tak mau hal yang dulu terjadi kembali, oleh karena itu sekarang aku merubah caraku untuk meraihnya. Yaitu pertama aku berdo’a kepadamu, lalu aku dekati orang tuanya, lalu aku bicarakan dengan orang tuaku, untuk hati perempuan itu, aku berserah diri kepadamu ya Allah, karena engkau sang penguasa hati.”
Ketika Rain sudah dekat dengan ibunya perempuan itu, dan orang tua Rain telah menyetujui Rain denganya. maka Rain menanyakan kepada ibunya perempuan itu
“Bu maaf, kalau putri ibu yang suka baca buku didepan rumah, udah menikah belum?.”
“Ohh Ainun, belum A, Ainun belum menikah.”
“Kalau calon udah ada belum bu?.”
“Udah A.”
Saat itu, Rain tersenyum bahagia, bahkan sangat bahagia. Rain berkata dalam hatinya
“Ya Allah, perempuan seperti apa yang telah engkau siapakan untukku, Ainun itu sudah begitu indah bagiku. Apakah ada yang lebih indah darinya. Jika memang bukan Ainun jodohku, maka aku yakin bahwa jodohku lebih indah dari Ainun. ya Allah, kejutan apa yang akan kau berikan kepadaku?.”
Rain mempunyai teman yang begitu akrab denganya, dia bernama Pak Shaleh. Dan air mata Rain jatuh kembali, air mata kehilangan, ketika Rain mendapatkan kabar jikalau teman dekatnya itu telah kembali pulang kepada Allah SWT.
Satu minggu kemudian istri pak Shaleh menghubungi Rain menggunakan Whatsapp
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaraakatuh, A maaf saya udah berani-beraninya menghubungi AA, saya dapat nomor AA dari HP Almarhum, maksud saya menghubungi AA yaitu mau menawarkan baju bekas Almarhum, saya harap baju ini bisa tetap bermanfaat, oleh karena itu saya bagi-bagikan kepada teman-teman dekatnya Almarhum. Tapi maaf jikalau bajunya hanya baju bekas. Barangkali AA bisa menerimanya.”
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh, oh iya gak apa-apa, Masyaa Allah, sebelumnya terimakasih bu, bagi saya bukan antara baru dan bekasnya baju itu dilihat, melainkan dilihat dari orang yang dulu memakainya, walaupun baju itu bekas tapi itu lebih baik dan lebih berarti dari baju baru yang dibeli ditoko. Oleh karena itu saya akan memakainya dengan senang hati.”
“Alhamdulillah, kalau AA mau menerimanya, nanti AA bisa ambil bajunya kerumah Almarhum yah.”
“Iya bu, nanti saya ambil kesana.”
Diambilnyalah baju itu dan baju itu sering dipakai Rain kemasjid, karena Rain diberikan baju gamis yang sering dipakai Pak Shaleh ke masjid.
Empat bulan kemudian Pak Shaleh hadir kedalam mimpi Rain, didalam mimpi Rain sedang bersenda gurau dengan Pak Shaleh di taman yang begitu indah, diakhir mimpinya Pak Shaleh berkata
“A Rain… Saya titip bu Khadijahyah.” dikatakannya sambil tersenyum.
Rain yang terbangun dari mimpinya langsung berfikir dengan keras, apakah arti dari mimpi tersebut.
***
Setelah satu bulan Rain berfikir, diapun mengambil keputusan untuk menyampaikan mimpinya kepada bu Khadijah.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaraakatuh, Bu sebelumnya saya minta maaf udah berani menghubungi ibu. Ada yang ingin saya sampaikan tentang Pak Shaleh, jikalau satu bulan yang lalu beliau hadir kedalam mimpi saya, dan diakhir mimpi itu beliau berkata menitipkan ibu kepada saya. bagaimana menurut ibu?.”
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabaraakatuh, Masyaa Allah, AA hadir kedalam mimpi A Rain, sedangkan saya sendiri selama ini belum memimpikan AA, mungkin itu karena saya banyak dosa kepada AA, jadi AA marah kepada saya.”
“Beliau bisa hadir kedalam mimpi saya itu karena Allah mengizinkanya, dan saya yakin beliaupun ingin hadir kedalam mimpi ibu, tapi Allah belum mengizinkannya. Selama saya kenal beliau, beliau orangnya pemaaf, maka sebagai suami yang shaleh, beliau pasti selalu memaafkan ibu saat itu juga, saat ibu melakukan kesalahan kepadanya, karena ridho suami itu penentu untuk mendapatkan ridho Allah, dan beliau ingin ibu diridhoi Allah, jadi beliau pasti selalu meridhoi ibu.”
“Masyaa Allah, A Rain benar. Karena dosa saya kepada Allah, sehingga Allah tidak mengizinkan saya bertemu Almarhum didalam mimpi.”
“Mungkin lebih tepatnya Allah belum mengizinkan, karena sesuatu akan Allah berikan pada waktu yang tepat.”
“Iya A.. makasih atas pemaparanya.”
“Iya bu, sama-sama. Maaf bu jadi tentang mimpi saya itu bagaimana?.”
“Maaf A, saya belum bisa jawab, saya mau shalat istikharah dulu, saya ingin Allah yang menjawabnya.”
“Baik bu kalau begitu.”
Setelah bu Khadijah shalat istikharah, dia bermimpi tiga kali berturut-turut dengan mimpi yang berkaitan satusamalain.
Dia bermimpi jikalau dia sedang berbincang-bincang dengan Almarhum, dan ada Rain yang sedang melihatnya sedang berbincang, diakhir mimpi itu Almarhum memeluk bu Khadijah dengan erat, dan melepaskanya secara perlahan.
Keesokanharinya dia bermimpi sedang berbincang-bincang dengan Rain dan ada Almarhum yang sedang melihatnya berbincang.
Lalu keesokanharinya dia bermimpi kalau dia berkeluarga dengan Rain, dan ada almarhum bapaknya yang melihatnya di depan pintu rumah, melihat sambil tersenyum kepada anaknya.”
Saat itu Rain juga mendapatkan mimpi yang sama seperti bu Khadijah. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk mengikhtiarkan mimpi itu dengan hidup bersama.
Bertemulah mereka di rumah makan Yehoka, Khadijah yang ditemani Anisa (sahabat perempuanya), dan Rain di temani pak Arif pemilik rumah makan Yehoka.
Duduklah mereka berhadap-hadapan.
“Jadi didalam konsep yang sudah saya susun ini, ada tujuan dan cara meraih tujuan itu.” kata Rain kepada bu Khadijah.
“Wahh hebat ini, anak muda sudah mempunyai konsep keluarga, pemuda idaman.” kata pak Arif sambil tersenyum.
Bu Khadijah hanya diam dan tersenyum menunggu Rain memaparkan konsepnya.
“Tujuan saya menikah yaitu untuk meraih ridho Allah, dan caranya yaitu dengan menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah didalamnya. Tugas utama suami adalah menuntun istrinya, dan tugas utama istri adalah menta’ati suaminya. Saya ingin membangun rumah tangga seperti Rasulullah SAW. oleh karena itu disetiap perbuatan yang dilakukan nanti ketika berumah tangga standarnya Rasulallah SAW. jadi seperti apa Rasul memperlakukan istrinya, maka aku akan melakukanya, dan seperti apa istrinya memperlakukan Rasul, ibu harus berusaha melakukanya. Manusia tidak luput dari kesalahan, apalagi Saya hanya manusia biasa. Oleh karena itu kita harus ingat dan genggam, bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah, jadi ketika istri atau suami melakukan kesalahan, maka kembalikanlah kepada Allah, memang benar suami atau istri yang melakukanya tapi harus kita ingat bahwa itu kehendak Allah, dan Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hambanya. Sehingga apapun itu, sepahit apapun, tidak akan melunturkan kasih sayang.” Rain mengatakanya dengan gagah.
Pak Arif yang berada disampingnya kagum kepada Rain, begitupun bu khadijah dan bu Anisa.
“Jadi apakah ibu bersedia menerima Islam secara keseluruhan?.”
“Insyaa Allah, saya bisa menerimanya.” ucap bu Khadijah sambil menundukan kepalanya.
“Baik kalau begitu, apakah ibu bersedia dipoligami?.”
Suasana yang tadinya begitu hangat, dihiasi dengan senyuman, berubah menjadi mencekam saat Rain menanyakan itu kepada bu Khadijah.
Pak Arif menatap Rain dengan begitu tajam, bu Khadijah mengangkat kepalanya dan melihat kepada Rain, terlihat wajahnya yang terkejut, Sahabatnya terlihat menahan emosi marah kepada Rain.
Hening situasi saat itu, keheningan dengan cekamman, dan bu Khadijah mengangkat kepalanya lalu menatap Rain dengan begitu tajam dia berkata
“Kenapa A Rain menanyakan hal itu?.”
“Karena saya hanya akan menikah dengan perempuan yang menerima Islam secara keseluruhan, termasuk yang bersedia dipoligami.”
“Apakah nanti saya akan dipoligami?.”
“Sebenarnya saat nanti kita menikah, saat itu juga bu Khadijah akan dipoligami.”
Bu Khadijah, bu Anisa, dan pak Arif terlihat bingung karena tidak bisa menangkap maksud ucapan Rain itu.
setelah beberapa saat bu Khadijah bertanya kembali
“Saya tidak mengerti maksud A Rain, bisakah A Rain jelaskan maksudnya?.”
Saat itu juga Rain menjatuhkan air matanya, dan menundukan kepalanya. Dia mengambil nafas panjang dan mengeluarkan dengan perlahan lalu berkata
“Dulu saya mempunyai sahabat perempuan sejak kecil, hingga kita beranjak dewasa. Kita satu sekolahan saat SD dan ‘Aliyyah, sejak kecil saya mempunyai perasaan kepadanya, dan saat ‘Aliyyah kita mempunyai komitmen untuk menikah, kita tidak berpacaran, itu karena Chacha tidak mau berpacaran, tapi dia mau jikalau untuk menikah. Saat itu juga saya berjuang untuknya dari berjualan disekolah, hingga mempelajari ilmu tentang keluarga. Kebiasaan kita setiap pagi yaitu saling bertukar sarapan. Chacha memasak untuk saya dan saya memasak untuk Chacha.
Saat itu Chacha diberangkatkan ke Bogor untuk mengajar, saya hendak menjenguknya kesana, saya ingin membuat dia bahagia, membuktikan perasaan saya kepadanya. Tapi hal yang tak terduga menimpanya. Ketika saya sedang menunggunya disebrang jalan, dan ketika dia menyebrang jalan untuk menghampiri saya, dia tertabrak mobil, dan meninggal ditempat kejadian.
Begitu besar perasaan saya kepadanya. Saya menerima bahwa itu adalah kehendak Allah, dan karena saya yang menjadi jalanya atas kematian Chacha. Maka dia akan tetap hidup di jiwa saya.
Saya khawatir akan menyebut nama Chacha dengan tidak sengaja disaat tidur ataupun dalam aktivitas saya, ketika nanti saya berumah tangga. Oleh karena itu saya hanya akan menikah dengan perempuan yang rela dipoligami, karena saya tidak bisa memberikan hati saya sepenuhnya kepada istri saya kelak, karena didalamnya sudah ada Chacha. Saya pikir dengan konsep ini yang didalamnya poligami menjadi syaratnya itu akan meminimalisir masalah yang akan lahir ketika berkeluarga.”
Semuanya terdiam mendengar penjelasan Rain itu.
“Jadi bagaimana bu, apakah ikhtiar kita tentang mimpi itu akan diteruskan?.” tanya Rain kepada bu Khadijah.
“Saya berserah diri kepada Allah, jika memang itu yang Allah inginkan, dengan dihadirkanya mimpi-mimpi itu, maka saya bersedia menerima semuanya.”
Merekapun menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki.
Kebiasan Rain yaitu ketika dia hendak pergi dan pulang dari masjid, dan dari keperluan lainya, Rain selalu mencium kening istrinya. Dan kebiasaan Khadijah yaitu dia selalu tersenyum ketika Rain pergi, dan menyabutnya dengan hangat ketika Rain pulang.
Saat itu ada acara keluarga besar, ketika Adzan berkumandang, Rain berdiri dan Khadijah menghampirinya lalu Khadijah salam ke Rain dan di kecuplah kening Khadijah di hadapan semua orang. Dan ketika Rain pulang dari masjid, Khadijah yang sedang duduk, dia berdiri menghampiri Rain untuk salam dan dikecuplah keningnya oleh Rain.
***
Suatu malam saat anaknya telah tertidur, Rain meletakan kepalanya dipangkuan Khadijah.
“Duhai Khadijahku, engkau menerimaku disaat perempuan lain menolakku, walaupun aku sadari sebenarnya yang ditolak bukanlah aku, melainkan konsepku. Ketika perempuan lain langsung menyimpulkan dan memberi penilaian, engkau tak melakukanya sebelum engkau benar-benar memahami maksud ucapanku saat itu. Engkau begitu bijaksana. Duhai Khadijah taukah engkau? sebenarnya orang-orang yang mendengar konsepku, mereka berkata bahwa itu mustahil. Ucapan mereka itu bukanya menggoyahkanku, melainkan menguatkanku untuk membuktikanya. Dan benar saja, perempuan itu ada, perempuan yang bisa menerima konsepku ini, yaitu engkau khadijah kekasihku. Aku begitu beruntung bisa bersamamu.”
“Saat itu aku melihat dengan sepenuhnya engkau mencintai Allah dan Rasul-Nya. Cinta yang akupun ingin merasakanya. Sebenarnya aku yang beruntung berimamkan engkau, karena aku hanya perempuan biasa, aku bisa seperti ini, itu karenamu.”
“Duhai Khadijahku, aku tak tau harus berkata apa untuk menggambarkan keindahanmu.
Jika gunung, engkau lebih tinggi.
jika langit, engkau lebih luas.
Jika matahari, engkau lebih bersinar.
Jika rembulan, engkau lebih menentramkan jiwa.
Tak dapat aku samakan engkau dengan apapun. Engkau adalah ciptaan Allah paling terindah yang pernah aku lihat.”