MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh S. Prasetyo Utomo
Betapa senyap pesantren Abah Ajisukmo pada Jumat pagi di lereng gunung. Tidak seperti Jumat pagi sebelumnya, orang-orang duduk teratur di pendapa menunggu Abah Ajisukmo menyampaikan pengajian. Kali ini orang-orang yang berdatangan dari daerah-daerah yang jauh berdiri termangu kehilangan harapan di pelataran pesantren. Terdiam. Memandang jauh ke sebuah tempat di lereng gunung yang tak terjangkau. Ki Broto yang datang belakangan bersama Lik Kapir tersentak memandangi pelataran pesantren yang senyap. Ia berhadapan dengan orang-orang yang berpandangan hampa dan merasakan kekosongan, yang menjalar dalam wajah-wajah resah. Tamu-tamu, termasuk calon gubernur, yang biasa mendengar pengajian Abah Ajisukmo, kini berdiri terdiam, canggung.
Calon gubernur yang sudah datang sejak subuh dini hari, masih menunggu di pelataran pesantren, ingin bertemu Abah Ajisukmo. Ia bimbang, melihat orang-orang meninggalkan pesantren, hingga pelataran senyap. Calon gubernur itu menemui Ki Broto dan Lik Kapir. Ia tampak bimbang dan bertanya, “Kudengar Abah meninggalkan pesantren?”
“Kudengar juga begitu,” balas Ki Broto. “Kini Gus Sarwi menggantikan peran Abah Ajisukmo.”
Berpaling, menggeleng, calon gubernur itu menolak untuk bertemu Gus Sarwi. Ketika Gus Sarwi mulai duduk di pendapa, calon gubernur itu diam-diam menghindar, menjauh, dan bergegas pulang.
Ia mengajak sopirnya untuk pulang, menempuh perjalanan lebih dari tiga jam, menuju ke sebuah kota di pesisir utara. Menjelang dini hari tadi mereka berangkat dari rumah, dengan harapan bisa bertemu Abah Ajisukmo dan meminta restu untuk kemenangannya dalam pemilihan gubernur. Ia tak pernah bertemu Gus Sarwi sebelum ini. Ia meyakini hanya Abah Ajisukmo yang bisa merestui dan memiliki tuah doa.
Sebagaimana yang dilakukan Abah Ajisukmo, Gus Sarwi mulai membuka pengajian. Ia tidak masgul hanya berhadapan dengan dua orang belaka: Ki Broto dan Lik Kapir. Tak ada orang lain yang mendekati Gus Sarwi.
Gus Sarwi, putra sulung Abah Ajisukmo, duduk di kursi yang biasa ditempati ayahnya, dan membuka pengajian. Diam-diam dan pelan-pelan jamaah meninggalkan pesantren. Tak seorang pun yang bertahan dan menyimak pengajian Gus Sarwi. Ki Broto dan Lik Kapir memilih bertahan di pelataran pesantren, mendengarkan pengajian. Ki Broto terus bertanya-tanya dalam hati, ke mana Abah Ajisukmo meninggalkan pesantren?
Ketika pengajian usai, Ki Broto dan Lik Kapir menemui Gus Sarwi.
“Abah sakit?” tanya Ki Broto.
“Tidak.”
“Bepergian?”
“Tidak.”
“Lalu, ke mana?”
“Tidak tahu,” balas Gus Sarwi. “Abah meninggalkan pesantren begitu rupa, tanpa pesan apa pun. Tak seorang pun yang tahu. Beliau memang pernah berpamitan, akan meninggalkan pesantren.”
“Apa yang diinginkan Abah?”
Gus Sarwi duduk sendirian di pendapa rumah, bersila di karpet hijau sebagaimana kebiasaan Abah Ajisukmo menerima tamu. Tak seorang santri pun yang menghampirinya. Ki Broto dan Lik Kapir menemani duduk di pendapa rumah. Para pejabat dan pengusaha yang biasa memohon restu Abah Ajisukmo, sudah meninggalkan pesantren sejak pagi tadi. Mereka ini biasanya berdesakan duduk bersila sedekat mungkin dengan Abah Ajisukmo, meminta perlindungan dari masalah-masalah yang mereka hadapi.
Kali ini tak seorang pun duduk bersila menghadap Gus Sarwi.
***
Tengah Malam di pendapa padepokan, Ki Broto duduk bersila seorang diri, dengan setengah gelas kopi, dan rokok yang tiada putus dihisapnya. Sepasang matanya masih nyalang. Ia ingin segera beranjak tidur, sebelum hari berangkat pagi. Ia tak ingin bangun kesiangan. Padepokan sudah senyap, tanpa angin, dan kabut basah yang menggigilkan mengendap di pelataran. Sebuah mobil memasuki pelataran padepokan. Berhenti di depan pendapa.
Ki Broto tercengang ketika melihat yang turun dari mobil itu calon gubernur dan sopir pribadinya. Dari mana mereka semalam ini? Bukankah pagi tadi ia terburu-buru meninggalkan pesantren Abah Ajisukmo? Mengapa larut malam begini ia memasuki pelataran padepokan? Gugup. Wajahnya pucat.
Calon gubernur itu serupa orang tersihir tenung, dan belum sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri, “Saya tak bisa meninggalkan lereng gunung ini. Ke mana pun sopirku mengarahkan mobil, selalu kembali ke pesantren Abah Ajisukmo,” katanya. “Tampaknya kami tak bisa pulang, sebelum ketemu Gus Sarwi.”
“Sudah larut malam, menginaplah di padepokanku!” pinta Ki Broto. Ia memiliki kamar-kamar kosong yang terawat rapi di padepokannya, yang kadang digunakan menginap tamu-tamu dari luar kota.
“Antar saja aku ke pesantren!” pinta calon gubernur. “Semoga Gus Sarwi masih terjaga.”
Senyap kabut tengah malam, langit tanpa bulan, dan terus terdengar samar suara belalang kecek di atas dedaunan, tersembunyi dalam rimbun pepohonan. Ki Broto mengikuti calon gubernur ke pesantren Abah Ajisukmo yang tertutup kabut. Pintu gerbang pesantren tidak terkunci. Tinggal digeser dan terbuka. Mobil diparkir di pelataran pesantren yang luas, dan Ki Broto mengiringi calon gubernur, mengetuk pintu pendapa. Gus Sarwi seperti tidak tidur, masih terjaga, membuka pintu, menerima calon gubernur dan Ki Broto duduk di karpet hijau.
“Maafkan saya, yang telah menghindari Gus Sarwi pagi tadi,” kata calon gubernur itu.
“Ada apa datang tengah malam begini?” kata Gus Sarwi, tenang, rendah hati.
“Mohon Gus Sarwi berkenan merestui dan memberi doa agar saya menang dalam pemilihan gubernur,” kata calon gubernur dengan suara berat. Ia mengikis keraguan dengan suara hatinya sendiri.
“Baik. Akan saya doakan agar Gusti Allah menunjukkan jalan hidupmu,” kata Gus Sarwi, ringan, tenang. Kabut malam tersibak seketika. Langit terang. Belalang kecek berhenti mengerik. Calon gubernur itu terlihat tenang, dan penuh percaya diri seperti semula. Ia dengar kisah-kisah yang disampaikan Gus Sarwi, yang tak kalah meyakinkan sebagaimana kisah-kisah Abah Ajisukmo. Ia berpamitan menjelang dini hari. Sopirnya menemukan jalan pulang. Menurunkan Ki Broto di padepokan, dan meluncur menuruni lereng gunung. Sopir calon gubernur tersingkap tabir pandangnya, bisa gamblang melihat jalan yang berkelok-kelok turun menuju ke kota: jalan yang semula tak pernah dilihatnya.
***
Berjalan-jalan mengikuti langkah kaki, menjelang tengah malam Jumat, Ki Broto ingin memergoki celeng-celeng yang biasanya menyerbu ladang singkong dan jagung. Alangkah senyap. Tak seekor celeng pun yang berkelebat merusak batang-batang pohon singkong dan jagung. Ia menjenguk gubuk Lik Kapir, tukang kebunnya, dan melihat lelaki tua kerempeng itu tertidur pulas, meringkuk dalam sarung.
Begitu ia beranjak dari gubuk, tercengang, melihat sosok yang sangat dikenalnya, dengan pakaian orang kebanyakan, bersarung dan berpeci: Abah Ajisukmo. Tapi benarkah Abah Ajisukmo menemuinya dengan cara berpakaian orang kebanyakan, dalam gelap malam, setelah menghilang dari pesantren? Ki Broto mencium punggung tangan Abah Ajisukmo. Seketika Abah Ajisukmo menarik tangannya.
“Lebih nyaman bagi saya menjalani hidup sebagai orang kebanyakan yang leluasa mengembara di lereng gunung ini. Biar anak lelakiku yang mengurusi pesantren.“
“Abah tinggal di mana?”
“Masih di lereng gunung ini. Dan sesekali bisa menemuimu,” balas Abah Ajisukmo. “Orang-orang mengatakan saya moksa. Tidak. Saya tidak lagi tinggal di pesantren. Saya leluasa menjelajah lereng gunung ini malam-malam. Kau belum tidur?”
“Saya terbiasa tidur setelah lepas malam,” tukas Ki Broto. “Boleh saya menemani Abah?”
“Biarkan saya mengembara seorang diri,” balas Abah Ajisukmo. “Saya tinggalkan pesantren, takut bila mereka datang padaku untuk urusan duniawi.”
Meninggalkan Ki Broto seorang diri di ladang, Abah Ajisukmo meneruskan pengembaraan tengah malam. Serupa mimpi, Abah Ajisukmo melangkah menjauhi Ki Broto, tenang dan ringan. Ki Broto tak mungkin mengikuti langkah-langkah kaki Abah Ajisukmo, seperti mengambang di atas rerumputan. Kehilangan Abah Ajisukmo, dada Ki Broto dijalari perasaan suwung.
Dalam hati Ki Broto kini terasa rindu untuk kembali berguru pada Abah Ajisukmo. Tapi di mana Abah Ajisukmo bisa ditemui? Kapan lagi Abah Ajisukmo berkenan menemuinya? Berjalan-jalan mengelilingi ladang, langkah Ki Broto mencapai pesantren Abah Ajisukmo. Sepagi ini pesantren ramai didatangi orang-orang dari daerah-daerah yang jauh. Kabar mengenai calon gubernur yang benar-benar terpilih, menjadi daya tarik orang-orang dari berbagai daerah yang jauh untuk berguru pada Gus Sarwi.
Langkah kaki Ki Broto, tanpa disadarinya, mencapai pelataran pesantren yang mulai didatangi orang-orang dari daerah-daerah yang jauh. Mereka terus bermunculan. Lebih ramai dari pengajian Abah Ajisukmo. Dalam percakapan-percakapan lirih, orang-orang itu menginginkan dinaungi doa Gus Sarwi untuk memperoleh kedudukan, jabatan, kemuliaan, jodoh, dan kesembuhan penyakit. Mereka ingin mengikuti jejak keberhasilan gubernur. Kian sesak pelataran pesantren dipenuhi orang-orang berdatangan, yang bergairah mencari peruntungan.
Menjelang dini hari itu Ki Broto duduk di antara tamu-tamu Gus Sarwi yang menanti pengajian, dan memperoleh doa kiai muda itu. Kabut terus tersibak, azan subuh dikumandangkan menyusup sampai lereng gunung. Orang-orang bergegas ke masjid, berebut posisi berdiri paling depan, di belakang Gus Sarwi yang berdiri tenang di mihrab, sebagai imam. Ki Broto kian merindukan Abah Ajisukmo, yang selalu menaungi hatinya dalam ketenteraman. Ia teringat Abah Ajisukmo yang melakukan perjalanan malam, seorang diri, di antara kabut dan iringan suara belalang kecek. Ia baru saja bertemu Abah Ajisukmo yang melakukan pengembaraan sunyi.
***
Pandana Merdeka, September 2021
Biodata Penulis
Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.
Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang terbaru adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).