MADRASAHDIGITAL.CO Oleh: Zaidan Hakim (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
“Tentu saja mereka yang di atas akan selalu menginginkan apa yang mereka butuhkan. Ciptakan banyak pahlawan dan ciptakan banyak kuburan di belakang rumah mereka,” tanggapnya tiba-tiba dengan tertawa.“
Siang semakin menyengat panas. Banyak orang membawa tas beragam bentuk, atau bahkan terang-terangan menunjukkan senjata-senjata unik mereka dengan bangga. Dari pisau, pedang, tameng, bahkan beragam model senapan api sekaligus, setiap dari mereka memiliki ciri khas masing-masing yang tersembunyi. Tiap keunikan mereka bersinergi dengan kemampuan anugerah yang berbeda-beda.
Sementara yang lain sangat antusias dan semangat, Reviera seorang gadis yang membawa tas gitar mulai pesimis. Melihat senjata-senjata oranglain membuatnya berkecil hati, di mana ia sendiri sebenarnya tidak banyak memikirkan dalam senjatanya. Kemudian Davira juga‒ gadis yang menyelamatkannya sebelumnya, ikut banyak menanyakan bagaimana niat Reviera untuk menjadi huntress. Bahkan hujatannya masih terngiang-ngiang, “Kamu mau ngusir grimm dengan mengamen?”
Davira sangat menikmati pemandangan orang-orang yang menunjukkan senjatanya berbeda-beda. Ia tersenyum lebar, ingin sekali mengobrol dengan mereka. Dengan senjata uniknya yang tergolong senjata besar, membuatnya bangga untuk mengobrol dengan oranglain. Sayangnya ia harus menahan keinginannya untuk membuat Reviera merasa lebih tenang. Muncul lagi rasa kesalnya dengan temannya yang redup antusiasnya. “Semangatlah, Reviera,” suruhnya menepuk pundak Davira. “Kamu nanti juga sama kerennya sama mereka.”
“Kau masih belum menjawab berapa umurmu,” tanya Reviera
Davira tambah kesal. “Kepo banget sih sama umurku, emang biar apa? Dari tadi nanyain terus,” ungkapnya.
“Aku nggak percaya kamu lebih tua dariku.”
“Udah kubilang emangnya kenapa kalo aku lebih muda?”
Reviera menoleh ke temannya. Temannya pun menoleh balik kepadanya. Reviera menghela nafas, sebenarnya ia memang sedikit cemburu dengan Davira yang lebih muda bisa menyelamatkannya. Ia sendiri tidak begitu paham mengapa ia cemburu, seharusnya ia senang diselamatkan olehnya. Apakah memang karena ia kalah oleh yang lebih muda? Namun bila ia ingat-ingat, temannya mengakui memiliki pengalaman bertarung bahkan lebih dari seorang pencopet.
Cetak, Davira memantik membunyikan dua jarinya, mencoba. “Kenapa tiba-tiba melamun?” tanyanya mengamati tatapan kosong temannya. “Harusnya kita tambah semangat udah sampai sini,” ungkapnya mencoba memantik semangat temannya kembali. “Bukankah ini adalah pijakan pertama kita menjadi huntress? Seorang pahlawan?” tanyanya tersenyum.
“Gimana kamu punya pengalaman bertarung yang banyak?” tanya Reviera.
“Oh, tentang itu. Itu karena aku banyak mencuri,” ungkap Davira tangannya di pinggang.
Reviera sedikit terkejut dengan pengakuan Davira. “Kenapa kamu banyak mencuri?” tanyanya lagi.
“Karena tuanku nggak ngasih makan yang banyak.” Davira mulai melangkah menuju gedung kampus dengan santai. “Hampir tiap malem juga kadang nggak bisa tahan sama makanan-makanan di pasar. Nggak jarang juga aku ketangkep basah sama dihajar.”
Reviera semakin merasa kasihan, namun juga penasaran. “Dari mana asalmu? Apa kau juga dari Hawen?” tanyanya, nadanya semakin kecil karena merasa tidak enak.
Davira berhenti berjalan dan menoleh ke temannya di belakang. “Aku dari Temuri, daerah timur,” jawabnya dengan nada yang datar.
Reviera teringat cerita tentang Kota Temuri. Pamannya pernah bercerita bagaimana kota yang padat populasi itu sangat berbahaya. Tidak hanya merajalelanya pencurian, melainkan juga banyaknya perbudakan. Dengan pemandangan indah Danau Vilui dari tebing, banyak para bangsawan yang sering berlibur di sana. Beberapa bangsawan terdahulu yang menetap di Temuri, membangun dinastinya untuk menguasai wilayah Temuri. “Apakah Temuri … masih menjadi tempat … tidak, apakah kau adalah seorang budak dari Temuri?” tanya Reviera, segan dengan pertanyaannya sendiri.
“Sejak lahir aku sudah menjadi budak. Aku bahkan nggak pernah tahu orang tuaku sendiri,” ungkap Davira dengan santainya, tidak mengetahui telah menembak hati temannya dengan perasaan kasihan. “Tapi kalo aku tahu tentang orang tuaku juga emangnya kenapa?” tanyanya kembali melanjutkan langkahnya, tidak membutuhkan tanggapan apapun.
Reviera berjalan mengejarnya. Secara spontan ia merangkul Davira, membuat temannya sekilas kaku terkejut. “Aku juga tidak tahu banyak tentang orang tuaku, mereka meninggal 10 tahun yang lalu,” ungkapnya berniat untuk membuat Davira merasa lebih baik.
Davira sedikit tertawa, “Terus kenapa kalo gitu?” tanya menoleh Reviera.
“Kita sama-sama kesepian, kamu juga kesepiankan?” tanya balik Reviera, menatap mata temannya.
Davira tertawa lebih keras, “Nggak juga, sih. Tapi mungkin gara-gara nggak pernah punya temen makanya nggak bisa bedain antara kesepian atau enggak.”
“Aku punya paman yang terus nemenin aku. Dia pendiam, sih, tapi aku yakin dia sangat peduli denganku.”
Percakapan mereka berhenti sesaat tiang speaker di halaman berbunyi. Semua murid baru diharapkan untuk segera ke aula utama kampus. Seorang rektor telah tiba untuk menyampaikan sambutannya sekaligus menjelaskan tes pertama yang akan menentukan tim setiap murid. Tim yang terbentuk adalah untuk proses pembelajaran akademik hingga kelulusan, bahkan diharapkan untuk dilanjutkan ketika sudah menjadi huntsmen dan huntress sebagai profesi. Pesan terakhir diucapkan, setelah tes pertama, kehidupan para murid akan berubah sepenuhnya untuk menjadi huntsmen dan huntress yang bertanggung jawab untuk melindung umat manusia dari grimm.
Pesan terakhir membuat Davira dan Reviera lebih bersemangat tentang perjalanan mereka menjadi huntress. Davira semakin mantap akan motivasinya untuk membawa perlindungan serta keadilan dalam perlindungan setiap orang di Hawen. Reviera, meski perjalanannya untuk menjadi huntress masih sangat panjang, namun menjadi huntress yang dipercayakan untuk umat manusia adalah sebuah kehormatan terbesar baginya. Melindungi manusia dari grimm, mengembalikan ingatannya bagaimana ia kehilangan kedua orang tua dan masa kecilnya.
Berbeda dengan kedua gadis tersebut, seorang perempuan lainnya meremehkan pesan terakhir dari speaker. Ia sedikit tertawa akan bagaimana mereka para murid diharuskan untuk membantu umat manusia dari serangan grimm seolah seperti babu. Mengetahui adanya ratusan pendaftar baru, ia yakin hanya belasan saja yang akan lulus bahkan bertahan hidup. Bahkan huntsmen dan huntress kini dipandang remeh dengan adanya evolusi grimm yang lebih pesat. “Tentu saja mereka yang di atas akan selalu menginginkan apa yang mereka butuhkan. Ciptakan banyak pahlawan dan ciptakan banyak kuburan di belakang rumah mereka,” tanggapnya tiba-tiba dengan tertawa.
Reviera dan Davira tidak sengaja mendengar pernyataan perempuan itu. Mereka berpaling menoleh bersamaan, menemukan seorang perempuan yang menggunakan jubah hitam dengan rambut pendek bergelombang dengan warna oranye pucat yang diikat dua sisi. “Apa maksudmu tentang itu?” tanya Davira mengangkat sebelah alis menatap perempuan itu.
“Oh, andai kau tahu betapa menyedihnya nasib kalian menginjakkan sekolah ini, Davira” ungkapnya tersenyum sinis ke Davira.
Reviera maju selangkah, sedikit tidak terima dengan perempuan itu. “Kita tidak tahu, jadi ceritakan,” suruhnya dengan nada lebih tinggi.
“Aku tahu apa yang dia maksud, Reviera,” ungkap Davira tersenyum ke perempuan itu sembari menahan temannya untuk kembali mundur. “Aku tahu betul apa yang kau maksud. Namun selama kita ingat dengan motivasi kita, kita tidak akan terjerumus ke dalam dunia itu,” balasnya menanggapi ungkapan perempuan itu.
Perempuan itu tersenyum lebar ke Davira. Davira pun membalasnya dengan senyuman berseri. “Kau tidak tahu apa yang kukatakan,” ungkap perempuan itu.
“Oh, itu hanya akan menjadi spoiler jika langsung kukatakan sebagai bukti. Yang aku tidak tahu adalah namamu, putri depresi,” balas Davira masih menjaga senyumnya.
“Namaku adalah Bloom. Kami adalah BLCC, dan mengungkapkan siapa kami hanya akan mengacaukan keseruan perjalanan ini, bukan begitu, Davira?”
Davira mengayunkan senjatanya secara tiba-tiba. Perempuan itu‒ Bloom secara gesit mengeluarkan sebuah pecut panjang dari balik jubahnya dan membelokkan arah ayunan musuhnya. Bloom segera memecut ke arah Davira namun lawannya menghindarinya dengan mudah. Keduanya kembali terdiam, saling menatap satu sama lain dengan mata yang sama-sama bersemangat serta senyum antusias mereka. “Mereka sama-sama orang gila!” ungkap dalam hati Reviera hanya bisa menyaksikan mereka yang menarik semua perhatian orang.
Semua orang melihat aksi mereka berdua bahkan pihak kampus sekaligus. Speaker mulai bersuara kembali untuk menyuruh mereka berdua supaya tidak membuat keributan segera mendatangi aula utama kampus. Setelah beberapa waktu hanya diam saja, orang-orang mulai menghiraukan mereka berdua dan berjalan ke aula kampus.
Bloom menatap mata Davira dengan intensif. Ia menyadari sesuatu yang berbahaya darinya. “Kita bisa menjadi teman yang baik, Davira,” ungkapnya masih tersenyum, memasukkan kembali pecutnya. Davira juga menggeletakkan kembali labu senjatanya ke tanah, mengakhiri pertarungan mereka. “Mengapa begitu? Kau menyeganiku?” tanya Davira sama-sama masih tersenyum.
“Untuk apa juga kita bermusuhan, kan?” tanya Bloom kembali. Ia berjalan mendekati lawannya, berpapasan dengan Davira menghadap ke arah yang berlawanan. “Kita bisa membantu mengeluarkan semua orang dari nasib malang mereka,” pesannya sebelum lanjut berjalanan meninggalkan Davira.
Bloom juga berpapasan dengan Reviera. Ia hanya menatap Reviera dengan tersenyum sinis, meremehkan Reviera sebagaimana ia tidak bisa bertarung sama sekali. Tiga orang yang sama-sama berjubah hitam mengikuti Bloom. Di antara mereka adalah seorang pria yang tinggi berambut hitam pendek dengan tatapan tajam, di belakangnya adalah dua orang gadis kembar bermata krem dan ungu yang berbeda, keduanya setinggi Davira jika tidak lebih pendek, keduanya tersenyum menghiraukan Reviera.
Reviera pun sedikit menyegani mereka, meskipun ia juga berpikir mereka berempat adalah orang gila. Namun mengetahui mereka adalah sebuah tim tanpa sebelum tes penentuan tim, ia langsung menoleh ke Davira. Temannya sedikit heran melihat Reviera tiba-tiba menoleh kepadanya. “Ada apa?”
“Bisakah kita di tim yang sama?” mintanya dengan berharap besar.
Davira berjalan mendekati Reviera dan menepuk kepala temannya, seolah Reviera adalah anak kecil. “Tentu saja, kamu bisa mati kalo ngamen ke grimm daripada membunuhnya,” ucapnya tersenyum.
Editor: Ramadhanur Putra