MADRASAHGDIGITAL.CO,- oleh Risen Dhawuh Abdullah
Tribhuwana meringkuk di pojok ruang tamu. Matanya yang selalu membulat bila melihat seseorang di rumah membawa piring kecil, kini meredup. Wajahnya yang menggemaskan juga tampak layu. Kuletakkan piring yang kubawa berisi nasi yang dicampur dengan potongan ikan, ke meja. Kudekati hewan lucu itu, kugendong dengan penuh hati-hati. Tribhuwana hanya diam, menoleh pun tidak. Rupanya Tribhuwana sadar, kalau ada sesuatu yang berubah. Dan ia seakan belum bisa menerima keadaan itu.
Ayah memang sengaja memberinya nama Tribhuwana. Barangkali untuk ukuran kucing, nama itu terlampau berlebihan, atau bahkan sama sekali tidak pantas. Ayah seorang pengagum raja Majapahit yang ketiga. Tribhuwana Tunggadewi. Raja yang memerintah dari tahun 1328 hingga 1350 Masehi itu. Raja yang berperan besar dalam mengorbitkan nama Gajah Mada. Raja yang berhasil menundukkan Bali dan sisa-sisa wilayah Sriwijaya. Awalnya ayah menyertakan Tunggadewi dalam penamaannya. Namun, ia memutuskan menghilangkannya, sebab aku pernah memprotesnya. Aku menyarankan ayah untuk menggantinya dengan nama lain.
“Masa cuma kucing diberi nama Tribhuwana? Masa seekor kucing disamakan dengan raja?” tanyaku waktu berselisih dengan ayah.
Ayah akhirnya sedikit mengalah, walaupun hanya menghapus nama belakangnya. Tribhuwana pun tumbuh menjadi kucing yang cantik. Bulunya tampak bersih, cokelat bercampur putih. Saat ayah membawa piring berisi nasi dicampur dengan potongan ikan, Tribhuwana akan berisik, terkadang telingaku sampai gatal mendengarnya. Kucing itu sudah seperti anak ayah sendiri. Soal makanan, ayah benar-benar memanjakannya. Setiap aku pergi ke warung, ia selalu menitipkan kepadaku sejumlah uang untuk membeli ikan.
“Kucing kan bisa cari makan sendiri, mengapa Ayah repot-repot memberinya makan?” tanyaku suatu ketika.
“Kucing tidak seperti ayam. Kalau ayam, di mana-mana tersedia makanan. Kalau kucing, apa setiap saat ia bisa berjumpa dengan tulang ayam atau kepala ikan?”
“Masalahnya dia bukan hewan yang menghasilkan, seperti ayam. Apa yang kita peroleh dengan memelihara kucing?” Aku berusaha memojokkan ayah. Aku berharap, pertanyaanku ini dapat membuat ayah untuk berpikir ulang, melanjutkan memelihara Tribhuwana.
“Senang itu mahal harganya, anakku.” Sungguh, jawaban yang tidak kuduga! Aku tidak punya sanggahan untuk jawaban itu. “Sekalipun ia tidak menghasilkan apa-apa, ayah merasa tenteram dengan kehadiran Tribhuwana.”
Aku merenung. Apa yang dikatakan ayah cukup masuk akal. Sepeninggal ibu karena kanker, adanya Tribhuwana seakan menjadi malaikat penghibur bagi ayah. Ia selalu tampak bersinar selesai menunaikan kewajibannya; memberinya makan. Selesai menghabiskan makanan yang ayah sajikan, paling sering Tribhuwana mendekati ayah dan tidur melingkar begitu nyenyak, seakan baru saja menemukan kedamaian yang hakiki. Apalagi ayah terkadang mengelus-elus bulunya, membuat Tribhuana semakin lelap dalam tidurnya.
Orang-orang di rumah tidak ada yang tahu, siapa sejatinya pemilik Tribhuwana. Aku masih ingat benar, dua tahun yang lalu, kucing itu muncul di depan pintu, saat hujan begitu lebat. Tubuhnya tampak kecil kurus dan kotor. Aku tidak berusaha mengusirnya. Wajah kucing itu mengundang iba. Aku seperti melihat seorang pengemis yang kelaparan, meminta makan. Maka kuambilkan sepotong ayam jatahku. Kuberi ia beberapa suir ayam, kucing itu langsung menggasaknya. Secepat kilat, suiran-suiran ayam habis.
Hingga malam menggulung petang, hujan belum juga reda. Kucing itu rebahan di bawah kursi, aku masuk ke dalam. Mungkin ia menunggu hujan reda, pikirku. Pagi hari saat aku baru saja membuka pintu, kucing itu masih ada di teras rumah, meski hujan telah reda. Jalanan depan rumah nampak basah. Ayah keluar membawa tulang-tulang ayam. Rupanya ayah telah mengetahui akan adanya kucing. Seperti saat kuberi suiran ayam, kucing itu makan begitu lahap.
“Punya siapa ini? Kasihan sekali,” celetuk ayah.
“Dari kemarin di sini,” kataku.
Kucing itu tidak mau pergi, begitu makanan yang diberikan oleh ayah habis tak tersisa. Sambil lalu, ayah menanyakan kepada para tetangga, apakah merasa kehilangan kucing atau tidak. Selama ayah berupaya menemukan pemiliknya, ia terus memberinya makan. Hingga berhari-hari lamanya, tidak ada satu pun yang mengaku kehilangan kucing. Ayah memutuskan untuk memeliharanya. Ayah merawatnya dengan baik. Bulu-bulu kucing itu yang awalnya tampak dekil dan kotor, kini telah tampak bersih. Badannya juga menggemuk.
Karena ayah tidak menemukan pemiliknya, aku menduga kalau kucing itu dibuang oleh seseorang di suatu tempat, lalu kucing itu berjalan hingga saat hujan tiba, ia sampai di rumah. Hanya saja adanya Tribhuwana menimbulkan sedikit masalah. Ibu sering menggerutu. Ya, sebelum menggunakan sebuah piring yang dikhususkan untuk memberi makan kucing, ayah hanya menggunakan kertas ataupun tas plastik sebagai alas untuk mencampur nasi dan potongan ikan.
Biasanya ayah akan meletakkannya di bawah meja dapur atau di ruang makan. Ayah tidak pernah memberinya makan di luar rumah. Ibu sering menggerutu bahkan marah. Kakinya beberapa kali tidak sengaja menginjak bekas alas yang meninggalkan sisa makanan. Mau tidak mau ibu harus jinjit ke kamar mandi. Aku pun juga sering mengalaminya. Tidak jarang ayah menanggapi gerutuan ibu dengan berkata yang intinya, ibu kurang hati-hati. Termasuk juga kepadaku.
“Kalau di luar tidak akan seperti ini. Lama-lama aku buang kucingnya kalau ayah tidak sanggup memberi makan di luar.” Kepala ibu benar-benar meletup-letup.
“Kucing itu sudah terbiasa diberi makan di dalam,” ujar ayah sekenanya. Ibu jelas tidak bisa menerima alasan ayah yang terkesan dicari-cari itu.
Ayah tidak pernah berpindah keluar dalam memberi makan. Anehnya ibu juga tidak pernah membuang kucing yang telah menjadi kesayangan ayah itu, sebagaimana yang ia ujarkan. Mungkin semua itu karena ayah telah lebih bisa mempertanggungjawabkan tindakannya. Ayah selalu membersihkan sisa makanan yang ditinggalkan oleh kucing. Aku pun menjadi lebih berhati-hati dalam melangkah di dapur dan ruang makan. Aku mencoba mengambil sisi positifnya, ayah hanya ingin mengajarkan kepada kami—aku dan ibu—bagaimana harus bersikap hati-hati.
Tribhuwana telah bunting empat kali. Sayangnya semua anaknya mati, kecuali seekor kucing berwarna hitam dan putih yang lahir saat bunting pertama. Namun anaknya yang masih hidup itu, kami buang, sebab setelah berukuran cukup besar ia malah menyusu kepada induknya yang telah memiliki anak—akibatnya adik-adik kucing itu menjadi mati susunya diserobot. Lucu memang. Bisa dibayangkan, bagaimana seekor kucing yang sudah cukup dewasa, menyusu kepada ibunya.
Rutinitas itu terus ayah lakukan. Pagi sebelum berangkat bekerja dan sore sebagai obat penghilang rasa penat. Tidak ada satu pun hari-hari ayah, tanpa memberi makan kucing. Terkadang aku yang ikut memberi makan. Ibu tidak pernah lagi peduli dengan Tribhuwana—dan ibu tidak pernah berkomentar mengenai nama itu. Perlakuan ayah yang konsisten itu membuat Tribhuwana tidak pernah mencuri makanan di dapur. Ia bukanlah kucing yang nakal. Apabila ibu memasak, ia hanya duduk menunggui, seperti meminta jatah, tetapi ibu tidak pernah mengulurkan apapun. Sampai ibu tiada, Tribhuwana tidak pernah ibu pedulikan. Entah mengapa.
Tribhuwana kini sedang bunting untuk yang kelima kalinya. Kucing yang membuntinginya bukan kucing kampung. Aku tidak tahu namanya, yang jelas bulu kucing itu tampak lebih panjang dan badannya lebih besar dari Tribhuwana. Kucing itu milik tetangga.
“Semoga kali ini kamu beranak lima dan hidup semua, seperti kucing temanku,” ucapku. Jelas aku berharap demikian. Aku sudah membayangkan, kelak anak-anak yang dihasilkan berbulu lebat dan panjang sehingga terlihat lucu.
Tribhuwana hanya diam dalam gendongan. Ia kuletakkan kembali ke tempat asal. Aku mengambil piring, Tribhuwana menatapku, seolah menanyakan suatu hal. Kuletakkan piring di dekatnya. Ia tidak beranjak, bahkan mengendus pun tidak. Sungguh aneh. Aku tidak menyangka, Tribhuwana akan seperasa ini. Kuelus-elus bulunya. Matanya tidak merem melek. Mata itu tetap terjaga tanpa gairah. Makanan di piring tidak kunjung disentuhnya.
Melihatnya, aku menjadi terbawa perasaan. Hatiku dipayungi kesedihan. Suara-suara ayah bersitenggang dengan ibu gara-gara alas makan kucing terdengar. Wajah ayah yang ceria saat memberi makan. Pembicaraan ayah dengan kucing yang mengundang trenyuh, sepeninggal ibu. Tangan ayah yang bak tangan ibu membelai rambut anaknya, mengelus Tribhuwana. Semua itu sekarang tinggal kenangan. Tribhuwana dalam diamnya terus mempertanyakan di mana orang yang sering memberiku makan?
Air mataku menitik! Kini di rumah aku sendiri, hanya bersama Tribhuwana. Tiga hari yang lalu usai memakamkan ayah, aku berjanji akan merawat Tribhuwana sepenuh hati, serupa yang telah ayah lakukan padanya. Aku menganggap hal itu sebagai caraku mengenang ayah. Tetapi, saat ini, ingatan segala hal tentang ayah, mengoyak hatiku. Air mata menderas. Tidak kusangka ayah secepat ini meninggalkan dunia. Terlintas di pikiranku untuk membuang kucing yang lagi bunting itu. Apa yang sedang terjadi cukup membuatku berpikir, jika kehadirannya di rumah ini hanya akan mengalirkan air mata dari kedua mataku. Namun, apakah mungkin aku membuangnya?
Aku segera menggendong kembali Tribhuwana. Memeluknya erat-erat. Tentu saja aku tidak akan membuangnya. Aku ingin menepati janjiku dan akan terus mengenang ayah.
Jejak Imaji, 2021
Biodata Penulis
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Kontributor tetap di jejakpustaka.com. Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.