MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Mahan Jamil Hudani
Jack menatap dengan sangat heran dan ada rasa tak percaya akan sosok yang berada di depannya. Tak pernah terpikirkan olehnya jika penulis baru yang sedang naik daun dan sedang berbincang hangat serta akrab ini adalah sosok yang dulu memang begitu dekat dengannya bahkan pernah tinggal satu kontrakan bersamanya selama dua tahun. Selain gaya dan penampilannya yang telah berubah, lelaki di hadapannnya ini menggunakan nama pena.
Jack sendiri pernah membaca beberapa cerpen karya lelaki itu di surat kabar terkenal di negeri ini. Jack memang senang membaca sastra termasuk sastra koran Minggu yang kini mulai tergerus keberadaannya karena perubahan zaman hingga banyak koran telah gulung tikar. Dulu, sejak masih SMA, Jack sering membaca sastra Minggu di papan pemberitahuan atau majalah dinding di kantor desa atau alun-alun di kecamatannya. Jack juga dengan mudah bisa membaca koran di rumah tetangganya yang kebetulan langganan koran berbeda dengan koran yang dipasang di majalah dinding desa.
Kini Jack tak menyangka jika ia bisa membaca cerpen-cerpen penulis itu di koran yang sudah hampir tamat riwayatnya. Jack juga pernah membeli buku kumpulan cerpen penulis itu. Lelaki itu memang baru muncul beberapa tahun belakangan ini. Saat penulis itu menerbitkan buku novel pertamanya beberapa waktu lalu, Jack juga membelinya di toko buku terkenal di kotanya. Penulis yang kini tinggal di Ibukota tersebut sedang mengadakan road show di beberapa kota untuk mempromosikan dan membincang bukunya.
“Hai, Jack ‘Pondok Jambu’, ya?” Jack sangat terkejut bukan alang kepalang ketika penulis itu menyapanya terlebih dahulu dengan ramah sambil menyebut nama kontrakan tempat ia tinggal dulu semasa mahasiswa. Dan Jack lebih terkejut lagi ketika mengetahui siapa sosok penulis itu sebenarnya. Ya, memang tak salah lagi.
***
Setiap ingat temannya yang bernama Ma’ruf Sulistyo, Jack ingin selalu tertawa geli sekaligus nelangsa. Bagi Jack, Ma’ruf adalah teman yang lugu untuk tidak mengatakan bodoh. Ma’ruf sesungguhnya teman yang sangat cerdas secara akademik dan di atas kertas dengan daya hapal yang luar biasa. Ma’ruf rajin membaca dan sangat mahir berbicara teori-teori mutakhir dalam bidang ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, pendidikan, atau agama.
Literatur yang ia baca sungguh luar biasa. Jack sendiri sering menggeleng-gelengkan kepala takjub saat memasuki kamar Ma’ruf yang penuh dengan tumpukan buku. Tapi sayangnya buku-buku tersebut adalah bacaan-bacaan berat bagi Jack, ia hanya tertarik membaca karya sastra, itu pun jenis novel dan cerpen. Ma’ruf sangat sedikit bahkan hampir-hampir tak punya bacaan fiksi. Itulah kenapa teman akrab Jack semasa di kampus tersebut sering meraih prestasi akademik tertinggi pada setiap semester.
Ma’ruf akan berubah menjadi lugu atau bodoh saat dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari. Ia seperti tipikal orang yang baru keluar dari hutan yang tak kenal banyak hal dan kemudian hidup di kota yang memiliki begitu banyak karakter. Betapa mudah Ma’ruf menjadi objek ledekan atau yang lebih buruk dari itu, ia mudah dimanfaatkan, diperalat, atau ditipu oleh orang. Dari sisi penampilan saja, Ma’ruf telah terlihat sebagai orang culun atau lugu. Ia selalu berpenampilan rapi namun sungguh kurang enak dipandang. Jika orang melihatnya dan misal memiliki niat jahat, pastilah Ma’ruf akan menjadi mangsa yang empuk.
Jack mencatat peristiwa yang terjadi pada temannya itu dalam pikirannya. Cukup banyak bahkan hingga Jack tak ingat semua dan terlalu naif untuk diceritakan. Pernah suatu ketika misalnya, ada seorang asing datang ke kontrakan mereka untuk meminta tolong karena kehabisan uang untuk bekal pulang kampung. Maruf, dengan lugunya, mengeluarkan uang untuk diberikan pada orang tersebut sambil mendoakannya. Jack yang tahu belakangan peristiwa tersebut sangat menyayangkan sikap Ma’ruf.
“Siapa orang tersebut, temanmu kah?”
“Bukan. Seorang yang sedang kehabisan bekal.” Ma’ruf lalu bercerita pada Jack yang kemudian setelah mendengarkan cerita itu menepuk-nepuk dahinya. Di lain waktu, Ma’ruf menunjukkan pada Jack sebuah ponsel bekas. Katanya ada seseorang di bus kota yang menjual padanya untuk pengobatan istrinya yang sedang sakit.
“Lalu kau membeli ponsel tersebut dengan harga yang ia tawarkan?”
“Iya, aku tak tega. Semoga istri orang tersebut cepat sembuh ya, Jack.” Kali ini Jack menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih ada cukup banyak peristiwa yang Jack ketahui dan semua itu membuatnya ingin menahan geli juga iba. Juga tentang jam tangan emas yang Ma’ruf beli pada seseorang di jalan padahal jam itu palsu dan ia tak sedang merasa ditipu oleh orang tersebut.
Ini belum lagi ditambah cerita beberapa teman lain yang pernah mengalami kejadian menggelikan saat bersama Ma’ruf. Ma’ruf sungguh luar biasa di atas kertas dan di dalam kelas, namun di luar itu, dalam kehidupan nyata, ia sebaliknya. Jack akan lebih senang bertanya padanya tentang analisis kelas atau dekonstruksi Jacques Derrida pada Ma’ruf ketimbang bertanya kenapa Ma’ruf tak suka mencuci bajunya dengan pewangi atau tak ia bawa ke laundry. Jawabannya akan sangat panjang dan berbelit-belit dengan gaya yang sangat serius, padahal Jack hanya bertanya sekadarnya.
Pada saat tertentu, saat mereka sedang santai berdua, Jack juga sering berusaha memberi saran pada Ma’ruf secara pelan. Misal, agar Ma’ruf tidak terlalu percaya pada seorang asing atau kadang jangan mau mengerjakan tugas teman-teman kampus jika mereka meminta tolong padanya.
“Mereka sebenarnya malas saja mengerjakan tugas, jadi lebih baik kau ajari caranya, tapi bukan kau yang mengerjakan tugas mereka,” kata Jack. Ma’ruf diam saja dan terkadang hanya mendengarkan dengan kepala manggut-manggut. .
***
Jack memang hampir-hampir tak pernah bertemu orang yang memiliki karakter seperti Ma’ruf tersebut. Baginya karakter seperti itu mungkin hanya di novel atau cerpen yang sering ia baca. Ia dulu juga cukup sering memanfaatkan temannya tersebut. Jack sering meminta tolong Ma’ruf untuk membelikan makan di warung depan atau nasi goreng yang yang mangkal di pertigaan besar dengan jarak sekitar lima ratus meter jika ia sedang malas keluar kontrakan. Ma’ruf dengan lugu akan siap berangkat jalan kaki, membeli makanan untuk Jack. Ma’ruf juga bisa ia suruh untuk menyeterika satu atau dua potong pakaian milik Jack.
“Kebetulan kamu sedang menyeterika, minta tolong sekalian ya, Ruf.” Temannya itu tak pernah merasa keberatan. Tapi Jack juga cukup tahu diri, ia juga tak akan meminta Ma’ruf melakukan suatu hal yang berat. Bahkan Jack juga yang akan membela Ma’ruf jika ada beberapa teman lain sedang mengerjai Ma’ruf. Jack juga tentu akan marah jika ada orang lain berusaha memanfaatkan Ma’ruf.
***
“Sanggar dan panggung teater serta istri yang juga pemain teater telah membentukku.” Lelaki itu bercerita.
“Haha… sungguh ini juga serasa di panggung teater.” Jack tak kuasa melepas tawanya. Penulis dengan nama pena Mahendra Nusantara Perkasa yang sedang bersamanya kini ternyata adalah Ma’ruf Sulistyo yang hampir dua puluh tahun tak saling jumpa. Ma’ruf bercerita panjang lebar jika selesai kuliah ia melamar menjadi seorang guru akuntansi di suatu sekolah ternama di ibukota. Di sana ia berkenalan dengan seorang guru seni budaya yang juga seorang pemain teater. Perempuan yang kemudian menjadi pacar dan istrinya tersebut mengenalkan Ma’ruf akan banyak hal tentang kehidupan kota besar.
“Istriku selalu mengataiku si lugu atau bahkan si udik. Awalnya aku sering marah, namun ia bisa selalu mempertahankan pendapatnya saat kami berdebat. Perlahan aku belajar banyak hal darinya dan dari kehidupan ini. Bagaimanapun aku harus menyesuaikan diri dengannya.”
“Tapi sungguh kau hebat, Ruf. Kini telah menjadi penulis yang sedang naik daun.”
“Butuh proses dan perjuangan cukup lama, Jack. Kau tahu kan seperti apa aku dulu. Aku lebih senang pada hal-hal yang serius, teoretis, dan berbau akademik.”
“Maksudmu fiksi bukan hal yang akademik?”
“Bukan, bukan itu maksudku. Justru fiksi menawarkan banyak hal dan karakter yang kompleks. Sungguh itu ternyata justru sangat membuatku belajar keras. Benar-benar tak semudah yang kita bayangkan menulis fiksi yang berbobot. Maksudku, bisa jadi aku lebih mudah menulis makalah, jurnal atau bahkan buku penelitian.”
“Iya, aku setuju denganmu. Luar biasa. Kau telah banyak beubah, Ruf.”
“Itulah kehidupan Jack.”
“Haha…bagaimana, masih suka membeli ponsel di bus kota atau memberi uang pada orang yang kehabisan bekal?”
“Kau bisa membacanya pada cerpen-cerpenku selanjutnya, Jack.”
“Haha…Ya, aku juga telah banyak membaca karya-karyamu sebelumnya tanpa pernah tahu jika itu adalah dirimu.”
Mereka menertawakan satu sama lain dan sungguh Jack teringat pada kalimat-kalimat yang pernah ia baca pada suatu postingan di media sosial, “Jika kau tak pernah melakukan hal bodoh di masa muda, kau tak akan pernah memiliki bahan untuk tertawa di masa tua.” Sepertinya Ma’ruf temannya itu kini memiliki banyak cara dan cerita untuk tertawa.***
Biodata Penulis
Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO). Saat ini bergiat di komunitas Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS). Juga aktif di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel) sebagai ketua. Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), serta sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Medan Pos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Rakyat Sumbar, Rakyat Aceh, Rakyat Sultra, Kabar Priangan, Analisa, Majalah Semesta, Majalah Mutiara Banten, Majalah Kandaga, maarifnujateng.or.id, kareba.id, gadanama.my.id, lensasastra.id, magrib.id, iqra.id, himmahonline.id, detik.com, cendananews.com, labrak.co, Lampung News, Dinamika News, Cakra Bangsa, Radar Bromo, Radar Malang, dan Radar Mojokerto. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), dan Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019), dan Bidadari dalam Secangkir Kopi (2021)
Bukan, bukan itu maksudku. Justru fiksi menawarkan banyak hal dan karakter yang kompleks Sungguh itu ternyata justru sangat membuatku belajar keras.