MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Zaidan Hakim (Mahasiswa KPI UMY)
Reviera melihat seorang perempuan bergaun hitam dan abu cerah. Perempuan itu berdiri melihat Reviera yang terbaring. Ia menikmati hisapan rokoknya, kontras dengan Reviera yang kelelahan baru saja kabur ketakutan dari hutan. “Sebuah instrumen yang lucu darimu juga,” ungkapnya tiba-tiba.
Reviera tidak paham dengan ungkapannya, namun ia lekas menyadari sesuatu yang aneh dari perempuan itu. Ia mencoba untuk duduk dan melihat perempuan itu lebih baik. Dilihatnya sebuah biola putih yang dipeluk perempuan itu. Reviera terkejut terbelalak, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. “Apakah biola itu sejatamu?” tanyanya menatap mata ungu perempuan itu.
Perempuan itu mengangguk sedikit tersenyum. Sekali lagi menghisap rokoknya sebelum menjawab, “Senjata adalah penilaian yang sempit. West Melody adalah seorang teman manusia. Ia menemani tidak hanya untuk bernyanyi, tidak hanya untuk melindungi, keberadaannya adalah untuk memberikan warna kemanusiaan.”
Perempuan itu menjatuhkan rokoknya yang sudah habis, menginjaknya dengan sepatu hak tingginya. “Bersama musisi lain, perjalananku mungkin akan sedikit lebih … bisa dimaknai,” ungkapnya lagi, membuat Reviera sangat kebingungan. “Namun keberadaanmu tidak membuatku mentah-mentah tunduk dengan keinginan pengkhianat tua itu,” lanjutnya, nadanya mengekspresikan kekesalan yang tidak Reviera pahami.
“Grace Amaryllis adalah aku,” ucap perempuan itu, mengulurkan tangannya untuk Reviera yang masih duduk.
Reviera menangkap tangan Grace. Mereka berjabatan tangan, Reviera tak kunjung berdiri. “Kau … adalah gadis yang sehat,” ungkapnya tiba-tiba, lagi-lagi membingungkan Reviera. “Mungkin sedikit gunakan kekuatanmu yang tersisa?”
Reviera menyadari maksudnya, ia akhirnya menggunakan kakinya sendiri daripada ditarik berdiri oleh Grace.
***
Grace segera melepaskan Reviera, membuatanya kembali terjatuh. Ia menoleh ke arah hutan dengan cermat. Tatapannya menjadi serius dan cermat. Ia kembali membantu Reviera hingga berdiri dan mengajak temannya mundur menjauh dari hutan. “Apa yang ingin memakanmu disana?” tanyanya masih menancapkan perhatiannya ke hutan.
“Aku tidak tahu, aku pikir aku hanya ketakutan karena kegelapan. Tidak ada yang mengejarku dari hutan,” jelas Reviera, ketakutannya kembali muncul.
Grace memposisikan West Melody, biolanya dipundaknya. Empat ekor burung gagak muncul dari belakangnya. Keempatnya berwarna hitam pekat terlepas masih cerahnya siang hari, berterbangan mengitari jauh atas di atas kepala Grace. “Orang yang melahirkanku mewariskan anugerahnya padaku. Mereka tak pernah kuseret menghadapi bahaya, momen ini adalah peluangku untuk menghadapi permukaan perjalananku,” ungkap Grace, menaruh bow pada senar West Melody. “Katakan, gadis gitar, bagaimana kau bisa menghadapi bahaya?” tanyanya.
Reviera tersenyum canggung, ia sama sekali belum pernah bertarung. “Aku … tidak bisa,” jawabnya.
Grace menoleh ke Reviera. Tatapannya sedikit kecewa, menghela nafasnya. “Kita hanya bisa kabur.”
Suara semak-semak semakin keras. Grace dan Reviera segera mundur menjauh. Grace mempersiapkan dirinya untuk apa saja yang akan datang, sementara Reviera masih ketakutan. Setuju dengan Grace, momen ini adalah momen pertamanya menghadapi grimm, monster yang termanifestasi dari energi gelap, monster yang haus akan ketakutan manusia. “Jangan tundukkan dirimu pada apa yang mereka makan. Tegakkan kepalamu menghadapinya,” suruh Grace.
Sebuah pohon raksasa berwarna hitam keluar dari gelapnya hutan. Pohon itu merangkak dengan ketiga pasang kakinya, perlahan mendekati Grace dan Reviera. Grace mulai memainkan biolanya, memainkan nada rendah dengan note cepat. “Tunjukkan apa yang bisa kita lakukan, mari kita hadapi dunia baru ini bersama.” Kedua gagaknya terbang menukik mengejar grimm berbentuk pohon itu. Salah satunya menabrak grimm itu dengan kencang ia meledak, mengejutkan Grace dan menghentikan gagak lainnya untuk menghindar dari menabrak grimm itu. Atas tabrakan dan ledakan, grimm pohon itu tampak tidak terpengaruh apapun.
***
“Kita belum selesai!” Grace merubah permainan biolanya, tangan kirinya memainkan senarnya lebih dekat dengan West Melody. Kini ia memainkan nada tinggi dengan note yang masih sama cepatnya. Di tengah permainannya, senar West Melody menciptakan energi yang terbang. Semakin lama permainannya, energi tersebut semakin gemuk, hingga akhirnya terbang melesat ditembakkan ke grimm tersebut. Akhirnya energi tersebut memberikan sedikit pukulan, membuat grimm itu melangkah mundur.
Grace terus melanjutkan permainan biolanya, membuat beberapa tembakan energi dari permainannya. Grimm itu memang mendapatkan pukulan yang cukup kuat, namun tidak tampak bagaimana ia tersakiti. Seolah, energi-energi yang ditembak itu lebih mengganggu grimm itu daripada menyakitinya. Walau begitu, grimm itu berhenti sebelum akhirnya merubah arah merangkak. Grimm itu merangkak mundur dan kembali masuk ke hutan. Grace dan Reviera menghela nafas lega dengan kemunduran musuh mereka.
Grace menoleh ke temannya. “Jadi, kita berada di perahu yang sama? Tidak pernah menghadapi bahaya?” tanyanya memastikan.
Reviera mengangguk, “Aku juga tidak tahu cara bertarung dengan monster.”
“Lalu dengan siapa kau pernah?” tanyanya lagi, mengeluarkan sebatang rokok dari tas purse di pinggang.
“Sama orang-orang yang pernah mengancamku di warung makan. Lebih sebagai bela diri,” jelasnya.
“Kau bekerja di tempat makan? Atau aku salah memaknai?” tanya Grace memastikan sekali lagi.
Reviera mengangguk lagi, “Aku tinggal bersama pamanku dan membantunya mengurus tempat makannya.”
“Bagaimana dengan sekolah?” tanya Grace.
“Aku juga mau menanyakan hal yang sama denganmu. Aku sendiri tidak sekolah dan hanya mencoba-coba untuk daftar di Distrall Academy,” jawab Reviera, menatap gitarnya. “Dan mungkin … aku telah membuat kesalahan besar,” suaranya mengecil.
Grace melihat Reviera yang redup akan semangat dan antusiasnya. Berbeda dengan dirinya yang berusaha untuk memperjuangkan sekolahnya, temannya yang tidak memiliki pengalaman justru terjebak dalam kecemasan dan pasif terhadapnya. Ia menyalakan rokoknya dan mulai menghisapnya. “Mengapa kau memaknai perjalanan ini sebagai kesalahan?” tanyanya, menatap mata merah gelap temannya untuk membaca ekspresi yang paling jujur.
Reviera menggenggam gitarnya. “Karena aku … tidak tahu apa motivasiku sebenarnya masuk Distrall Academy. Aku tidak punya pengalaman. Hanya tujuan akhir yang kupikirkan, untuk menjadi huntress dan berhenti bergantung dengan paman,” jawab Reviera, suaranya lemah.
***
“Aku tidak tahu mana yang benar darimu,” tanggap Grace, meragukan temannya. Reviera kembali menoleh temannya, tidak paham dengan maksud temannya. Grace melanjutkan, “Antara termotivasi oleh semangat demi kemandirian, atau hanya mentah-mentah mendaftar tanpa pertimbangan yang dibawa?”
Reviera mendengarkan keraguan temannya dengan seksama. Keraguan temannya yang vokal itu lanjut menggema dalam kepalanya. Keraguan itu sebagai hal yang benar-benar harus ia pikirkan dalam-dalam, jika keinginannya untuk hidup mandiri itu sebuah niat terbesar atau hanya semata-mata keinginan saja.
“Bagiku, keputusan tidaklah terbatas hitam atau putih, salah atau benar,” ungkap Grace sedikit tersenyum, meringankan suasana di antara mereka berdua. “Mungkin alasanmu untuk mengambil keputusan itu masih belum terang. Namun bukan artinya hitam, sebuah kesalahan. Aku sendiri tidak meridhoi perjalanan ini, namun bukan artinya aku menyalahi perjalanan ini. Menghidupi perjalanan ini adalah apa yang kurasa harus dilakukan, entah untuk hal yang hitam atau putih bagiku. Namun, kemutlakan di antara keduanya adalah mustahil, kau tahu?” lanjutnya panjang lebar.
Grace meraih tangan temannya dan menariknya untuk berjalan bersama, “Mari kita temukan teman kita lainnya, menemukan hitam putih yang akan mewarnai perjalanan kita,” ajaknya.
Reviera hanya menerima ajakan tangan Grace. Sekali lagi, pemilihan kata-kata Grace yang aneh baginya berhasil menyentuh sesuatu dalam dirinya. Putih yang bisa mewarnai perjalanan sekolahnya, ia teringat oleh teman sebelumnya.
Reviera berhenti mengikuti langkah Grace. Ia mengatur speaker di pinggangnya, mengaturnya untuk suara terkeras. Ia menyuruh Grace yang sedikit kebingungan untuk berdiri di belakangnya. Tangan kirinya bersiap pada tengah-tengah leher gitar. “Seseorang telah berjanji padaku untuk menemani perjalananku,” ungkapnya. Ia berharap penuh permainan gitarnya bisa didengar oleh temannya yang berambut hijau, Davira. “Dan aku akan menagih janjinya, memanggilnya dengan permainan gitarku,” lanjutnya dengan penuh optimis.
Permainan gitar solonya dimulai. Suaranya sangat keras, bahkan berhasil mengusik kesunyian di lebat‒ terdalamnya hutan, bahkan menembusnya hingga ke seberang. Grace menutup kupingnya, kerasnya sangat mengganggu kupingnya, namun dibuat kagum oleh permainan solo temannya. Grace kini tumbuh rasa hormat dan menghargai temannya, sebagai sesama musisi. Suara gitar dari tengah-tengah hutan mungkin terdengar sangat aneh bagi murid-murid lain, namun Davira pasti segera menyadari apa artinya permainan gitar yang ia dengarkan.
***
Sementara jauh di seberang, Davira dan Nirmala kewalahan melawan grimm berbentuk banteng raksasa, tiga kali lipat dari kerbau yang gemuk. Nirmala nyaris tumbang, sudah diamankan untuk berbaring di atas pohon. Sementara Davira masih kuat untuk berdiri menghadapi musuhnya, namun tidak yakin jika ia bisa bertahan untuk menerima satu lagi. Ia masih belum memahami bagaimana ia harus menghindari serangan musuhnya namun karismanya sudah mencapai kritis. Kesalahan besar juga untuknya tidak memulihkan kemampuan mata silver-nya yang bisa memusnahkan semua grimm dalam sekejap, tidak makan berat sebelum tes. “Bajingan banget, kenapa aku harus ngelawan banteng sebrutal ini,” keluhnya dengan nafas yang berantakan.
Tiba lagi banteng itu berlari ke arahnya. Banteng itu menggunakan kemampuannya untuk membuat lima ilusi dirinya yang sama-sama berlari ke arah Davira. Karena kemampuan ini, Davira hanya memiliki taktik antara menyerang atau menghindar. Salah menebak, ia harus menguras banyak karismanya untuk menerima tumbukan seperti ditabrak truk dari lajur cepat, dan sudah enam kali ia merasakan tumbukannya, tiga kali gagal mendaratkan serangannya. Grimm ini jauh di luar dari kemampuan bertarungnya, Davira sendiri meyakini banyak huntsmen yang menyegani monster ini.
Kali ini, tiba ia mendengarkan alunan permainan gitar listrik. Cukup kecil untuk didengar, namun ia mengetahui betul arti suara ini. Tidak hanya mendengar dan mengetahui arti suara itu, alunannya juga serasa menemaninya. Ia kini lebih berani menghadapi musuhnya. Ia putuskan untuk menyerangnya, ia nekat untuk berlari ke banteng itu dengan mengayunkan senjata seperti palunya. Di ayunkan ke sisi kiri untuk selanjutnya dibalikkan ke arah kanan, mengisi momentum pada senjatanya. Berbeda dari sebelum-sebelumnya yang selalu ditabrak, ia melompat dan menaiki labu besi pada senjatanya, berdiri tegak bersama dengan tongkat gagangnya untuk berlindung.
Meski tidak mengenai kepalanya lurus tepat sasaran, Davira berhasil memberikan pukulan keras kepada banteng itu, mengenai pipi. Meski begitu, banteng itu tiba terjatuh akibat serangan musuhnya. Davira mendarat dengan kedua kakinya. Tidak hanya untuk mendarat, namun juga untuk melesat mengejar musuhnya. Ia segera menerjang banteng itu dan sekali lagi mengayunkan senjatanya dengan lompatan tinggi. Dari atas kepala, ia ayunkan dengan sangat kuat, mendaratkan serangan yang menghancurkan tubuh raksasa banteng itu. Cukup satu ayunan terkuatnya, grimm banteng itu tidak lagi bernyawa.
***
Davira ngos-ngosan, perjalanannya belum selesai. “Tunggu sebentar, Reviera … aku mau istirahat dulu …,” ucapnya, belum bergerak lagi sejak menancapakan senjata tumpulnya.
Birunya langit mulai dinodai oranyenya petang. Reviera dan Grace akhirnya menembus keluar dari hutan yang lebat dan gelap dengan bersama-sama. Reviera mulai khawatir akan Davira yang tidak akan datang kepadanya, atau mungkin telah menemukan orang lain untuk masuk dalam tim. Grace tidak bisa melakukan apa-apa untuk menenangkan temannya, sebelum akhirnya ia mencoba untuk memainkan West Melody, biolanya. Memang alunannya yang pelan dan lembut sedikit menenangkan kecemasannya, namun tetap saja tidak merubah apa-apa jika Davira tidak datang ke panggilannya.
Namun tibalah apa yang mereka harap-harapkan, Davira dan Nirmala muncul dari pohon seberang, saling merangkul satu sama lain. Mata Reviera berkaca-kaca, ia langsung bergegas untuk memeluk Davira. Ia ungkapkan betapa ia sangat ingin bertemu dengan temannya lagi, melalui perkataan dan eratnya pelukan. Temannya hanya mendengarkan Reviera, membalasnya dengan beberapa anggukan dan tersenyum senang.
Tak lama kemudian, datang sebuah tosa. Tosa itu dikendarai oleh orang yang berseragam putih-putih, sama dengan petugas di kapal sebelumnya. Keempatnya diajak untuk naik ke bak tosa, pulang ke kapal untuk kembali ke kampus. Di bak tosa, Davira duduk bersandar di samping Reviera. Dengan suara yang sangat kecil, yang hanya bisa didengar oleh teman di sampingnya, ia mengucapkan terimakasih, “Suara gitarmu tadi menyelamatkanku, lho,” lanjutnya dengan tersenyum, memejamkan matanya untuk beristirahat. Reviera tidak paham bagaimana ia menyelamatkan temannya karena yang ia yakini adalah sebaliknya. Ia membalas temannya dengan senyuman yang tidak dilihat.
Langit menjadi gelap tibanya matahari terbenam sepenuhnya, angin mulai menghembuskan dingin. Halaman kampus cukup sepi dengan lampu oranye yang remang-remang. Berbeda dengan dalam aula utama kampus yang bercahayakan putih dan kuning yang terang, aula kampus serasa meriah. Murid-murid akhirnya beristirahat dan berkumpul dengan timnya, saling mengenal satu sama lain dalam banyak hal. Tak hanya duduk-duduk saja untuk menunggu peresmian dari rektor, mereka disajikan makan malam yang sangat banyak dan terkesan mewah dengan pilihan menu beragam.
Davira tanpa rasa malu menghabiskan lima piring dengan mencoba semua lauk yang disajikan. Ia terlalu sibuk dengan makanan sementara Reviera, Nirmala dan Grace menikmati apa yang bisa mereka makan dan minum. Namun Grace terusik oleh Davira yang makan tanpa etika. “Bocah, bisakah kau senyapkan mulutmu ketika makan? Tutup bila per‒”
Davira menolehnya dan bersendawa, mengejutkan Grace.
***
Plakk
“Dimana sopan santunmu!?” tanya Grace dengan sangat kesal, menampar pipi Davira. “Apa kau ini, hewan ternak!? Makanlah seperti orang normal!” hujatnya.
“Cerewet, emang harus banget makan kayak orang normal? Namanya juga laper banget,” balas Davira.
Nirmala berbisik ke Reviera di sampingnya, “Kayaknya mereka bakal cepet akrab, ya?” tanyanya.
Reviera membalasnya dengan tersenyum, “Atau mereka akan jadi musuh bebuyutan.”
Kepala rektor, Professor Passmore menghampiri stand mic di panggung, tanpa adanya pengumuman apapun dari speaker. Beliau mengucapkan di depan mic, “Selamat atas tes pertama teman-teman sekalian. Namun mari untuk tidak terlalu larut dalam euphoria kecil, perjalanan untuk mengemban amanat paling mulia masih sangat jauh.” Semua murid segera diam dan menyadari keberadaan seseorang dengan kekuatan tertinggi. Tiba semuanya terdiam memperhatikan, Professor Passmore memberikan sambutan serta pesan dan amanahnya, mengisi aula dengan suasana penuh beban tanggung jawab.
Selesainya Professor Passmore memberikan sambutannya, Professor Adessia‒ seorang wakil rektor bergiliran untuk berbicara di depan mic, mengucapkan selamat serta membacakan setiap tim yang terbentuk malam ini. “… Hance, Rachel, Margarita, dan Milli, tim HRMM. Davira, Reviera, Grace, dan Nirmala, tim DRGN …,” ucapnya di tengah pengumumannya, bagian yang paling penting bagi keempat perempuan. Telah terlahir resmi, sebuah tim yang ekspresif di dalamnya, mereka yang bertemu dengan masing-masing latar belakang dan perbedaannya. (RDP)