MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh S. Prasetyo Utomo
Bersama Kerem dan para penari sema, lelaki pensiunan polisi itu melakukan gerakan memutar berlawanan arah jarum jam. Ia mengenakan jubah putih dan topi putih menjulang. Desir angin berpusar dalam kesenyapan zikir, iringan tabla, petikan baglama, dan tiupan flute. Tubuhnya terasa ringan, gesit, dan tangguh melayang seperti burung camar Selat Bosphorus meniti buih. Lelaki pensiunan polisi itu larut dalam tarian sema di Mevlana Cultural Centre.
Tiap kali menari sema, terlintas dalam benak lelaki pensiunan polisi saat bertugas, menghadapi Saad, pemuda imigran gelap asal Suriah. Saad pekerja toko roti di Ankara. Tiap sore polisi tua itu mampir ke toko roti, Saad selalu menyalami dan menyapanya dengan ramah. Malam itu terjadi pembakaran toko roti, setelah peristiwa perkelahian brutal antara imigran gelap dan penduduk kota. Lelaki tua yang bertugas sebagai polisi itu berada di antara teriakan-teriakan beringas manusia saling bantai. Kobaran api tak terkendali, memberangus toko roti dan pekerja di dalamnya. Ia menemukan Saad berlari mendekatinya, berlumur darah, Sebagian tubuhnya hangus terluka, meminta perlindungan. Tubuh pemuda imigran gelap itu diangkut ambulans dalam gelap malam yang berselubung kecemasan.
Wajah Saad – terutama sepasang matanya yang meradang – tak pernah bisa dilupakan lelaki tua pensiunan polisi. Ia menentukan pilihan meninggalkan Ankara. Ia membawa keluarganya pindah ke Konya, kota tempat kelahirannya. Menempati sebuah apartemen. Ia bekerja sebagai aparat keamanan di Mevlana Museum, selalu ziarah ke makam Rumi dan bertemu Kerem, lelaki tua bermata tajam, seorang penari sema. Ia sangat terkesan dengan sepasang mata tajam penari sema itu.
“Berhentilah mencemaskan masa lalu,” kata Kerem saat bertemu lelaki pensiunan polisi itu di Museum Mevlana, setelah suntuk berdoa di depan makam Rumi. Saat menjelang petang, museum tak lagi menerima kedatangan para peziarah, Kerem mengajari pensiunan polisi itu tari sema. Mula-mula tubuhnya canggung, kaku, kepala pusing, dan perut mual dalam beberapa putaran. Tetapi pemusatan batin telah memberikan kejernihan jiwa, ketenangan, dan rasa nikmat menari sema, tubuh tak berhenti berpusar, berkembanglah jubah putih yang dikenakannya. Desir angin seirama zikir.
***
“Lupakan kebencian,” kata Kerem sebelum menari sema bersama lelaki pensiunan polisi. Dalam tarian sema malam hari, seluruh sendi tubuh lelaki pensiunan polisi itu digerakkan zikir dalam hati. Ia belum mencapai pusat keheningan. Masih terlintas dalam ingatan wajah istrinya. Wajah perempuan yang menampakkan kecantikan, hidung mancung dengan sepasang mata kebiruan dan lengkung tebal hitam alis di atasnya. Ia mencoba melenyapkan bayang-bayang wajah istrinya saat murka sebelum meninggalkan apartemen.
“Aku tak bisa terus-menerus mengikutimu dengan hidup serupa ini,” kata istri lelaki pensiunan polisi. “Kau lebih sering ziarah ke makam Rumi, dan tak lagi menghiraukanku.”
“Lalu, kau mau meninggalkanku?”
“Tak ada jalan lain bagiku, kecuali meninggalkanmu,” kata istri. “Aku akan menetap di daerah sekitar reruntuhan kota tua Hierapolis. Ada ladang gandum di sana.”
Sepasang mata istri pensiunan polisi itu membayangi tarian sema di Mevlana Cultural Centre. Ia mencoba melenyapkan bayang-bayang wajah istrinya saat pagi hari awal musim panas meninggalkan apartemen, membawa kopor. Sepasang matanya berbinar memancarkan hamparan ladang gandum, alam berbukit serupa kapas, dan reruntuhan kota tua dengan air panas bening terus mengalir. Seorang lelaki setengah baya dalam mobil sedan membawa istrinya pergi, dan tak pernah kembali. Putri mereka, Akila, sempat mengajukan pertanyaan, “Kenapa Anne 1) meninggalkan kami?”
“Biar dia menemukan kebebasannya,” kata pensiunan polisi itu menenteramkan perasaan Akila.
Pensiunan polisi itu melenyapkan bayang-bayang wajah istrinya yang senantiasa melampiaskan kemarahan secara tak terduga. Ia melupakan rasa benci dan dendam ditinggal pergi istri. Kini ia hidup dengan Anka, anak lelaki, dan Akila, anak perempuan yang sudah waktunya meninggalkan orang tua.
***
Menari sema bersama Kerem menjadi bagian hidup pensiunan polisi itu yang paling menenteramkan. Ia merasa Kerem telah menariknya keluar dari rasa tak peduli terhadap Saad yang selalu bersikap ramah padanya, dengan sepasang mata yang tulus. Dalam pusaran tari sema itu, ia masih terus memikirkan wajah Saad. Hingga pada malam ketika langit masih silau cahaya matahari 2), di ruang pertunjukan Mevlana Cultural Centre, ia bersama beberapa penari sema bergerak memutar dalam zikir. Ia ingin sekali melenyapkan bayang wajah pemuda imigran gelap yang terluka itu. Lama pensiunan polisi itu gusar, memusatkan hati dengan iringan musik, desir angin dan keheningan ruangan. Tetapi wajah luka pemuda imigran gelap yang merintih itu, sepasang mata gelap tanpa pengharapan, dan lenguh kesakitan, mendesak-desak dalam benaknya. Pensiunan polisi selalu mengingat wajah pemuda imigran itu, saat mereka bertemu di toko roti. Suara pemuda imigran gelap itu sangat penuh harap dan tak terlupakan, “Aku yakin kau akan melindungi hidupku.”
“Bagaimana mungkin?”
“Wajahmu menampakkan ketulusan hati. Aku tak pernah ragu, kau akan melindungiku!” kata pemuda itu. Lelaki pensiunan polisi, dalam tariannya, mencoba menghilangkan segala hal yang pernah dikatakan pemuda imigran gelap itu. Tetapi terbersit perangai lain, suara lain, yang mengganggu batinnya. Kini justru wajah anak lelakinya, Anka, yang meninggalkan Konya, menyergap benaknya. Anak sulung itu memilih hidup jauh darinya.
“Baba 3), aku ingin hidup sebagai pemandu wisata di Istambul. Biarkan aku meninggalkanmu.”
“Berangkatlah, kalau itu memang keinginanmu,” tukas pensiunan polisi itu, tanpa keberatan sama sekali. Lelaki pensiunan polisi itu seperti sudah mengetahui nasibnya bahwa ia akan ditinggal anak lelakinya.
Hanya tinggal Akila yang bertahan di apartemen bersama pensiunan polisi. Dalam apartemen yang senyap, pensiunan polisi itu hampir-hampir tak pernah bicara. Ia berangkat pagi sebagai aparat keamananan di Mevlana Museum, dan Sabtu malam menari sema di Mevlana Cultural Centre. Ia ingin melenyapkan bayang-bayang wajah Saad yang berlumur darah. Ia merasa bersalah, tak bisa mencegah orang-orang menyerang dan membakar toko roti Orhan Fatih.
Pensiunan polisi itu juga teringat akan anak gadisnya, dengan wajah ragu, mendekatinya dan memohon, “Boleh saya meninggalkan Baba?” tanya Akila, bimbang, dan memandangi ayahnya yang akan hidup seorang diri.
“Kau boleh bekerja seperti yang kaucita-citakan,” pensiunan polisi itu tampak tenang dengan sepasang mata tulus, dan Akila justru merasa terpukul. Tetapi Akila sudah memutuskan untuk meninggalkan Konya, meninggalkan ayahnya. Sebagai gadis belia, ia memerlukan tinggal di Istambul.
“Saya akan kerja sebagai pramugari,” kata Akila, menahan harapan yang telah dipendamnya begitu lama. Ia ingin meninggalkan Konya, dan menjalani hidup sebagai seorang pramugari yang telah diidam-idamkannya semenjak kecil.
“Kalau kau memang ingin jadi pramugari, lakukanlah!” kata pensiunan polisi itu. Ia melepas putrinya, mengarungi hidup di kota sibuk, Istambul. Ia masih terus mencari keheningan dan ketenteraman hati yang belum juga dicapainya. Belum juga lenyap bayang-bayang wajah Saad yang berlumur darah, dengan sepasang mata mencari ketenteraman.
***
Dalam pusaran tari sema, pensiunan polisi itu terus terbayang wajah Saad yang menahan rasa sakit dan terasing. Di luar Mevlana Cultural Centre, langit mulai gelap, dan iringan tabla, petikan baglama, tiupan flute telah mengangkat tubuhnya berpusar ringan.
Ketika menari berputar-putar itulah, tubuh Kerem terguncang, hampir terjatuh. Pensiunan polisi melihat Kerem kadang tergeragap. Tubuh Kerem sempat terhuyung-huyung, dan kembali dalam orbit putarannya. Saat putaran terakhir, Kerem terjerembab dalam pusaran angin yang menenteramkan. Wajahnya setenang permukaan Danau Tuz, seputih hamparan garam.
Pensiunan polisi itu tak mungkin meniupkan napas dan mengalirkan detak nadi Kerem. Ia mesti berpisah dengan guru tari sema. Tugasnya kini mencari Saad, pemuda pekerja toko roti di Ankara, dan memberikan ketenangan – sebagaimana yang dilakukan Kerem padanya. Ia masih teringat di malam huru-hara itu, anak lelakinya, Anka, ikut terlibat dalam penyergapan dan pembakaran toko roti. Ia sempat melihat anak lelakinya menyelinap diam-diam, meninggalkan toko roti yang dibakar. Anka menghindar dari penangkapan polisi.
Di Mevlana Cultural Centre pensiunan polisi itu ingin menari sema tanpa bayang-bayang wajah siapa pun. Ia ingin berpusar dalam hening, hati bening, dan melayang, dengan jubah yang terus mengembang.
***
Konya, Turki, Juli 2022
Pandana Merdeka, Oktober 2022
Keterangan:
- Anne = ibu
- Matahari tenggelam di Turki sekitar pukul 19.30 sampai 21.00, sehingga malam masih tampak terang bercahaya.
- Baba = ayah
Biodata Penulis
S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.
Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel yang terbit Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017), Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. Kumpulan cerpen terbaru Ketakutan Memandang Kepala (Hyang Pustaka, 2022).