MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Ibnu Mustasira
Sore itu, aku baru selesai mengengkol motor ketika pemuda yang biasanya mengawaniku—Kadir—tiba-tiba menelepon dan bilang tak bisa ikut. Ada urusan mendadak, ujarnya di ujung telepon. Aku tak tahu urusan mendadak macam apa yang ia maksud, tapi aku maklum, meski agak kesal karena ia tak memberi tahu lebih awal.
Tempat ceramahku malam itu kurang lebih tujuh puluh kilometer dari kampung. Terletak di satu daerah yang terbilang lumayan pelosok, dan satu-satunya akses ke sana adalah sebuah jalan yang penuh kelok. Aku pernah mengisi ceramah di tempat yang lebih jauh sebelumnya, jadi soal itu seharusnya tak masalah.
Namun, dengan ketiadaan Kadir, ceritanya jadi lain.
Jika Nabi Musa mengajak kakaknya, Harun, pergi berdakwah karena kefasihan sang kakak berbicara, maka aku mengajak Kadir karena kelihaiannya membawa motor. Ah, bila pemuda itu yang membawa motor, aku selalu tenang membonceng di belakang, terutama saat perjalanan malam hari.
Aku sendiri bukan tak bisa membawa motor. Aku bisa. Hanya saja, sejak penglihatanku menurun, aku tak lagi nyaman melakukannya. Aku hanya melakukannya di siang hari saat berangkat mengajar. Sedangkan di malam hari, terlebih jika harus menempuh rute yang belum kukenal, aku lebih memilih dibonceng.
Karena itulah, selepas Kadir menelepon, aku sempat berpikir untuk membatalkan saja jadwal malam itu. Aku tinggal menghubungi Pak Imam dan menceritakan semuanya. Namun, sebelum hal itu kulakukan, mendadak aku terbayang wajah-wajah cemas yang menunggu dan mengharapkan kedatanganku, dan itu membuatku tak sampai hati. Lagi pula, setelah kupikir-pikir lagi, tak lazim juga seorang penceramah membatalkan jadwalnya tepat di hari-H, hanya karena ia tak punya kawan untuk datang ke tempat acara. Maka, setelah merapal segala macam doa selamat dan tolak bala, aku pun bertolak.
“Hati-hati, Bang,” pesan istriku dari ambang pintu.
Sekilas kutatap perempuan yang tengah hamil tujuh bulan itu. Romannya begitu tenang dan senyumnya begitu tulus tanpa beban. Aku ingin ia tetap begitu. Maka, walau suasana hati tengah berkecamuk, kupaksakan membalasnya dengan tersenyum dan mengangguk.
***
Karena masalah penglihatanku, ditambah jalan yang di banyak bagian—sebagaimana galibnya jalan di wilayah-wilayah pelosok—jauh dari kata mulus, aku baru sampai di tempat acara pukul delapan lima puluh. Sangat terlambat dari jadwal yang seharusnya. Seharusnya aku datang sebelum azan Isya berkumandang.
Kendati begitu, kedatanganku tetap disambut ramah oleh Pak Imam. Sesuai kesepakatan, ia menungguku di rumahnya. Aku sudah bilang sejak jauh hari bahwa aku butuh tempat mengganti pakaian setiba di sana, dan Pak Imam menawarkan rumahnya.
Begitu aku turun dari motor, lelaki yang kutaksir sudah bercucu setidaknya kelas tiga SMA itu langsung menyilakanku masuk ke salah satu kamar di rumahnya. Beberapa menit kemudian, aku yang sebelumnya memakai celana dasar hitam, baju kemeja, dan jaket kulit, keluar dengan peci menyungkupi kepala, leher berkalung sorban, bawahan berkain sarung, dan atasan berbaju koko. Kami lalu berangkat ke masjid.
Malam itu, sebagaimana biasa saat mengisi acara, aku hanya berceramah tak lebih dari satu jam. Setelahnya, acara dilanjutkan dengan pengumuman pemenang lomba (ternyata beberapa hari sebelum hari-H, panitia PHBI setempat mengadakan musabaqah untuk anak-anak), lalu pembacaan doa, lalu ditutup dengan ramah-tamah.
Pukul sebelas lima puluh, aku pulang ke rumah Pak Imam dan bergegas mengganti pakaian. Sejak kudengar gelegar gemuruh sewaktu berceramah, perasaanku sudah mulai tak tenang. Aku khawatir hujan keburu turun sebelum aku pulang. Kalau itu yang terjadi, aku akan menghadapi masalah besar. Pertama, bila hujan turun, aku tak akan bisa memakai kacamata saat membawa motor; kedua, bila hujan turun—apalagi yang disertai angin ribut, listrik akan padam dan aku akan kehilangan bantuan penerangan. Tanpa kacamata dan bantuan penerangan—meski hanya dari satu-dua rumah di pinggir jalan, aku akan semakin sulit untuk membawa motor dengan kecepatan normal.
Di atas semua itu, yang paling kukhawatirkan adalah masalah ketiga, yakni masalah istriku. Sejak usia kandungannya memasuki enam bulan, istriku entah kenapa sangat ketakutan dengan suara petir. Jika ia tengah memegang suatu benda saat petir menyambar, ia akan meremas benda itu kuat-kuat. Pernah suatu kali, petir menyambar saat ia memegang sebuah gelas. Gela situ retak, dan hampir pecah karena terlalu kuat digenggamnya. Karena itulah, aku ingin segera pulang.
Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain. Belum selesai aku mengganti pakaian, hujan berderai turun dan tak lama kemudian menyusul listrik padam. Perasaan cemasku semakin menjadi-jadi, gelisah tak keruan.
Dengan gemuruh yang menumpuk di dalam dada, aku lalu duduk di sofa ruang tamu rumah Pak Imam. Lilin yang menyala di meja bergerak kesetanan, seolah akan mengabarkan sesuatu yang buruk. Sesaat setelah duduk, kurogoh ponsel di dalam tas. Semoga ia baik-baik saja di sana.
Namun, lagi-lagi Tuhan berkehendak lain. Begitu ponsel kunyalakan, tak ada sebatang pun sinyal di kanan-atas layar. Seketika, aku beristigfar. Pak Imam yang datang dan ikut duduk tak lama kemudian, ketika kutanyai, menjelaskan bahwa memang begitulah keadaan di kampungnya saat listrik padam.
***
Pukul dua belas lima puluh, setelah berjam-jam rasanya menunggu, hujan akhirnya reda. Tak berpikir dua kali, aku langsung memutuskan untuk pulang. Celakanya, dua atau tiga menit setelah kutinggalkan rumah Pak Imam, hujan tiba-tiba kembali melebat. Sebentar saja tubuhku sudah kuyup sehingga membuat gigi-gigiku bergemeletuk. Untunglah tasku kedap air sehingga barang-barang di dalamnya terlindungi. Karena kupikir sudah tak ada gunanya berteduh, kuputuskan untuk melanjutkan saja perjalanan.
Dari balik kaca helm, di bawah penerangan cahaya lampu motor, kutatap permukaan jalan dengan mata memicing. Keadaan sunyi dan mencekam. Tak ada pengendara lain yang lewat. Satu-dua rumah dan pohon-pohon di kiri-kanan jalan hanya berupa siluet ketika kilat dan petir menyambar. Dalam hati, tak henti-henti kurapal doa selamat dan tolak bala.
Aku sudah keluar dari kampung tempatku berceramah ketika dari kaca spion kanan terlihat tiga cahaya di belakangku. Setelah kuperhatikan baik-baik, nyatalah itu cahaya lampu motor. Alhamdulillah, batinku lega, akhirnya ada juga teman seperjalanan.
Sudah menjadi kebiasaanku, bila membawa motor di jalanan yang belum begitu kukenal, aku akan meminjam penglihatan pengendara lain dengan cara membuntuti mereka. Itulah kenapa aku senang ketika melihat ada pengendara lain yang akan lewat.
Tapi kemudian, aku tersentak oleh satu pikiran yang tiba-tiba, bagaimana kalau mereka bukan teman?
Sekonyong-konyong tengkukku merinding. Teringat olehku sebuah berita tragis yang kubaca di sebuah koran lokal pagi hari itu. Diduga Menjadi Korban Penjambretan, Seorang Ibu Meregang Nyawa dengan Tiga Luka Tusuk di Punggung, demikian headline-nya. Sekujur tubuhku bergidik.
Kulirik lagi kaca spion. Ketiga motor itu kian dekat denganku. Tanpa bisa kukendalikan, detak jantungku seketika meningkat cepat, membuat dadaku terasa seakan-akan mau meledak. Saat itulah, seperti mendapat sebuah ilham, aku teringat janji Tuhan: Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku*. Bak disuarakan lewat mikrofon ber-echo tinggi, janji yang terdapat dalam sebuah hadis qudsi itu bersipongang dalam kepalaku.
Maka, antara takut dan harap, kutarik napas dalam-dalam, lalu kuucapkan dengan penuh keyakinan: Allah Maha Baik, Allah Maha Baik, Allah Maha Baik, sembari memperlambat laju motor dan membuka jalur bagi ketiga motor itu untuk mendahuluiku.
Dari kaca spion, kulihat ketiga motor itu mempercepat laju. Awalnya aku lega karena itu berarti mereka mengerti isyaratku. Tapi kemudian, setelah jarak kami berdekatan, kelegaanku menguap, sebab, alih-alih terus melaju, ketiga motor yang ternyata masing-masingnya dinaiki oleh dua orang berhelm full face itu malah membentuk semacam formasi di sekelilingku. Satu di depan, satu di belakang, satu di samping kanan. Mereka mengepungku! Mereka setengah berteriak, tetapi kuabaikan. Dalam benakku hanya satu, aku harus selamat sampai rumah.
Seketika tubuhku meremang. Berita tentang si ibu yang malang itu kembali mengemuka di kepalaku. Hanya saja, kali ini kubayangkan akulah yang berada di posisi si Ibu. Akulah yang menerima tiga tusukan di punggung lalu keesokan harinya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa.
Tidak! Kugelengkan kepala keras-keras. Adegan brutal itu seketika buyar, berganti raut wajah istriku yang tersenyum tulus saat melepas kepergianku. Maka, tepat setelah pengendara di depanku memberi isyarat menyuruhku berhenti, kupiuh setang motor sekuat-kuatnya dan, melalui satu celah kecil, aku pun melesat sederas-derasnya.
Seperti saat Nabi Musa dan pengikutnya diburu Firaun, sungguh aku berharap ada keajaiban terjadi malam itu. Kedua mataku tiba-tiba berubah setajam mata kucing, misalnya, sehingga setiap lubang bisa kuhindari dengan baik dan setiap tikungan bisa kulewati dengan cantik. Atau, motorku yang hanya bebek tua itu secara ajaib berkecepatan seperti motor balap.
Kenyataannya, kedua mataku tetaplah buram sehingga berkali-kali—sampai tak bisa kuhitung berapa kali—ban motorku menghantam lubang-lubang jalanan yang tak rata. Dan motor itu tetaplah motor bebek tuaku yang tenaganya sudah terkuras habis sehingga tak bisa lagi diandalkan. Kalau memang ada keajaiban yang terjadi malam itu, barangkali hanya keadaan di mana aku seperti bisa melihat Malaikat Maut berkali-kali melambaikan tangan ke arahku. Dan itu jelas bukan jenis keajaiban yang kuharapkan.
Itulah kenapa, selagi ketiga motor itu memburuku macam kawanan singa kelaparan, aku mulai sibuk memikirkan cara lain untuk menyelamatkan diri. Dan, setelah sejenak memutar otak, tebersitlah satu ide. Di sebuah tikungan tajam yang kiri-kanannya semak belukar dan pohon-pohon besar, kuhentikan motorku, lalu kudorong ke balik semak belukar di kiri jalan. Sebenarnya aku berharap menemukan rumah, tapi karena wilayah yang kulewati saat itu bukan permukiman, mau tak mau aku harus menyesuaikan.
Tak lama setelah aku hirap di balik semak belukar, ketiga motor itu melesat cepat beriring-iringan. Lalu, tak lama kemudian, barangkali karena sudah tak lagi menemukan jejakku, mereka berbalik lagi, masih beriring-iringan. Kurasakan detak jantungku perlahan-lahan memelan.
***
Aku sampai di rumah pukul dua lewat lima puluh malam itu, dan hujan ternyata tak sampai ke kampungku. Di depan pintu, susah payah kutampilkan sikap normal kepada istriku. Kuceritakan soal hujan deras yang membuatku cemas dan ingin segera pulang, kurahasiakan soal kejar-kejaran.
Keesokan harinya—yang bertepatan dengan hari Ahad sehingga aku tak pergi mengajar, tepat pukul delapan, terdengar beberapa motor memasuki pekarangan rumahku, lalu kudengar pula seseorang mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Saat itu aku tengah salat Duha sehingga istrikulah yang menyambut.
Belum selesai aku salat, terdengar motor-motor itu kembali menyala, lalu satu per satu berlalu meninggalkan rumahku. Didorong oleh rasa penasaran, selesai salat, bergegaslah aku keluar kamar. Di depan pintu kamar hampir saja aku bertabrakan dengan istriku
“Siapa tadi?” tanyaku heran.
Sembari menyodorkan sebuah ponsel—yang ternyata tak lain adalah ponselku—istriku menjawab: “Cucu Pak Imam bersama kawan-kawannya.”[]
Bungo, 2022
Catatan:
*Sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
Biodata Penulis
Ibnu Mustasira, menulis cerpen dan terkadang puisi. Lebih banyak menulis untuk diri sendiri.