MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Ilda Karwayu
Rio tak menyangka urusan uang itu akan diketahui oleh ibunya, padahal baik dirinya atau pun Sarah sudah menjaga rahasia serapat mungkin. Dari mana ibunya tahu tentang itu, Rio tak menemukan petunjuk sedikit pun. Ibunya, sejak hampir setengah jam yang lalu hanya duduk di hadapannya, berceramah panjang soal penggunaan uang di masa muda dan semacamnya. Kini ujung-ujung jari kedua kaki Rio mulai merasakan senyar bagai tertusuk-tusuk jarum, betisnya pun terasa seperti hendak meledak. Guna menyamankan diri, Rio berniat mengganti posisi duduk. Namun, baru saja mengangkat pantat sedikit, ibunya bertanya, “Dipakai apa uang itu?”
Entah bagaimana, pertanyaan itu membuat Rio urung melanjutkan gerakan, dia kembali ke posisi simpuh. “Dipinjam,” jawabnya pelan. Karena ibunya tak menjawab, hening kembali menemani mereka berdua di ruang tamu yang dindingnya tak dihiasi apa-apa selain jam dinding dan kotak router internet. Rio, yang sedang berusaha menahan senyar pada kedua kakinya, tiba-tiba dikagetkan oleh bunyi benda jatuh. Ibunya meraih benda itu—yang ternyata adalah ponselnya, kemudian beranjak keluar ruang tamu.
Melihat ibunya kini berada di teras, Rio perlahan mengangkat pantatnya kemudian menjulurkan kedua kakinya ke depan. Sekali lalu menahan gelitik aliran darah yang terasa deras mengalir, sayup-sayup dia mendengar suara ibunya menelpon. Lambat laun, meski tak tahu dengan siapa ibunya menelepon, dia sadar dirinyalah yang sedang dibicarakan. Ibunya merasa uang yang selama enam bulan ini diberikannya kepada Rio bukan dipinjam, melainkan dipakai oleh Rio sendiri. Tak berhenti sampai di situ, ibunya mulai mengeluarkan berbagai keluhan dan duga-duga yang, pikir Rio, sungguh berlebihan.
Rio mengusap-usap kedua kakinya sambil menggerutu, “Tentu saja tak semua anak sekolah menengah melakukan itu!” Hatinya jadi kecut, dia merasa ibunya tak benar-benar mengindahkannya. Belum selesai dengan kekecutan hatinya, Rio mendengar ibunya tiba-tiba berkata, “Astaga, iya, maaf, nanti kita sambung lagi. Oh, iya, langsung pulang. Iya, Ibu tunggu!”
Kini ibunya kembali duduk di hadapannya. “Ibu sudah beri tahu Joana barusan.”
Rio seketika teringat Sarah.
“Untung tadi pagi Bu Wiwi telepon, kalau ndak, mungkin Ibu selamanya ndak akan tahu kelakuanmu!” ucap ibunya sambil mengusap-usap layar ponselnya ke daster biru tua yang sedang dipakainya.
Rio mengernyitkan dahi, “Bu Wiwi bilang apa?”
“Ya itu, Rio Suwarno menunggak uang sekolah selama enam bulan!”
Rio terdiam, bertanya-tanya sendiri mengapa wali kelasnya perlu melakukan itu. “Bu Wiwi hanya bilang itu?”
“Batas akhir pelunasannya itu lusa, tanggal dua puluh. Bu Wiwi bilang sudah kasih informasi seminggu yang lalu, dan kalau sampai tanggal delapan belas belum melunasi tunggakan, wali murid akan ditelpon.”
Seperti baru saja menjumpai sepenggal ingatan yang dibutuhkannya, kedua mata Rio membelalak. “Nah, it…”
Keduanya nyaris membuka mulut secara bersamaan, tapi tentu saja suara ibunya, yang terdengar seperti adonan rasa jengkel dan gelisah, lebih jelas terdengar.
“Makan dulu sana! Sudah hampir sore ini.”
Menyadari bahwa melanjutkan kalimatnya barusan merupakan tindakan sia-sia, Rio beranjak ke dapur. Sebelum masuk dapur, dari balik pintu, dia melirik ibunya yang kembali fokus pada ponsel. Ponsel itu, yang membuat ibunya tak lagi mengeluh soal ketertinggalan informasi dan segala yang sedang tren saat ini. Bila pergi arisan ke rumah tetangga, atau menghadiri acara keluarga besar, ibunya tak lagi sibuk minta dimaklumi karena ketinggalan topik obrolan.
Di meja makan telah tersedia tumis kangkung bercampur pipilan jagung dan bakso, ditemani tempe goreng—yang dari warnanya Rio dapat menduga lauk itu sebelumnya telah di-ungkep dengan bumbu kuning. Sungguhpun pikirannya masih berkutat pada uang sekolahnya, Rio menyantap makan siangnya dengan anteng.
Terdengar langkah berat dari ruang tamu, dan seketika Rio berpikir bahwa ibunya belum sedikit pun tenang. Tak ingin ibunya berlama-lama merasa demikian, dia berinisiatif menyiapkan piring beserta sendok dan garpu—tak lupa pula gelas minum, sekadar berjaga-jaga, mungkin ibunya juga belum makan siang. Begitu ibunya muncul di dapur dan mulai mendekat ke meja makan, Rio segera menyodorkan piring. Namun, ibunya lebih dulu bertanya, “Siapa yang pinjam uang itu?”
Garpu Rio jatuh. “Bakso ini merek apa, ya? Sepertinya lebih enak yang kemarin,” ujarnya seraya memungut garpu. Dia sedikit melirik ke arah ibunya sembari berjalan ke tempat cuci piring.
Ibunya diam, ditatapnya bakso pada tumis kangkung bercampur pipilan jagung di atas meja. Tak lama kemudian, ia menghela napas, “Begitu?”
“Iya, menurut Ibu ndak berbeda, ya?”
“Itu kemarin nyoba merek diskonan.”
“Ndak begitu enak, lebih enak yang kemarin. Kalau kangkungnya masih ada, besok ditumis campur sosir boleh juga, kan? pakai sosis yang dibeli Jo itu,” timpal Rio dengan riang sambil berbalik arah menunjuk ke arah kulkas.
“Rio,” ibunya memperbaiki posisi duduknya. Rio segera duduk kembali di kursinya, tanpa timpalan apa pun.
“Siapa yang pinjam uang itu?”
Rio menancapkan garpu barunya ke bakso di piringnya, “Sarah.”
Mendengar nama itu, wajah ibunya seketika menegang, “Jangan konyol! Ibu bertanya serius. Jangan bohong dan lempar kesalahan begitu!”
Kini wajah Rio yang menegang. Dilepasnya garpu di tangan kananya, pipilan jagung urung masuk ke mulutnya. Dia menatap ibunya, dan ibunya membalas dengan ucapan, “Sudah ibu bilang berkali-kali, kan, tadi: ibu ngerti anak remaja punya banyak keinginan, ta…”
“Saya ndak bohong.” Wajah Rio perlahan memerah.
“Terus kenapa bilang uangnya dipinjam Sarah?”
Rio memalingkan wajah seraya mengusap keringat di sekujur wajah dan lehernya. “Mana ada dia punya tabungan! Si gila belanja itu, cicilannya saja yang banyak. Diminta bantu bayar tagihan air, malah nyuruh Joana.”
Giliran ibunya yang terdiam, tapi tak lama ia kembali menjelaskan, “Kakak-kakakmu kan sudah sama-sama kerja, jadi wajar saling membantu begitu.”
“Tapi Ibu yang paling sering ngeluh tentang belanjaan Sarah!”
Ibunya menuang air ke gelas di hadapannya. “Sarah itu pendapatannya ndak cuma dari gaji, sering juga dia dapat bonus proyek dari kantornya. Ponsel ibu ini,” sambil mengangkat ponsel, “dibelikan dari uang bonus. Dia juga saat ini sedang coba-coba investasi, apa kamu ndak ingat ceritanya beberapa malam lalu?” Ponsel diletakkannya kembali di atas meja. Rio mencibir.
“Dari mana kamu belajar bohong seperti itu?”
Tiba-tiba terdengar suara gerbang rumah mereka digeser, disusul suara kendaraan roda dua masuk ke garasi. Dada Rio seperti ditepuk keras-keras, langkah yang mengetuk-ngetuk lantai itu jelas milik Sarah. Wajah pucat Sarah muncul dari balik pintu garasi yang tembus menuju dapur. Ibunya berbalik badan, menatap Sarah, tapi tak berkata apa-apa. Rio mengawasi gerak ibunya yang kini beranjak dari kursi, melangkah menuju kamar utama.
“Kenapa? Ada apa?” Sarah menoleh ke arah Rio setelah sempat sekelebat bersitatap dengan ibunya. Ia menghampiri kursi tempat ibunya tadi duduk, meraih gelas—yang semula disuguhkan Rio untuk ibunya, lalu menuang air. Rio tak menanggapi Sarah, alih-alih fokus menghabiskan makanan di hadapannya yang ternyata sejak tadi tak kunjung habis.
“Joana pulang jam berapa? Kamu tahu?”
Rio menuangkan air ke gelasnya sendiri, “Tadi kudengar akan pulang cepat. Sekarang man…”
Sarah bangkit dari duduknya lalu pergi begitu saja meninggalkan dapur. Tak lama kemudian terdengar suara jebur air dari kamar mandi.
“Sialan!” Umpat Rio—nyaris berbisik. Ingatannya melayang ke percakapannya dan Sarah enam bulan lalu, saat kakak keduanya itu minta dipinjami uang. Awalnya dia enggan memberi pinjaman lantaran Sarah begitu gemar berbelanja. Rio sempat berpikir bahwa Sarah tak punya sedikit pun tabungan sampai harus pinjam uang, tapi tetap saja dia tak cukup simpati hanya karena pikiran itu. Namun ternyata Sarah punya rencana lain.
Sarah menjelaskan tujuan utamanya meminjam uang bukanlah untuk keperluan dirinya semata, dan sayangnya, sebagian besar gajinya saat ini tak cukup untuk mewujudkan keperluan itu. Saat ini ia sedang mengangsur tiga barang: tas kerja Doris Dorothea berbahan kulit, sandal Lace Lynelle (Rio benar-benar tak habis pikir bagaimana sandal semacam itu bisa begitu mahal dan Sarah rela menghabiskan uangnya untuk itu), dan yang terakhir adalah sebuah ponsel (yang ini pun Rio kerap geleng-geleng kepala karena Sarah hampir selalu mengganti ponselnya setiap tahun dengan alasan yang juga berubah-ubah—kali ini karena terpincut kualitas kamera).
Sebelum akhirnya menyetujui permintaan Sarah dan menyepakati pengembalian sebelum tanggal 18, Rio sempat menyarankannya untuk pinjam ke Joana, tapi ternyata Sarah sudah lebih dulu melakukannya, dan ditolak mentah-mentah oleh kakak pertama mereka itu. Ketika Rio bertanya mengapa, Sarah mendengus sambil mulai meniru cara Joana bicara, “Bagi orang tua, apa saja bisa jadi keluhan, dan itu bukan masalah yang benar-benar masalah. Kalau sampai sudah ndak bisa menghubungi kita, baru masalah.” Kembali ia mendengus, “Ya bagi dia yang jarang di rumah itu bukan masalah, tapi bagi kita kan itu masalah. Benar, kan? Iya, kan?”
“Lalu, kalau kupinjami kamu ini, dan Joana tahu, kamu akan bilang apa?”
“Dia tak mungkin tahu.” Sarah tersenyum simpul.
Makanan Rio habis seiring dengan pudarnya senyum Sarah dalam ingatannya. Rio merapikan bekas makannya, Ketika berjalan membawa itu semua menuju tempat cuci piring, dia melirik jam dinding dekat kulkas yang telah menunjukkan pukul setengah enam sore.
Sekitar pukul tujuh Rio mendengar bunyi-bunyi dari dapur. Dia sedikit lega mengetahui bahwa ibunya tetap mau menyiapkan makan malam; meski belum sepenuhnya lega lantaran uang sekolahnya itu.
“Rio, keluar, makan!” Seru ibunya dari dekat meja makan di dapur. Melihat anak bungsunya keluar dari kamarnya yang bersebelahan dengan dapur, ia berkata, “Tolong panggil Sarah.”
Ketiganya menyantap makan malam tanpa obrolan sedikit pun. Rio sesekali melirik Sarah dan ibunya, keduanya tampak fokus pada makanan masing-masing. Biasanya Sarah cukup cerewet menceritakan hari-harinya mengurusi pelanggan bank, dan ibunya dengan antusias melontarkan pendapat, nasihat, atau pun sekadar mengangguk-angguk. Ketenangan semacam ini membuat bunyi detik jam dinding terdengar begitu lantang.
Lagi, gerbang rumah mereka dibuka, disusul suara kendaraan roda dua memasuki garasi, dan yang datang kali ini, dengan langkah nyaris tak terdengar, pastilah Joana. Rio meraih kursi kosong dan mendekatkannya pada kursinya sendiri, sekejap kemudian Joana menghampirinya setelah melepas sepatu dan meletakkannya bersama tasnya di bawah meja makan berbentuk bundar itu.
“Siapa yang pinjam uangmu, Rio?” tanya Joana langsung.
Tatapan mata Joana, pikir Rio, mengiras-irasi tatapan ibunya tadi siang. Rio menunduk, memandang nasi gorengnya yang sisa sepertiga, lantas seketika pandangannya berpindah ke ponsel ibunya di atas meja, kemudian ke wajah Sarah; dipandanginya perempuan itu lekat-lekat.
“Saya yang pinjam!” sahut Sarah sambil menatap Joana.
Rio sigap menyadari tatapan Joana yang seketika beralih ke Sarah, sama seperti ibunya yang langsung menatap Sarah dan tak dapat menyembunyikan kekagetannya.
“Untuk apa?!” Joana menggebrak meja makan. Sarah spontan memejamkan kedua matanya dan menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Joana. Rio bersandar lemas pada kursinya, dirinya kini yakin perkara pengembalian uang tak kan selesai malam ini. Suasana sempat senyap sebelum akhirnya Sarah menatap Joana dengan tajam. Sesaat kemudian, ia melengos ke arah ibunya sambil menopang dagunya dengan tangan kiri, memerhatikan ponsel keluaran terbaru di atas meja dekat tangan kanannya dan juga tangan kiri ibunya.
2021
Biodata Penulis
Ilda Karwayu, menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi. Telah menerbitkan sejumlah buku puisi, salah satunya, “Binatang Kesepian dalam Tubuhmu” (GPU, 2020). Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram.