Madrasah Digital
Ketentuan Kirim Tulisan
Buat Akun
  • Berita
    • Rilis
    • Komunitas
    • Surat Pembaca
  • Gaya Hidup
    • Tips
    • Hobi
    • Life Hack
  • Wawasan
    • Analisis
    • Wacana
    • Tadarus Tokoh
    • Resensi
    • Bahasa
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Esai Sastra
  • Ruang Madrasah
    • Materi Pelajaran
    • Online Learning
    • Ruang Konsultasi
Rabu, Agustus 17, 2022
No Result
View All Result
  • Berita
    • Rilis
    • Komunitas
    • Surat Pembaca
  • Gaya Hidup
    • Tips
    • Hobi
    • Life Hack
  • Wawasan
    • Analisis
    • Wacana
    • Tadarus Tokoh
    • Resensi
    • Bahasa
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Esai Sastra
  • Ruang Madrasah
    • Materi Pelajaran
    • Online Learning
    • Ruang Konsultasi
No Result
View All Result
Madrasah Digital
No Result
View All Result
Home Cerpen

Cerpen : Meja Kecil Jelek di Ruang Tamu

Meja Kecil Jelek di Ruang Tamu

admin by admin
Juli 29, 2022
in Cerpen, Sastra
4 min read
0
88
SHARES
137
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Aliurridha

Aku ingat pertama kali bertemu denganmu. Saat itu aku hanyalah seorang bocah yang tidak mengerti apa-apa tentang hidup, dan bocah yang tidak mengerti apa-apa itu baru saja pindah ke sebuah kompleks perumahan. Kamu ada di sana, seolah-olah kamu adalah paket tambahan untuk kompleks perumahan ini. Kamu tinggal di sebuah rumah kosong yang terbengkalai, rumah yang dibeli oleh sepasang pengantin baru, namun tidak sempat mereka tempati karena baru juga hendak memulai rumah tangga, mereka malah berpisah. Tempat tinggalmu hanya berselang satu rumah dari tempat tinggalku.

Saat itu aku tidak tahu kamu datang dari mana, kamu ada begitu saja di kompleks ini, kesepian dan sendirian. Aku tumbuh besar, kamu bertambah tua. Pernah kudengar kamu menikah, mungkin untuk mengatasi kesepian dan kesendirian. Kamu menghilang beberapa waktu, meninggalkan kompleks ini, lalu kembali lagi—sendirian.

Jika aku mengingat-ingat kembali masa kecilku, betapa isengnya perbuatan yang aku lakukan bersama teman-temanku dulu kepadamu. Kami sering membuat lelucon yang, jika aku mengingatnya lagi, betapa tidak lucu sama sekali. Kami memanggilmu Dion, saat itu sinetron Tersayang sedang naik daun, dan karena namamu mirip dengan pemeran utama laki-laki, kami memelesetkannya dan memanggilmu Dion—seolah-olah kamu adalah Anjasmara—dan itu membuat kami tertawa, dikarenakan ironi yang dihadirkannya.

Sesekali waktu, dengan bergerombol kami akan mendatangimu yang sedang memotong rumput atas permintaan warga. Kami mendekatimu dan bertanya: “Halo Dion, mana Mayang?” Kamu menjawab dengan tatapan bingung: pupil matamu bergerak cepat ke kiri dan ke kanan dan wajahmu melongo, kamu tidak mengerti maksud kami. Lalu kamu menggertak kami, dan kami pun akan berlari dengan bahagia karena mampu menarik perhatianmu.

Waktu berlalu begitu cepat, hingga aku yang dulunya seorang anak, kini telah memiliki anak. Lama kutinggalkan kompleks ini, hampir separuh bumi Indonesia kukunjungi, namun seperti dirimu, aku kembali lagi ke kompleks ini. Kita bertemu lagi di tempat yang sama, di waktu yang berbeda. Tidak ada yang berubah darimu, selain tubuh yang menyusut dan guratan usia senja yang bertambah pada wajahmu. Lain dari itu, kamu masih pria yang sama. Cara bicaramu pun masih sama, pekerjaanmu juga masih sama, dan kamu masih sendiri di sana. Benar-benar tidak banyak yang berubah darimu. Dunia berubah dengan cepat, dan kamu tidak berubah sama sekali, seolah semua perubahan di sekelilingmu tidak berarti apa-apa buatmu.

Kamu bahkan masih tinggal di tempat yang sama, selang satu rumah dari tempatku tinggal. Bedanya, kini kamu tidak lagi berani untuk tidur di dalam rumah, melainkan di teras rumah dengan bilik papan sederhana yang kamu bangun sendiri. Kamu takut jika kamu mati, orang-orang di sekelilingmu tidak akan sadar hingga bau busuk lebih dulu menguar dari tubuhmu, atau binatang berkaki empat yang selalu kelaparan itu, lebih dulu berpesta dengan tubuhmu yang tak lagi bernyawa.

Tiap hari, atau lebih tepatnya hampir setiap hari, kamu selalu datang ke rumahku, mengambil air dikarenakan rumah yang kamu tinggali tiada lagi dialiri air. Di setiap kunjunganmu, kamu selalu membuat anakku yang baru berusia dua tahun menangis ketakutan. Kamu berusaha mengajaknya bicara, mencoba segala cara agar dia tak lagi takut padamu. Namun, anakku selalu menjerit setiap melihatmu, seolah-olah kamu adalah ancaman untuknya.

Anakku memang penakut. Sedari bayi dia selalu takut pada orang asing. Siapapun akan dianggapnya berbahaya, sampai dia benar-benar mengenalnya. Siapapun itu, kecuali aku dan ibunya. Ketika baru belajar merangkak, dia bahkan tidak berani keluar dari ruang tamu—tidak tanpa pengawalan kedua orang tuanya. Dia selalu gelisah dan berhati-hati, seolah-olah dia sudah diprogram dengan kode genetik yang diwariskan sejak manusia masih menjadi kera penggelisah di savanah. Namun, seiring waktu, anakku yang penakut itu, tidak lagi takut kepadamu. Dengan penuh kesabaran, kamu mendekatinya pelan-pelan, hingga dia tidak lagi merasa terancam. Bahkan dia menjadi senang setiap kali kamu datang mengambil air atau minta tekanan darahmu diperiksa oleh istriku, dia akan berlari keluar ketika mendengar suaramu. Kamu senang dan kulihat sebuah ketulusan membentuk senyum di wajahmu.

Esoknya ketika kamu datang lagi, kamu tidak lagi datang dengan tangan kosong; sebuah mainan unik telah berada di tanganmu yang kemudian kamu berikan pada anakku. Kamu senang karena dia mau menerimanya. Dia juga senang sampai loncat-loncat kegirangan dan menceritakan padaku dengan bahasa yang lebih banyak tidak aku mengerti. Kemudian, setiap kali kamu datang, dia akan berteriak menyebut namamu, lalu dia akan berlari keluar dengan girang, berharap ada mainan yang kamu bawa, dan kamu tidak pernah mengecewakannya.

Pernah aku mengintipmu yang sedang duduk di teras bersama anakku. Saat itu anakku sedang memainkan sebuah gantungan kunci berbentuk pesawat yang baru saja kamu berikan kepadanya. Aku terpesona melihat kalian berdua. Tidak ada satu pun yang bisa kalian percakapkan karena kamu separuh tuli dan kosakata bahasa Indonesia-mu sangat terbatas; sedang anakku, dia hanyalah bocah dua tahun yang belum tahu benar cara bicara. Namun di sanalah kalian, duduk berhadap-hadapan, berbicara lewat pikiran. Aku mulai merasa teras rumahku seperti mesin waktu, mempertemukan dua individu dari masa lalu dan masa depan; bahkan tanpa jembatan bahasa, kalian berdua saling mengerti antara satu dan lainnya. Kamu yang selama ini selalu sendiri, dengan segala keterbatasanmu, berusaha membangun jejaring makna, lewat pena ingatan yang kau gores pada hipokampus anakku.

Kuperhatikan wajah tuamu yang mencerminkan kerasnya peristiwa yang telah kamu lalui, menatap bahagia pada seorang anak yang sedang berbahagia menyelami dunianya sendiri. Wajahmu—wajah yang dulunya selalu diselubungi awan hitam—berubah cerah, seolah hujan baru saja mengapusnya. Aku tahu kamu bahagia. Aku mengenal kebahagian begitu aku melihatnya, karena kamu seperti anakku, seperti halnya setiap anak kecil di dunia, kebahagianmu sungguh sederhana. Tapi kini aku bertanya, apakah kebahagiaan yang kulihat di wajahmu itu ilusi semata?

Aku mempertanyakan penglihatanku setelah mendapat kabar bahwa kamu melempar dirimu ke sebuah sungai yang sedang menguap. Kemudian orang-orang ramai membicarakan apa yang kamu lakukan: ada yang perihatin, ada yang menyayangkan apa yang kamu lakukan, ada pula yang sok bijak menasehati bahwa bunuh diri itu dosa dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Tiba-tiba aku mendengar suara tetanggaku berkomentar setelah kabar duka itu. “Dia telah tiba di akhir perjalanannya,” kata seorang pria yang disambut anggukan oleh istrinya.

“Tidak, dia hanya menyingkirkan sebuah meja kecil jelek di ruang tamu[1],” kataku pada mereka. (*)

Catatan Kaki:

[1] Metafora tentang hidup yang muncul dalam cerpen Etgar Keret yang berjudul Pineapple Crush, yang terhimpun dalam Kumpulan Cerpen Fly Already: “Hidup seperti sebuah meja kecil jelek di ruang tamu yang ditinggalkan penghuni sebelumnya. Hampir setiap waktu kamu sadar dan berhati-hati; kamu mengingat ia ada di sana, namun kadang kamu lupa, dan kamu mendapati sudut tajamnya mengenai tulang kering atau lututmu, dan rasanya sungguh sakit sekali. Seringnya, benturan itu menyisakan luka. Saat kamu nyimeng, meja kecil jelek itu tetap di sana. Tidak satu pun kecuali kematian yang bisa membuatnya hilang. Namun  satu hisapan panjang dari barang yang benar-benar bagus dapat membuatmu sedikit lupa akan keberadaannya. Dan ketika kamu benar-benar giting, rasa sakitnya berkurang sedikit.” (***)

Biodata Penulis

Aliurridha, penerjemah dan pengajar penerjemahan di suatu perguruan tinggi. Ia menulis esai, puisi, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Ia tinggal di Lombok dan bergiat di komunitas Akarpohon.

Share35Tweet22SendShare

Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.

Unsubscribe
Previous Post

Pesimisme Indonesia Bebas dari Jerat Korupsi

Next Post

IMM Malaysia dan PPI Malaysia Kunjungi ISEAS Singapura

admin

admin

Related Posts

by admin
Agustus 12, 2022
0
135

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Pasini   Semestinya aku senang, tetapi kenyataannya aku sedih, setiap kali istriku Kenanga masih mengenang puisi yang kutuliskan...

Cerpen : Ericko dan Pedomannya di La’ Caffeina

by admin
Agustus 5, 2022
0
74

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Sakti Ramadhan   Sepeda motor roda tiga yang terparkir itu pastilah milik Ericko, teman Don yang doyan nyengir...

Puisi: Fasal-Fasal Ihwal Guru

by admin
Agustus 2, 2022
0
61

MADRASAHDIGITAL.CO, Puisi-Puisi oleh Imam Budiman Fasal-Fasal Ihwal Guru dari para guru aku bermula, segenap cahaya pewaris Nabi Guru...

Cerpen : Meja Kecil Jelek di Ruang Tamu

by admin
Juli 29, 2022
0
137

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Aliurridha Aku ingat pertama kali bertemu denganmu. Saat itu aku hanyalah seorang bocah yang tidak mengerti apa-apa tentang hidup,...

Cerpen : Lengkingan Suara Murni

by admin
Juli 22, 2022
0
69

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Teni Ganjar Badruzzaman  Bukan kokok ayam yang membangunkanku sedini ini. Bukan pula kumandang azan dari musala milik Haji...

Cerpen : Kematian – Kematian Tak Terduga

by admin
Juli 15, 2022
0
87

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Satria Nugraha Adiwijaya  Kholis agaknya  sudah kepayahan dengan apa yang ia lakukan hari ini. Lima lubang ia gali...

Next Post

IMM Malaysia dan PPI Malaysia Kunjungi ISEAS Singapura

Kupas Tuntas Kajian Budaya Yogyakarta, di Live Sharing PK IMM FKIP Uhamka

Korupsi dan Moralitas Bangsa

Dampak Korupsi terhadap Kemajuan Bangsa

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Senior Juga Penyebab IMM Mati
  • Akar bawah dari korupsi
  • Meneropong Peran Perempuan dalam Memperjuangkan Pendidikan Di Kampung Gedong
  • Dosen FISIP Uhamka Adakan Pelatihan Menulis Esai, Kepada Angkatan Muda Muhammadiyah
  • Pendidikan Moral Bangsa Diatas Merdeka

Komentar Terbaru

  • Pg pada Dampak Politik Uang Buat Rakyat
  • Danang Tergalek pada Cerpen : Tak Jadi ke Nevşehir
  • Muhammad Putra Ramadhan pada Jack dan Seorang Teman Lugu
  • XerXes pada Kisah di Balik Senyum Indah Jofi
  • Esti P.J pada Cerpen: Luka yang Indah

Arsip

  • Agustus 2022
  • Juli 2022
  • Juni 2022
  • Mei 2022
  • April 2022
  • Maret 2022
  • Februari 2022
  • Januari 2022
  • Desember 2021
  • November 2021
  • Oktober 2021
  • September 2021
  • Agustus 2021
  • Juli 2021
  • Juni 2021
  • Mei 2021
  • April 2021
  • Maret 2021
  • Februari 2021
  • Januari 2021
  • Desember 2020
  • November 2020
  • Oktober 2020
  • September 2020
  • Agustus 2020
  • Juli 2020
  • Juni 2020
  • Mei 2020
  • April 2020
  • Maret 2020
  • Februari 2020
  • Januari 2020
  • Desember 2019
  • November 2019
  • Oktober 2019
  • September 2019
  • Agustus 2019
  • Juli 2019
  • Juni 2019
  • Mei 2019
  • April 2019
  • Maret 2019
  • Februari 2019
  • Januari 2019

Kategori

  • Analisis
  • Bahasa
  • Berita
  • Cerpen
  • Esai Sastra
  • Event
  • Gaya Hidup
  • Hobi
  • Komunitas
  • Life Hack
  • Materi Pelajaran
  • Opini
  • Pemikiran Tokoh
  • Puisi
  • Resensi
  • Rilis
  • Ruang Konsultasi
  • Ruang Madrasah
  • Sastra
  • Surat Pembaca
  • Tadarus Tokoh
  • Tips
  • Umum
  • Wacana
  • Wawasan

Meta

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

Madrasah Digital

Madrasah Digital

Madrasah Digital

Kategori

  • Analisis
  • Bahasa
  • Berita
  • Cerpen
  • Esai Sastra
  • Event
  • Gaya Hidup
  • Hobi
  • Komunitas
  • Life Hack
  • Materi Pelajaran
  • Opini
  • Pemikiran Tokoh
  • Puisi
  • Resensi
  • Rilis
  • Ruang Konsultasi
  • Ruang Madrasah
  • Sastra
  • Surat Pembaca
  • Tadarus Tokoh
  • Tips
  • Umum
  • Wacana
  • Wawasan

Sekretariat

Learning Center Madrasah Digital

Alamat
Graha Inkud Lt. 6, Jln. Warung Buncit Raya No. 18-20, Jakarta Selatan, 12740.

Telp
0817123002/085717051886

E-mail
redaksimadrasah@gmail.com

  • Redaksi

© 2019 Madrasah Digital

No Result
View All Result
  • Masuk / Daftar
    • Tulis Postingan
    • Tulisan Saya
  • Berita
  • Wacana
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
  • Opini
  • Sastra
  • Umum

© 2019 Madrasah Digital

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In