MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Aliurridha
Aku ingat pertama kali bertemu denganmu. Saat itu aku hanyalah seorang bocah yang tidak mengerti apa-apa tentang hidup, dan bocah yang tidak mengerti apa-apa itu baru saja pindah ke sebuah kompleks perumahan. Kamu ada di sana, seolah-olah kamu adalah paket tambahan untuk kompleks perumahan ini. Kamu tinggal di sebuah rumah kosong yang terbengkalai, rumah yang dibeli oleh sepasang pengantin baru, namun tidak sempat mereka tempati karena baru juga hendak memulai rumah tangga, mereka malah berpisah. Tempat tinggalmu hanya berselang satu rumah dari tempat tinggalku.
Saat itu aku tidak tahu kamu datang dari mana, kamu ada begitu saja di kompleks ini, kesepian dan sendirian. Aku tumbuh besar, kamu bertambah tua. Pernah kudengar kamu menikah, mungkin untuk mengatasi kesepian dan kesendirian. Kamu menghilang beberapa waktu, meninggalkan kompleks ini, lalu kembali lagi—sendirian.
Jika aku mengingat-ingat kembali masa kecilku, betapa isengnya perbuatan yang aku lakukan bersama teman-temanku dulu kepadamu. Kami sering membuat lelucon yang, jika aku mengingatnya lagi, betapa tidak lucu sama sekali. Kami memanggilmu Dion, saat itu sinetron Tersayang sedang naik daun, dan karena namamu mirip dengan pemeran utama laki-laki, kami memelesetkannya dan memanggilmu Dion—seolah-olah kamu adalah Anjasmara—dan itu membuat kami tertawa, dikarenakan ironi yang dihadirkannya.
Sesekali waktu, dengan bergerombol kami akan mendatangimu yang sedang memotong rumput atas permintaan warga. Kami mendekatimu dan bertanya: “Halo Dion, mana Mayang?” Kamu menjawab dengan tatapan bingung: pupil matamu bergerak cepat ke kiri dan ke kanan dan wajahmu melongo, kamu tidak mengerti maksud kami. Lalu kamu menggertak kami, dan kami pun akan berlari dengan bahagia karena mampu menarik perhatianmu.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga aku yang dulunya seorang anak, kini telah memiliki anak. Lama kutinggalkan kompleks ini, hampir separuh bumi Indonesia kukunjungi, namun seperti dirimu, aku kembali lagi ke kompleks ini. Kita bertemu lagi di tempat yang sama, di waktu yang berbeda. Tidak ada yang berubah darimu, selain tubuh yang menyusut dan guratan usia senja yang bertambah pada wajahmu. Lain dari itu, kamu masih pria yang sama. Cara bicaramu pun masih sama, pekerjaanmu juga masih sama, dan kamu masih sendiri di sana. Benar-benar tidak banyak yang berubah darimu. Dunia berubah dengan cepat, dan kamu tidak berubah sama sekali, seolah semua perubahan di sekelilingmu tidak berarti apa-apa buatmu.
Kamu bahkan masih tinggal di tempat yang sama, selang satu rumah dari tempatku tinggal. Bedanya, kini kamu tidak lagi berani untuk tidur di dalam rumah, melainkan di teras rumah dengan bilik papan sederhana yang kamu bangun sendiri. Kamu takut jika kamu mati, orang-orang di sekelilingmu tidak akan sadar hingga bau busuk lebih dulu menguar dari tubuhmu, atau binatang berkaki empat yang selalu kelaparan itu, lebih dulu berpesta dengan tubuhmu yang tak lagi bernyawa.
Tiap hari, atau lebih tepatnya hampir setiap hari, kamu selalu datang ke rumahku, mengambil air dikarenakan rumah yang kamu tinggali tiada lagi dialiri air. Di setiap kunjunganmu, kamu selalu membuat anakku yang baru berusia dua tahun menangis ketakutan. Kamu berusaha mengajaknya bicara, mencoba segala cara agar dia tak lagi takut padamu. Namun, anakku selalu menjerit setiap melihatmu, seolah-olah kamu adalah ancaman untuknya.
Anakku memang penakut. Sedari bayi dia selalu takut pada orang asing. Siapapun akan dianggapnya berbahaya, sampai dia benar-benar mengenalnya. Siapapun itu, kecuali aku dan ibunya. Ketika baru belajar merangkak, dia bahkan tidak berani keluar dari ruang tamu—tidak tanpa pengawalan kedua orang tuanya. Dia selalu gelisah dan berhati-hati, seolah-olah dia sudah diprogram dengan kode genetik yang diwariskan sejak manusia masih menjadi kera penggelisah di savanah. Namun, seiring waktu, anakku yang penakut itu, tidak lagi takut kepadamu. Dengan penuh kesabaran, kamu mendekatinya pelan-pelan, hingga dia tidak lagi merasa terancam. Bahkan dia menjadi senang setiap kali kamu datang mengambil air atau minta tekanan darahmu diperiksa oleh istriku, dia akan berlari keluar ketika mendengar suaramu. Kamu senang dan kulihat sebuah ketulusan membentuk senyum di wajahmu.
Esoknya ketika kamu datang lagi, kamu tidak lagi datang dengan tangan kosong; sebuah mainan unik telah berada di tanganmu yang kemudian kamu berikan pada anakku. Kamu senang karena dia mau menerimanya. Dia juga senang sampai loncat-loncat kegirangan dan menceritakan padaku dengan bahasa yang lebih banyak tidak aku mengerti. Kemudian, setiap kali kamu datang, dia akan berteriak menyebut namamu, lalu dia akan berlari keluar dengan girang, berharap ada mainan yang kamu bawa, dan kamu tidak pernah mengecewakannya.
Pernah aku mengintipmu yang sedang duduk di teras bersama anakku. Saat itu anakku sedang memainkan sebuah gantungan kunci berbentuk pesawat yang baru saja kamu berikan kepadanya. Aku terpesona melihat kalian berdua. Tidak ada satu pun yang bisa kalian percakapkan karena kamu separuh tuli dan kosakata bahasa Indonesia-mu sangat terbatas; sedang anakku, dia hanyalah bocah dua tahun yang belum tahu benar cara bicara. Namun di sanalah kalian, duduk berhadap-hadapan, berbicara lewat pikiran. Aku mulai merasa teras rumahku seperti mesin waktu, mempertemukan dua individu dari masa lalu dan masa depan; bahkan tanpa jembatan bahasa, kalian berdua saling mengerti antara satu dan lainnya. Kamu yang selama ini selalu sendiri, dengan segala keterbatasanmu, berusaha membangun jejaring makna, lewat pena ingatan yang kau gores pada hipokampus anakku.
Kuperhatikan wajah tuamu yang mencerminkan kerasnya peristiwa yang telah kamu lalui, menatap bahagia pada seorang anak yang sedang berbahagia menyelami dunianya sendiri. Wajahmu—wajah yang dulunya selalu diselubungi awan hitam—berubah cerah, seolah hujan baru saja mengapusnya. Aku tahu kamu bahagia. Aku mengenal kebahagian begitu aku melihatnya, karena kamu seperti anakku, seperti halnya setiap anak kecil di dunia, kebahagianmu sungguh sederhana. Tapi kini aku bertanya, apakah kebahagiaan yang kulihat di wajahmu itu ilusi semata?
Aku mempertanyakan penglihatanku setelah mendapat kabar bahwa kamu melempar dirimu ke sebuah sungai yang sedang menguap. Kemudian orang-orang ramai membicarakan apa yang kamu lakukan: ada yang perihatin, ada yang menyayangkan apa yang kamu lakukan, ada pula yang sok bijak menasehati bahwa bunuh diri itu dosa dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Tiba-tiba aku mendengar suara tetanggaku berkomentar setelah kabar duka itu. “Dia telah tiba di akhir perjalanannya,” kata seorang pria yang disambut anggukan oleh istrinya.
“Tidak, dia hanya menyingkirkan sebuah meja kecil jelek di ruang tamu[1],” kataku pada mereka. (*)
Catatan Kaki:
[1] Metafora tentang hidup yang muncul dalam cerpen Etgar Keret yang berjudul Pineapple Crush, yang terhimpun dalam Kumpulan Cerpen Fly Already: “Hidup seperti sebuah meja kecil jelek di ruang tamu yang ditinggalkan penghuni sebelumnya. Hampir setiap waktu kamu sadar dan berhati-hati; kamu mengingat ia ada di sana, namun kadang kamu lupa, dan kamu mendapati sudut tajamnya mengenai tulang kering atau lututmu, dan rasanya sungguh sakit sekali. Seringnya, benturan itu menyisakan luka. Saat kamu nyimeng, meja kecil jelek itu tetap di sana. Tidak satu pun kecuali kematian yang bisa membuatnya hilang. Namun satu hisapan panjang dari barang yang benar-benar bagus dapat membuatmu sedikit lupa akan keberadaannya. Dan ketika kamu benar-benar giting, rasa sakitnya berkurang sedikit.” (***)
Biodata Penulis
Aliurridha, penerjemah dan pengajar penerjemahan di suatu perguruan tinggi. Ia menulis esai, puisi, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Ia tinggal di Lombok dan bergiat di komunitas Akarpohon.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.