MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Syauqi Khaikal Zulkarnain*
Seorang lelaki kesepian duduk di taman yang penuh bunga-bunga. Masa itu belum lagi ada bangku-bangku, apalagi lelampuan. Cuma bunga-bunga segar rekah berwana cerah. Sekali waktu, lelaki kesepian mencerabut beberapa rumpun mawar, menggenggam kemudian membaui kelopaknya.
Saban hari, ia duduk sendiri. Di taman. Pagi ia terjaga kemudian bergegas ke sungai jernih hendak membasuh diri. Sungai-sungai panjang tak berujung. Barangkali punya, tapi ia belum lagi tahu ke mana sungai jernih itu bermuara. Di dasar sungai, ia melihat bermacam ikan berkejaran. Tak jarang pula, lelaki itu melihat banyak sekali binatang berbaris di tepiannya.
“Binatang-binatang itu sudah kenyang dan sekarang mereka perlu air untuk membasahi perut.”
Ia menyelesaikan urusannya di sungai. Kemudian bergegas pulang. Pada jalanan yang bersih lelaki berhenti demi melihat bebatang pohon rimbun buah-buahan. Reranting pohon itu begitu rendah, buahnya bahkan hendak menyentuh tanah. Digapainya buah paling ranum. Ia habiskan sebuah, kemudian menggapai buah yang lain. Sampai benar-benar kenyang.
Siang begitu cerah. Lelaki yang sendiri kesepian di sebuah taman. Tidak berteman, belum lagi punya pasangan. Ia terlihat lagi duduk sorang diri memandang entah apa di taman yang penuh bunga-bunga. Sekali waktu ia mau sekali memaki Tuhan atas kesendiriannya. Tapi nampak jelas rasa takut ada pada dirinya.
Burung-burung beterbangan di udara. Jantan dan betina. Sekali waktu hinggap dan bernyanyi bersama. Burung-burung heran memandang lelaki duduk sendiri di taman yang begitu indah. Tidakkah lelaki itu hendak menikmati mawar, melati, atau kamboja dengan kekasihnya? Burung-burung bernyanyi lagi. Cericit anak-anak burung menambah ramai suasana. Tapi lelaki itu tetap juga kesepian.
Dari arah sungai mulai nampak derap kaki-kaki hewan berlaluan. Kucing, gajah, kuda, keledai, unta, juga banyak binatang yang belum lagi ia tahu namanya. Berpasang jantan dengan betina. Hewan-hewan itu nampak bahagia, perutnya kenyang-basah. Barangkali, sebentar nanti hewan-hewan kenyang itu akan segera beristirahat dan kawin.
Demi melihat hewan-hewan bermesraan, lelaki itu benar sangat kesepian. Mukanya merah, dadanya yang penuh bisa meledak kapan saja. Bola matanya yang jernih jadi basah seperti sungai tempat ia biasa mandi tiap pagi. Ia menangis, sampai siang jadi redup. Sampai langit menghitam dan udara menjadi dingin.
Lelaki itu jatuh tertidur di taman yang penuh bunga-bunga. Bukan kerna letih bekerja, tapi kerna tidak ada teman yang bisa diajak berbicara. Tidak mungkin juga ia mengajak kembang sepatu berbicara. Burung-burung pun cuma bisa bernyanyi, dan hewan-hewan besar itu cuma pandai melenguh.
Pada tidurnya yang sendiri di taman. Tubuh lelaki itu diselimuti angin malam. Sekali waktu ia mengigau menyebut nama Tuhan. Lelaki itu, meski juga kesepian, ia punya sesembahan. Setiap hari ia berdoa kepada Sang Mahamurah.
Tuhan tahu. Tapi menunggu. Begitu saban hari lelaki berbicara dengan dirinya sendiri. Ia paham betul suatu waktu, Tuhan pasti mendengar. Hatinya yang bersih suci tetap juga sabar. Dan malam itu, memang benar Tuhan mendengar.
Lelaki itu masih lelap. Ketika dari dadanya yang halus, seorang gadis dilahirkan. Gadis itu cantik tidak berperi, ia merangkak dari dadanya kemudian rebah tertidur di samping tubuh lelakinya. Malam yang dingin, di taman yang penuh angin. Adalah malam terakhir bagi sebuah kesepian. Esok hari, lelaki itu akan menikmati mawar-melati dengan sorang kekasih. Kekasihnya sendiri. Dan burung-burung tidak perlu lagi bernyanyi menghibur kesepian si lelaki.
***
Taman yang dingin semalam mendadak jadi hangat ketika pagi. Bunga-bunga sudah mekar sempurna setelah semalam tertidur pula. Semak belukar merapikan diri, rumput menari seiring angin berlalu pergi. Lelaki itu mengerjap, terduduk kemudian menampar pipinya sendiri. Bukan, itu bukan mimpi. Tepat di samping tubuhnya, seorang perempuan tanpa busana. Tertidur memejam mata.
Perempuan itu cantik. Lebih cantik dari bunga yang paling cantik di taman tempat ia seringkali merayakan kesepian. Kulitnya putih wangi seperti melati. Dua lembar bibirnya semerah mahkota mawar. Dadanya yang busung-ranum lebih besar dari buah jeruk. Rambutnya sehalus sutera, bergelombang dan jatuh menjuntai pada bahu indahnya. Lehernya membangkitkan berahi. Lelaki itu menahan kemaluannya agar tidak berdiri.
Tuntas lelaki itu menyapukan matanya pada tubuh gadis yang masih jatuh tertidur. Ia ulangi lagi, ia pandangi tubuh perempuan dengan matanya yang nyalang. Betis perempuan itu jernih-panjang serupa batang-batang kembang. Kemaluannya merekah berwarna delima, padanya tumbuh bulu-bulu halus. Tapi ia belum lagi melihat mata perempuan itu. Sejernih sungai, atau sebening cahaya tembaga. Ia bertanya pada kepalanya sendiri, kemudian menduga-duga.
Cericit anak-anak burung kelaparan sudah mulai lagi terdengar. Lelaki duduk diam menunggu. Perempuan di sampingnya menggeliat, terganggu nyanyi burung yang memang betul berisik. Pelan membuka mata. Lelaki itu menunggu malam berlalu di kelopak mata perempuan, sampai pagi benar terbit dari sepasang matanya yang cerah matahari.
Lelaki di taman yang penuh bunga-bunga tergagap tak tahu hendak bicara apa. Diam-hening lelaki tak dapat berkata-kata.
“Tidakkah kau hendak mengajakku bicara?”
Ia masih bisu. Dan menyesal. Sebab justru perempuan itu yang lebih dulu berkata-kata dengan suara yang benar-benar merdu. Suaranya lebih enak didengar daripada ceracau murai. Tidak bisa dipungkiri, lelaki itu gugup-gagal menguasai diri.
“Tidakkah kau hendak mengantarku mandi?”
Lelaki itu lekas berdiri. Perempuan menyusul kemudian. Beriringan mereka berjalan menuju sungai. Meninggalkan taman melewati kebun bebuahan. Di sungai, sepasang manusia, lelaki dan perempuan, membiarkan air membersihkan tubuhnya. Lelaki itu masih juga tak berani mengucapkan barang sepatah kata. Si perempuan yang memang cerewet terpaksa kembali mengajaknya bicara.
“Namaku Hawa. Benarkah kau Adam?”
Lelaki itu buru-buru menjawab. Dia tidak akan membiarkan perempuannya kembali tak mendapat jawaban. “Iya, Adam namaku. Bagaimana bisa kau tahu?”
“Tuhan sudah bercerita banyak tentangmu. Kau, lelaki kesepian di taman penuh bunga-bunga itu. Tuhanmu yang baik itu sengaja mengirimku biar tidak lagi kesepian meraja di tubuhmu.”
Lelaki itu, Adam yang kesepian. Diam. Barangkali di dadanya penuh sekali doa kepada Tuhan, sesembahannya yang Mahamurah. Tuhan tahu. Tapi menunggu.
“Benar kau kesepian? Tidakkah kau segera mencium ranum bibirku, memainkan payudara perawanku, atau merengkuhkan tubuhku ke tubuhmu yang kesepian itu?”
Sungai mengalir tenang. Burung-burung terbang jauh. Hewan-hewan yang membasahi perutnya dengan air sungai segar segera berlalu. Sepasang manusia baru, lelaki perempuan, Adam dan Hawa. Di tepi sungai berpeluk-cium. Sampai jauh, jatuh bersenggama mereka dua.
Yogyakarta, 2020
Biografi penulis:
Syauqi Khaikal Zulkarnain, lahir di Kangean pada 18 Agustus 1999. Berkuliah di jurusan Sastra Indonesia UAD. Aktif di Komunitas Teater 42, Komunitas Sastra Luar Ruang, Komunitas Sastra Hahahihi. Saat ini tengah mendapat amanah sebagai Ketua Umum PK IMM FSBK UAD.