MADRASAHDIGITAL.CO.- Oleh Faris Rega
Saya akan memperkenalkan satu orang sakti yang paling sakti. Seorang pria dengan wajah segar tetapi memiliki beberapa kerutan di dahi, bertubuh kurus dengan kulit sedikit kusam, berambut hitam dengan sedikit uban, dan bermata buta. Matanya ini lah yang menjadi bagian paling luar biasa yang ada dalam diri pria yang sedang saya ceritakan. Tapi, menurut saya selain dengan matanya, ia juga pandai berbicara sehingga pekerjaannya selalu saja lancar dan menghasilkan banyak uang. Pria ini, seorang pekerja layanan jasa yang bisa mengirimkan barang-barang menuju akhirat.
Pria ini telah memberi banyak harapan pada keluarga saya. Tapi, menurut cucu saya ini adalah sebuah tipuan. Pria buta ini pandai menipu.
Saya baru mengenalnya semenjak suami saya meninggal dunia. Pria ini muncul dengan tiba-tiba di pemakaman, saat kami masih menangis di kuburan, pria ini menghampiri saya, ia bilang tidak baik menangisi seseorang yang telah pergi, nanti bisa membuat bapal tidak tenang di akhirat. “Bapak sudah tenang, Bu. Lebih baik ibu pulang dan biar saya yang menemani Bapak di sini, menemaninya berjalan menuju ke hadirat Tuhan.”
Saya, yang pikirannya masih belum terkendali hanya terus menangis, namun kemudian setelah beberapa menit, saya memutuskan untuk pulang dan meninggalkan pria itu.
Beberapa hari semenjak bertemu di kuburan, entah bagaimana, pria buta itu datang ke rumah saya. Ia bilang bahwa ia adalah teman lama suami saya, ia bilang juga bahwa ia merasa sangat iba pada saya yang masih terus menangis dan dipenuhi rasa penyesalan karena masih belum bisa memberikan yang terbaik untuk mendiang suami saya.
“Bu, Bapak sudah baik-baik saja di sana, tapi mungkin akan lebih baik lagi kalau Bapak punya rumah. Kasihan, Bapak kedinginan.”
Saya menangis. Saya yang sudah sedikit melupakan penyesalannya kini menyesal lagi, lebih dalam. “Bagaimana caranya memberi Bapak rumah?”
“Nanti bisa saya bangunkan. Biayanya murah, paling hanya sekitar 5 juta.”
Menurut cucu saya, itu adalah tipuan pertama dari pria buta ini. Namun ada sesuatu di dalam diri saya yang membuat saya tak bisa menolak permintaan pria tua itu.
Setelah membangun rumah untuk suami saya, pria buta memberi tahu bahwa suami saya bahagia. Ia tersenyum bahagia dan meminta agar pria buta menyampaikan pada saya bahwa saya harus makan teratur dan jangan tidur terlalu malam karena memikirkannya.
“Bagaimana caranya membangun rumah di akhirat?” Cucu saya bertanya, rasa penasarannya memang tinggi, itu lah alasan mengapa ia selalu mendebat gurunya di sekolah.
“Mudah saja, kita bangun rumahnya di sekitar kuburan, kemudian saya akan mengirimnya menuju akhirat, dengan doa dan melalui jalan yang hanya bisa dilihat oleh mata batin.” Pria buta kemudian membuka kacamata hitamnya dan memperlihatkan matanya yang berwarna putih. Sejak hari itu, saya tahu bahwa pria ini buta. “Kuburan Bapak saya semen, saya beri keramik warna biru yang menyegarkan, sesuai permintaan Bapak yang beliau sampaikan saat saya tertidur dengan mata ini.”
Saya kembali menangis semalaman.
Saya tidak ingat betul berapa kali pria buta datang ke rumah kami. Saya juga tidak ingat barang apalagi yang diminta pria buta untuk suami saya. Tapi, saya sangat ingat bahwa pria buta pernah meminta sebuah kemeja sutera.
“Bapak butuh pakaian, Bu. Katanya di sana dingin.”
Saya yang masih dipenuhi kesedihan dan penyesalan memberikan uang yang banyak pada pria buta. “Belikan pakaian yang berbahan sutera, kalau bisa sebuah kameja agar Bapak tetap terlihat rapi. Malang sekali, di akhir hidupnya Bapak hanya pakai kaos jelek yang harganya murah.”
Lagi lagi, menurut cucu saya, itu sebuah tipuan.
Tentu saja, cucu saya sudah sering memperingatkan saya. Ia bilang bahwa tidak mungkin seseorang bisa mengirim barang menuju akhirat. Tidak ada hal seperti itu. Tetapi, anehnya saya lebih mempercayai pria buta daripada cucu saya. Anak seperti cucu saya memang harus belajar lebih banyak dan hidup lebih lama terlebih dahulu sebelum bisa menyatakan bahwa suatu hal adalah tipuan atau bukan. Tapi tetap saja, cucu saya bilang ia jelas tahu, ini adalah tipuan.
Hari terus berjalan dan pria buta terus datang ke rumah kami. Permintaannya semakin banyak saja. Mulai dari celana, sandal, perlengkapan tidur, hingga yang paling aneh adalah katanya Bapak meminta untuk dikirimkan jam tangan branded miliknya. Benar-benar tidak masuk akal. Untuk apa seorang yang sudah mati memerlukan jam tangan? Tentu waktu sudah tidak berguna lagi untuknya. Tetapi saya tetap memberikannya. Apa pun. Apa pun yang diminta. Saya menyesal tidak mengurus Bapak dengan baik. Bapak lebih sering makan di luar dari pada di rumah sendiri. Kata Bapak, tidak berselera makan. Saya hanya memasak menu yang itu-itu saja. Pernah Bapak menyarankan untuk mencari pembantu, tentu saja langsung saya tolak usulnya itu. Uang pensiunan kami, tidak akan cukup untuk hal itu. Hal itu membuat Bapak lebih sering bercengkerama bersama teman-temannya di pos ronda. Bapak hanya pulang untuk mandi, ganti baju, dan tidur. Kami saling diam. Meski sebenarnya ada amarah yang bergejolak di dalam dada kami masing-masing.
“Apakah di sana Bapak tidak membutuhkan seorang wanita?” tanya saya.
“Gila. Benaar-benar tidak masuk akal kalau sampai Nenek meminta pria buta untuk mengirimkanmu ke akhirat.” Cucu saya berteriak.
Pria buta terdiam sejenak. Dahinya berkerut. Saya yakin ia sedang berpikir keras dan mungkin ia juga sedang kebingungan.
“Bagaimana? Saya yakin dengan semua barang yang ia miliki, Bapak pasti butuh seorang istri untuk merawatnya, mencuci pakaiannya, mengganti seprai, dan tentunya memberikan ia cinta juga.”
“Saya tidak yakin,” jawab pria buta.
“Apakah Bapak tidak pernah meminta saya untuk datang?”
Pria tua itu terdiam sejenak. “Sejauh ini belum, Bu.”
Saya menangis lagi. “Mungkin Bapak memang tidak menginginkan saya. Mungkin ia benar-benar benci kepada saya.” Saya tersedu-sedu. Pria buta menghapus air mata saya dengan lengan kameja sutera yang dipakainya.
“Saya akan membicarakannya pada Bapak.”
Setiap harinya saya terus berdandan dengan rapi, memakai riasan wajah, memakai parfum kesukaan suami saya, berjaga-jaga jika sewaktu-waktu suami meminta saya untuk datang, saya sudah siap dan tidak akan membuatnya menunggu lama. Saya bahkan mengurangi makan, saya percaya harus menurunkan berat badan agar pria buta bisa dengan mudah mengirim saya. Badan saya yang terlalu berat akan menyusahkan. Seperti saat pria buta mengirim lemari, pria buta memerlukan dua hari lebih lama dari biasanya hingga yakin bahwa lemari itu sudah sampai.
Tubuh saya semakin kurus tetapi pria buta tidak pernah datang, sudah berminggu-minggu. “Nenek yakin ia mempersiapkan semuanya, Nenek tetap harus bersiap-siap.” Begitu yang setiap hari saya ucapkan pada cucu saya. Ia tetap yakin bahwa tidak ada apa pun yang bisa dikirim ke akhirat.
Inilah bagian yang paling membuat saya menyesal. Saat cucu saya pergi ke makam suami saya. Ia meninggal tertabrak motor. Kata orang kepalanya membentur aspal, ada luka di bagian belakang kepala, yang mungkin saja membuatnya kehilangan kesadaran seketika. Ia meninggal dengan mengenakan pakaian sepak bolanya yang sudah lusuh, dan bau keringat. Pria buta itu tidak datang di pemakaman cucu saya. Padahal saya sangat amat ingin menanyakan hal ini pada pria buta.
Saya terus menangis setiap harinya jika memikirkan bagaimana saya memperlakukannya ketika ia masih hidup. Saya tidak pernah mendukungnya dan memperhatikannya semenjak kematian kakeknya. Saya hanya terus merasa seolah saya adalah orang paling sengsara di dnia.
Rumah benar-benar sepi. Hanya ada saya.
“Jangan menangis. si adek sudah baik-baik saja di sana, tapi mungkin akan lebih baik lagi kalau Adek punya rumah. Kasihan, Adek kedinginan.”
Pria buta entah datang dari mana, tapi kini ia sudah menepuk-nepuk bahu saya. Saya sangat menyesal mendengar cucu saya kedinginan. Benar-benar membuat hati saya teriris. Saya dengan nyaman tidur di rumah yang hangat sedangkan cucu saya kedinginan di luar sana. Lebih menyakitkan ketika saya tahu bahwa saya tidak memiliki uang yang cukup untuk membuatkan rumah untuk cucu saya.
“Saya tidak punya uang,” ucap saya sambil terus terisak.
“Tidak apa-apa. Sedikit saja cukup. Rumahnya tidak perlu besar.”
“Kau, bisa mengirim saya juga ke sana?” Saya benar-benar tidak sabar dan kecewa.
Langkah pria buta yang hampir meninggalkan rumah saya terhenti. Ia kemudian berbalik menuju saya. Ia menepuk bahu saya pelan.
“Kalau baru segini,” ucapnya sambil memperlihatkan uang lembaran limapuluh ribu dari saya, “saya hanya melayani jasa pengiriman selain mengirim seorang wanita.”
Biodata Penulis
Faris Rega, lahir di Sukabumi, Maret 2001. Menulis dan berkembang bersama prosatujuh. Beberapa karyanya sudah dimuat oleh media cetak dan termuat dalam buku antologi cerpen. Dapat dihubungi melalui surel: fregariswana09@gmail.com; instagram @fr.rega