MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Arianto Adipurwanto
Seekor anjing hitam kurus penuh luka berjalan sambil mengendus-endus tanah, mendekati reruntuhan rumah bambu. Bergantian, ia mengendus dan menjilat-jilat piring pesuk yang sebagian tertanam dalam tanah, sendok batok kelapa yang telah ditumbuhi jamur, dan kocor yang telah terlepas paruh dan pegangannya. Semua itu telah ditinggalkan lama oleh pemiliknya: Dobaq dan Surtinep.
Dobaq, laki-laki bertubuh kecil dan buta huruf, kerap dianggap tidak berguna oleh istrinya. Setiap hari, sepulang dari menyadap nira dan setelah membuat tuak, ia akan duduk di berugak, menghadapi berbotol-botol tuak, dan minum sampai ia benar-benar mabuk dan tidak sadarkan diri. Ia akan sadarkan diri esok harinya dan pasti akan merasakan lapar yang sangat luar biasa. Ketika itu, ia akan meratap kepada istrinya yang biasa sedang duduk di pintu, melepas dengan gerakan sangat terlatih dan tampak sangat tekun sisik-sisik yang tumbuh di sekujur tubuhnya.
“Saya lapar,” ucap Dobaq dengan suara tidak keras, juga tidak lemah. Suara yang seperti tidak keluar dari dalam dirinya.
“Makan!” jawab Surtinep sekenanya. Dan mereka beradu mulut sampai urat-urat leher mereka menegang. Kemudian Dobaq akan melempar botol kosong ke istrinya. Sisa-sisa tuak tidak jarang menyemburat keluar dan menimpa tubuh Surtinep. Jika begitu, Surtinep akan memberondong Dobaq dengan cacian dan sumpah serapah. Mendoakan supaya Dobaq mati dengan cara yang paling mengerikan. Tidak tinggal diam, Dobaq akan membalas dengan mengungkit semua keburukan istrinya bahkan keburukan seluruh keluarganya, dari keburukan yang benar-benar ada hingga keburukan yang hanya ada di kepalanya.
Sering ketika pertengkaran di antara mereka meledak, seolah telah bosan meladeni istrinya, Dobaq akan pergi ke sungai untuk merendam tubuhnya. Namun, sepulangnya dari mandi pertengkaran mereka kembali berlanjut. Dengan cara persis sama seperti sebelumnya, seolah Dobaq tidak pernah pergi ke sungai dan tidak pernah merendam diri. Kecuali pada suatu hari menjelang perpisahan mereka, perkelahian mereka dihentikan oleh kedatangan dua laki-laki bertubuh tinggi, kurus, dan tampak begitu terburu-buru.
Bagi dua laki-laki itu, Dobaq bukan sekadar laki-laki yang hanya bisa minum tuak dan sangat tidak berguna. Seseorang memberitahu mereka bahwa Dobaq adalah keturunan orang paling sakti di dunia. Kebal, bisa menghilang, dan bisa mengubah diri jadi apa pun yang ia kehendaki.
“Ini rumah Dobaq?” tanya salah satu dari mereka, yang memiliki tubuh lebih tinggi.
“Ya, ini rumah Dobaq?” tanya laki-laki yang lainnya.
“Ya,” jawab Dobaq. Beberapa botol kosong masih tergeletak di dekatnya juga cobek yang masih dipenuhi asam muda tumbuk. Lalat-lalat berseliweran seperti berlomba untuk menemukan sisa-sisa Dobaq. Mereka mendarat di bibir botol, gelas, cobek, dan di mulut Dobaq. Beterbangan lagi ketika Dobaq bicara dan terus berusaha hinggap bukan hanya di mulut Dobaq tetapi juga di mulut dan hidung kedua laki-laki itu.
“Saya ndak bisa apa-apa,” kata Dobaq. Ia mengurut-urut betis. Tangan kanannya berusaha menghalau lalat-lalat yang berusaha hinggap di mulutnya. Ketika kesabarannya mulai habis, dengan sangat bernafsu ia berusaha membunuh lalat-lalat itu dengan menepukkan kedua tangannya sambil mengumpat betapa lalat adalah jenis makhluk yang paling tidak perlu diciptakan di dunia ini.
Kedua laki-laki itu bergantian menceritakan maksud kedatangan mereka dan laki-laki yang lebih tinggi menutup ceritanya dengan kata-kata penuh bujukan, “Kalau sampai bangunan itu jadi, kiamat dah dunia ini!”
“Ya, kiamat dah dunia ini,” tambah yang lainnya lagi.
Laki-laki yang selalu mengulang kata-kata rekannya lebih kurus dan sedikit lebih pendek serta tampak selalu lesu seperti tengah menderita sakit parah. Sejak awal ia telah ditugaskan untuk mengulang kata-kata rekannya, demi tercapainya tujuan mereka: membawa Dobaq ke kampung mereka, Lelenggo.
“Bangunan apa itu?” tanya Dobaq. Laki-laki yang lebih tinggi itu menjelaskan bahwa di tempatnya, di kampung yang telah dikeramatkan sejak nenek-moyang mereka masih hidup, tiba-tiba datang beberapa orang tidak dikenal. Mereka ingin mendirikan sebuah bangunan yang menurut tetua Lelenggo dan para dukun yang mengaku didatangi oleh orang-orang Lelenggo yang telah mati, bangunan itu akan menjadi sarang setan, iblis, dan segala macam makhluk terkutuk lainnya. Laki-laki itu mengulang-ulang penjelasannya, tapi Dobaq tidak kunjung mengerti. Tidak kunjung mengerti meski Surtinep, di sela-sela usahanya melepas sisik-sisik yang sepertinya tidak akan pernah berkurang dari tubuhnya, mengulang kembali kata-kata dua laki-laki itu dengan perlahan-lahan.
“Mereka mau bangun sarang iblis,” jelas laki-laki yang lebih tinggi itu lagi. “Kalau sampai itu tercapai, pasti dah hancur dunia ini,” lanjutnya.
“Saya ndak bisa apa-apa,” jawab Dobaq, untuk ke sekian kalinya.
Laki-laki yang sejak tadi terus mengulang kata-kata rekannya hanya terdiam, lupa pada tugasnya. Ada hal lain yang membuat ia mengabaikan kata-kata bahkan keberadaan temannya. Dengan mata yang nyaris tidak berkedip dan kepala yang tidak bergerak sedikit pun bagai patung, ia memandangi Surtinep yang tengah begitu khusyuk membebaskan sisik-sisik putih di ketiaknya. Sebenarnya bukan sisik sungguhan seperti sisik ikan, tetapi kulit yang mengeras dan kering berwarna putih yang entah bagaimana menyerupai sisik-sisik yang menempeli tubuhnya; para warga pun menyebut kulit yang mengering itu sebagai sisik.
Sisik-sisik itu mulai tumbuh di tubuh Surtinep sejak hari pertama ia tinggal bersama dengan Dobaq. Ia dan juga Dobaq tidak pernah mengetahui kenapa itu terjadi. Salah seorang dukun yang Surtinep datangi mengatakan sisik-sisik itu muncul karena kesaktian Dobaq, dan dukun itu meramalkan suatu hari Surtinep akan bisa terbang. Tatkala Surtinep menanyakan kesaktian apa yang Dobaq miliki yang telah membuat sisik-sisik tumbuh di tubuhnya, Dobaq hanya menggeleng dan mengajak istrinya minum tuak. Dan ketika Surtinep menanyakan apakah benar suatu hari ia akan bisa terbang, Dobaq sambil manggut-manggut menjawab: nanti kita terbang berdua. Lalu Dobaq mengepak-ngepakkan kedua tangannya, mulutnya menirukan suara burung; kwaakk kwaak kwaak, dan ia menutup semua pertunjukannya dengan tawa terbahak-bahak yang membuat wajah istrinya memerah.
“Mereka itu, orang-orang, yang ingin menodai, kesucian, tempat tinggal mereka,” kata Surtinep mengulang lagi kata laki-laki itu. Ia mengucapkan kata-kata itu dengan sangat pelan dan penuh tekanan; tekanan yang membuat suaranya begitu berat. Kegeraman menunggangi kata-katanya. Hampir saja ia akan mengatakan Dobaq bodoh dan lebih baik mati saja andai ia tidak bertemu pandang dengan salah satu tamunya. Tangan kanannya yang masih menempel di kulit ketiaknya seketika terasa salah tempat.
“Siapa mereka itu?” tanya Dobaq. Lagi. Lagi. Dan lagi.
“Tempat kami kan tempat suci,” terang laki-laki yang lebih tinggi itu, yang sudah mulai kehilangan kesabaran. “Kalau sampai mereka benar-benar membangun sarang iblis itu, pasti nenek-moyang kami ndak tinggal diam. Mereka orang-orang suci. Ndak mungkin mereka diam-diam saja. Rumah itu mau dibangun dan dijadikan tempat pemujaan iblis.” Sekarang laki-laki itu bernapas lega. Ia merasa kata-katanya telah sangat jelas. Karena ia telah begitu sakit kepala menjelaskan perkara yang ia anggap begitu mudah kepada laki-laki kecil dan entah kenapa begitu bodoh di depannya, ia tidak sadar rekannya tidak lagi menegaskan setiap kata-katanya. Ia tidak sadar rekannya sedang beradu pandang dengan istri Dobaq. Dobaq juga tidak sadar bahwa istrinya dan laki-laki di depannya sedang beradu pandang.
“Kalian dari mana?” tanya Dobaq akhirnya. Ia belum tercerahkan sedikit pun.
“Lelenggo, Lelenggo, Lelenggo,” kata laki-laki yang lebih tinggi itu. “Kami dari Lelenggo!” tegasnya, berusaha menahan diri.
“Wah, bahaya itu. Kalau sampai itu terjadi, bisa kiamat,” kata Dobaq dengan nada kaget, tapi wajahnya tidak sedikit pun menampakkan kekagetan.
“Ya, kalau sampai jadi bisa kiamat dunia ini. Nenek moyang orang Lelenggo orang-orang sakti. Gunung paling sakti di dunia ini mereka yang kuasai. Kalau sampai air gunung itu ditutup, bisa kering semua laut di dunia, gimana ndak kiamat kalau sudah begitu. Makanya, saya minta tolong epe untuk bantu,” bujuk laki-laki yang lebih tinggi itu. Ia menarik napas lega. Ia merasa Dobaq telah mengerti kata-katanya.
“Tapi saya ndak bisa apa-apa,” kata Dobaq. “Kenapa kalian ndak suruh nenek moyang kalian itu langsung?” lanjutnya setelah terdiam cukup lama.
“Orang-orang bilang hanya epe yang bisa bantu, epe perantaranya. Bukan orang sembarangan yang bisa jadi perantara itu. Kata mereka epe keturunan orang paling sakti di dunia. Makanya kami ke sini,” laki-laki yang lebih tinggi itu menjelaskan.
Dobaq tertawa. Ia membuka mulutnya begitu lebar.
“Siapa bilang begitu?” tanyanya.
“Orang-orang. Semua orang,” tegas laki-laki yang lebih tinggi itu.
“Saya ndak bisa apa-apa,” kata Dobaq lagi. Tangan kanannya mengambil botol-botol yang tergeletak. Lalat-lalat yang tengah hinggap di botol itu terganggu dan terbang, berusaha untuk hinggap di mulut Dobaq. Namun, mereka hanya bisa hinggap di rambutnya yang berombak dan tampak menempel di kepala.
“Bagaimana?” desak laki-laki yang lebih tinggi itu.
“Bagaimana apa?” tanya Dobaq. Bingung. Setengah dirinya seperti masih berada di alam lain.
“Bisa epe bantu kami?”
Pada akhirnya Dobaq sepakat. Tepatnya, ia bersedia diajak ke Lelenggo karena laki-laki yang lebih tinggi itu menjanjikan berbotol-botol tuak dan puluhan piring sedaq yang luar biasa enak. Mereka pun berangkat saat itu juga.
Sepanjang perjalanan, laki-laki yang bertubuh lebih tinggi terus membicarakan rencana perangnya, dan Dobaq membalas dengan anggukan-anggukan ringan, kemudian seolah tidak pernah mendengar apa-apa, ia menanyakan daging apa saja yang mereka suguhkan untuk sedaq. Sementara laki-laki lainnya, hanya membayangkan tubuh bersisik yang tengah duduk di pintu, dan tanpa ia ketahui alasannya, ia ingin turut serta melepaskan sisik-sisik itu.
Mereka sampai di Lelenggo ketika hari telah gelap. Terdengar lolongan puluhan anjing dari berbagai penjuru. Namun, ketika Dobaq melihat ke sekeliling, tidak seekor anjing pun yang mampu ia lihat. Hanya berpasang-pasang mata yang menyala hijau kemerahan. Tidak berkedip sedikit pun. Seperti menyala abadi.
Diawasi oleh mata-mata itu, Dobaq dibawa melewati tanah berlumpur dan rumah-rumah berdinding bambu, ke sebuah rumah berdinding bata mentah dan direkatkan dengan tanah liat. Rumah itu adalah rumah seorang laki-laki tua yang mengaku dirinya seorang dukun dan terus-menerus mengatakan dirinyalah keturunan orang paling sakti di dunia. Tidak lama, datang seorang perempuan bertubuh gempal membawa berbotol-botol tuak dan puluhan piring sedaq. Melihat makanan itu, Dobaq langsung melupakan tujuan ia didatangkan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya hanya kekaguman pada betapa enak tuak dan makanan yang dihidangkan untuknya.
Pada malam ketiga, ketika sang dukun di depannya telah ambruk tak sadarkan diri karena terlalu banyak minum tuak, atas dorongan yang tidak ia sadari, Dobaq begitu saja bangkit dan berjalan kembali ke rumahnya. Para warga yang dipimpin oleh laki-laki kurus tinggi itu tengah melakukan pertemuan rahasia. Mematangkan rencana-rencana untuk mengusir orang-orang yang ingin menodai tanah suci mereka. Karena itu, tak seorang pun melihat Dobaq berjalan sempoyongan pulang, meski ia berteriak-teriak, menantang manusia, jin, dan siapa pun yang telah pernah ada di dalam kepalanya. Hanya sang dukun yang mendengarkan teriakan-teriakan itu. Mendengarkan dari dalam tidurnya. Besoknya, dialah saksi satu-satunya, yang mengatakan atas dasar mimpinya, bahwa Dobaq telah melarikan diri karena takut menghadapi musuh mereka. Dan menambahkan dengan sesumbar bahwa dialah keturunan orang paling sakti di dunia; satu-satunya yang bisa menyelamatkan Lelenggo.
Lelenggo dan rumah Dobaq cukup jauh. Ia pulang melewati tanah yang begitu lapang dan puluhan tenda yang sebagian masih diterangi lampu. Mendengar teriakannya, satu-per satu orang-orang di tempat itu keluar dari tenda. Merekalah orang-orang yang seharusnya ia hadapi pada waktu yang telah ditentukan. Para pembangun sarang iblis. Menganggap Dobaq orang gila, mereka kembali masuk dan melanjutkan mimpi indah mereka.
Dobaq sampai di rumah ketika tidak ada lagi suara apa pun. Tidak ada suara burung hantu. Tidak ada suara jangkrik. Sebagian tubuhnya ditempeli lumpur basah. Sikunya terluka. Ia terlalu mabuk untuk bisa berjalan dengan baik. Dan ia langsung merebahkan diri di berugak begitu ia sampai. Ia tidak pernah menduga sedikit pun, di dalam rumahnya, istrinya yang bersisik tengah tidur dalam keadaan telanjang dengan seorang laki-laki yang seharusnya sedang melakukan pertemuan rahasia dengan rekan-rekannya, untuk mempertahankan tanah suci nenek moyangnya.
Laki-laki yang sepertinya sangat yakin Dobaq sedang berperang, begitu saja keluar rumah pagi itu. Ia hanya memakai kain. Sebelum ia melihat Dobaq, Dobaq telah terbangun dan lebih dahulu melihat dirinya. Meski kepala Dobaq masih setengah mabuk, tetapi ia bisa mengenali laki-laki itu. Lebih jauh, ia bisa mengetahui apa yang telah istrinya dan laki-laki itu lakukan.
“Setan,” bentak Dobaq. Ia melompat turun. Namun, kedua kakinya tidak bisa berpijak dengan baik. Ia jatuh. Laki-laki itu melarikan diri dengan hanya mengenakan kain, kembali ke Lelenggo, ikut membela tanah sucinya, melawan para pembangun sarang iblis.
Dobaq menarik keluar istrinya. Menjambak rambutnya. Menendangnya. Ia salah cara menendang. Jatuh. Istrinya berteriak menangis dan berlari mengejar kekasihnya, sambil terus membayangkan dirinya bisa terbang. Kemudian, Dobaq mengejar istrinya, setelah melemparkan piring, sendok, kocor, dan apa pun yang ada di dalam rumah. Piring, sendok, kocor yang bertahun-tahun kemudian, diendus-endus oleh seekor anjing hitam kurus dan penuh luka. Luka-luka yang ia dapatkan dari Lelenggo, di tempat tengah berlangsungnya peperangan abadi.*
Catatan kaki:
Berugaq :Balai-balai.
Menarep : Menyadap nira.
Sedaq : Makanan tambahan.
Epe : Kamu.
Biodata Penulis
Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB. Media sosial Arianto Adipurwanto.