MADRASAHDIGITAL.CO Oleh: Zaidan Hakim (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
“Ia bergegas berlari tanpa arah, berharap akan keluar dari hutan. Setidaknya ia berada di tempat yang lebih terang. Namun semakin lama, rasanya ia malah berlari semakin ke dalam hutan.”
Kapal udara membuka kainnya, mulai berlayar dengan hembusan-hembusan angin dari tebing. Matahari telah mencapai puncaknya, kini mengubah niatnya untuk tenggelam kembali. Awan-awan seperti kapas menghiasi langit biru yang cerah. Para murid sangat menikmati pemandangan ibukota Distrall dari atas, mengamati bangunan-bangunan khas dari Hawen yang beragam ketinggian. Mereka menikmati perjalanan mereka sebelum akhirnya melalui tes sesungguhnya.
Reviera berdiri di samping satu-satunya teman berambut hijau. “Kalo kita misah nanti gimana?” tanya Reviera dengan khawatir dalam nadanya. “Katanya nanti tiap murid diturunkan secara acak.”
“Tinggal nyari satu sama lainlah,” jawab singkat Davira, menikmati pemandangan kota.
“Tapi gimana aku nanti? Aku nggak bisa bertarung sendirian,” ucapnya semakin khawatir.
Davira menoleh ke temannya sebelum menoleh ke tas gitarnya. “Kamu belum ngasih tahu isi tas gitarmu itu sampai sekarang meskipun judulnya tentang isi tas itu.”
Reviera kebingungan dengan apa yang barusan temannya ucapkan.
Davira menghela nafas, “Lihat, dong, gitarmu yang buat ngamen nanti,” mintanya.
Reviera menggeram. “Berhentilah dengan ejekanmu itu, aku nggak bakal ngamen!” bentaknya tanpa meninggikan suara.
“Aku bakal berhenti kalo kamu juga berhenti nanyain umurku berapa!” balasnya dengan meninggikan suara.
“Itu karena aku beneran penasaran sama umurmu,” bela Reviera.
“Oh, aku juga terus mengejekmu karena aku beneran suka sama ejekan itu,” tiru Davira, senyumnya muncul kembali.
***
Seorang perempuan menghampiri kedua gadis yang bertengkar itu. Ia berdiri di samping Davira, menikmati apa yang Davira pandang sekaligus mencoba mendengarkan mereka berdua beradu mulut. Keduanya masih berargumen dengan sporadis, hingga akhirnya Davira menyadari kehadiran perempuan yang berada di sampingnya. “Hei, aku nggak nyadar ada kamu disini,” sapa Davira mengulurkan tangan untuk berkenalan. “Namaku Davira Nao, aku asli asal Temuri.”
Perempuan itu segera mengayunkan tangan kanannya dengan cepat, menangkap uluran Davira dengan keras penuh semangat. “Yo! Aku Nirmala Ruiu dari Nantle!” balas sapanya sembari menggoyangkan jabat tangannya dengan semangat.
“Oh, dari Nantle jauh di utara sana? Maaf, aku sebenarnya dari Hawen.”
Nirmala melihat belakang Davira, yaitu senjatanya. “Labu raksasa yang ditancap tongkat itu senjatamu?” tanyanya.
Davira mengangguk, “Udah dua tahun ngerawat bayiku ini,” ungkapnya dengan bangga.
“Oh, kenapa? Kamu bikin senjata di tengah-tengah SMA?”
“Apa? Tapi aku nggak pernah sekolah,” ungkapnya lagi, membuat Nirmala semakin bingung.
“Tapi kenapa bisa daftar Distrall Academy?”
“Karena aku bisa? Aku sendiri juga dipanggil untuk sekolah, padahal terlalu muda sebenernya.”
“Berapa umurmu emangnya?”
Reviera seketika memasang kupingnya ke mereka. Davira masih mengingat betapa penasaran temannya tentang hal ini.
Davira berbisik di kuping Nirmala. Tiba-tiba matanya terbelalak terkejut, “Sungguh umurmu segitu!?” tanyanya lagi tidak percaya.
Reviera turut terkejut atas reaksi Nirmala, “Berapa umur Davira?” tanyanya sangat penasaran.
“Nggak tahu, aku disuruh ngomong gitu dan pura-pura terkejut.”
“Kenapa?” tanya Reviera, nadanya kecewa.
“Nggak tahu juga, aku sendiri nggak penasaran, sih.”
Reviera cemberut, menoleh Davira yang menyembunyikan tawa kecil di balik tangannya.
Tanpa Nirmala sadari, pemandangan ibukota telah berlalu. Kembali melihat pemandangan, kini mereka melintasi langit hutan hijau tua perbukitan. Langit pun semakin berawan banyak, akhirnya mulai menyembunyikan matahari. Hembusan angin semakin kuat dan suasana semakin lebih menegangkan. Seperti yang diarahkan sebelumnya, tes akan berlangsung ketika tiba di hutan, di mana murid-murid akan diterjunkan dari kapal secara acak.
***
Satu per satu, murid mulai dipanggil untuk melakukan penerjunan dengan arah bebas sesuka mereka. Reviera semakin cemas semakin ia terpikirkan bagaimana jika ia menghadapi grimm sendirian. Lebih dari itu, bagaimana jika ia tidak satu tim dengan Davira karena ia bertemu dengan orang lain terlebih dulu. “Davira, gimana ini?” tanyanya dengan suara kecil, kecemasannya mulai menjadi-jadi.
Terpanggilah nama temannya sebelum ia mendapatkan jawaban apapun. Reviera cukup terkejut, temannya hanya menepuk pundaknya. Davira tersenyum dengan mata silver-nya yang berusaha meyakinkan temannya. “Jangan khawatir. Apapun yang ada di dalam tas gitarmu, pasti sesuatu yang sangat hebat yang belum kamu tahu kekuatannya,” ucapnya menatap dalam mata temannya. Davira melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam kabin untuk terjun dari kapal.
Satu per satu mulai terpanggil sementara si gadis gitar masih berdiri tetap. Semakin ia menunggu semakin ia cemas, pikirannya terisi bayangan-bayangan yang buruk. Ia meraih tas gitar dari punggung, mengeluarkan sebuah gitar listrik tujuh senar. Khas dari gitar itu adalah adanya pisau raksasa di sudut bawah body. Di body bawah juga terdapat sebuah muzzle berongga, sebagai jalan keluarnya peluru senapan api dari sebuah gitar.
Reviera tidak mengira ia tidak menarik perhatian banyak orang. Selain mungkin karena tersisa belasan yang ada di kapal, tidak ada yang tampak heboh dengan gitarnya maupun membicarakannya. Mereka hanya melirik sekilas sebelum sibuk lagi dengan teman bicaranya. Entah ia harus lega atau merasa kecewa, ia pikir keunikan senjatanya jauh lebih gila dibanding senjata lainnya. Mungkin juga ia terbawa suasana oleh ejekan temannya yang sangat konyol.
“Reviera Abena, sekarang penerjunanmu,” bunyi speaker di sudut kapal.
Reviera berdegub kencang seketika. Hal yang sangat ia antisipasi akhirnya tiba juga. Ia sangat cemas dan sedikit ketakutan, tapi diam saja tidak membuatnya merasa lebih baik. Ketakutannya semakin kuat dengan cepat, namun ia juga semakin ingin untuk bergerak. Tangannya bergemetar untuk memasangkan sepasang speaker di pinggang dan menyambungkan kabel-kabel gitar listrik. Tangannya bergerak dengan ingatan otot, pikiran dan pandangannya kosong.
Tanpa pikiran apapun, akhirnya ia berlari ke dalam kabin dan segera melompat terjun. Ketakutannya masih sangat kuat namun terlarut dalam ketakutannya tidak akan membuat semuanya lebih baik, tidak membuatnya untuk menetap di atas kapal. Mau bagaimanapun, ia harus melawan ketakutannya. Melawan angin-angin, ia terjun tanpa apa-apa, hanya mendarat di pohon entah bagaimana bisa ia melakukannya.
***
Tangan yang menggenggam kuat pada gitarnya, mencoba untuk merilekskan dirinya. Mengingat apa yang ia pegang satu-satunya, ada hal lain yang bisa ia lakukan selain menghadapi ketakutannya. Ia mencoba untuk memetik dua senar teratas, memainkan nada tinggi tanpa pikiran apapun. Suaranya adalah yang ia cari, suaranya sedikit menenangkan dirinya.
Semakin dekat dengan lebatnya hutan, ia mulai memainkan lebih banyak note. Melodinya menemani ketakutannya dan kenekatannya. Pikirannya yang kosong mulai terangsang untuk memikirkan dan merasakan permainan gitarnya. Ia menggiring suasana ketakutan ke suasana yang penuh semangat dan antusias. Ketakutannya mereda dengan cepat, keberaniannya semakin membuatnya nekat.
Reviera berputar mendarat dengan punggungnya, menabrakkan dirinya dengan rerantingan pohon besar. Menabrak ranting yang lebih keras, karismanya sedikit terkuras dan segera mengguling ke tempat yang lebih rendah. Beberapa kali melangkah ke ranting-ranting keras, mengejar yang lebih rendah. Selama penurunan, ia masih membawa suasana yang menggugah dengan permainan gitarnya. Kini ia melupakan rasa takutnya, ia menikmati permainan gitarnya sendiri.
Akhirnya, permainan gitarnya berhenti sesaat kaki Reviera menyentuh tanah hutan. Ia sedikit tersenyum, merasa bangga telah menghadapi ketakutannya. Ia mulai melihat sekitarnya, mencermati sekelilingnya. Cahaya matahari sedikit menembus dalam hutan, terdapat banyak sudut yang sangat gelap tidak terlihat. Kembali lagi, ketakutannya mengisi lagi.
Ia bergegas berlari tanpa arah, berharap akan keluar dari hutan. Setidaknya ia berada di tempat yang lebih terang. Namun semakin lama, rasanya ia malah berlari semakin ke dalam hutan. Cahayanya semakin sedikit, jarak pandangnya semakin pendek dengan semakin padatnya pepohonan. Pelariannya kini adalah bentuk nekat yang buta, ia bersikeras berlari ke arah yang sama sekalipun ia sangat ketakutan.
Suara-suara alam semakin terdengar beragam dan aneh. Pikirannya kini mulai terisi dengan bayangan-bayangan aneh. Ia merasa sangat kewalahan dengan ketakutannya, serasa ia telah mencapai rekor terbaru, belum pernah setakut ini dalam hidupnya. Meski begitu, ia masih tetap berlari meskipun tak tergoyahkan. Kini ia tidak lagi mengendalikan kakinya, lari adalah apa yang ia lakukan tanpa disengaja.
Menembus gelapnya hutan, ia mengintip adanya cahaya jauh di depan. Kini ia mulai memiliki harapan, adanya tujuan kemana ia berlari. Ia semakin kencang mengejar cahaya itu. Semakin keras menabrak ranting-ranting kecil, tak disadarinya ia menguras karismanya dengan sangat perlahan. Tersisa beberapa langkah lagi, ia melompat melesat keluar dari lebatnya hutan. Ia menggelinding melakukan pendaratan halus, tidak sabarnya untuk mendapatkan cahaya.
Reviera terbaring di tanah basah. Ia tidak peduli kebersihannya, ia lebih peduli kelelahannya. Nafasnya berantakan. Menatap langit-langit yang lebih cerah, ia merasa damai.
Melihat ke belakang, ia merasa ia telah mendapatkan pencapaian baru. Menghadapi sebuah ketakutan yang besar, namun tetap nekat dan kokoh menghadapinya. Ia mengeluarkan tawa lega di tengah kacaunya nafasnya.
“Kelelahanmu terlihat dengan telanjang. Apa yang ingin memakanmu di dalam sana?” tanya seorang perempuan, suaranya sangat lembut.
Reviera mencoba menoleh ke bawahnya, ke arah suara. Ia menemukan seorang perempuan berambut putih yang panjang dan lurus, menggunakan setelan gaun berwarna hitam dan abu-abu cerah. Dengan rokok di mulutnya, ia menatap tajam Reviera yang terbaring lemah, memasang ekspresi serius.
Editor: Ramadhanur Putra